Monday, July 29, 2013

SUATU SIANG DI MUARA SAWARNA

Matahari tepat diatas ubun-ubun. 
Siang yang garang. 

Ombak pantai selatan bergulung, membentuk garis-garis putih keperakan yang tak pernah putus menghampiri pantai.
Membentur pada tebing pantai yang curam, melontarkan kembali pecahan air. Tak pernah berhenti..!

Saat menerpa pantai yang landai, menggerakan butir-butir pasir dan buih-buih yang berjalan. Tak pernah berhenti  !

Horizon langit biru membentang.  Tak berujung.!

Seorang anak lelaki  kecil, layaknya siang itu bersekolah, tapi hari terisi mengais-ngais mencari udang kecil sepanjang sungai yang mengalir membelah kampungnya.
Besar Jaring Ikannya tak sebanding dengan tubuhnya yang telanjang.
Geraknya tak pernah berhenti..!


Dua anak Nelayan "bertengger" di sisa Pohon Ketapang yang miring.
Wajah-wajah yang akrab dengan alam dan kesederhanaan. Entah apa obrolannya.
Barangkali obrolan tentang cita-cita jadi Pemimpin Negeri, atau bahkan untuk sekedar punya cita-cita pun nampaknya tak layak bagi mereka di negeri ini. Karena Kesusahan tak berujung...!



Dua wanita paruh baya, dengan baju kumal seadanya, dan tutup kepala (Tudung, Capil Tani) terbuat dari anyaman bambu yang sudah bertambal di bagian atasnya, berjalan menyusuri tepian muara sungai yang sedang surut airnya. 

Matanya jeli melihat setiap gerakan kecil di air. Bakul kecil ditangan kirinya, tangan kanannya dengan gerakan cepat menyambar udang-udang kecil yang sesekali muncul diatas air. 

Buih-buih sisa ombak diatas pasir menyentuh Kaki-kakinya yang kurus, yang berjalan dari satu sisi ke satu sisi. Sesekali kearah pantai. Geraknya tak pernah berhenti..!


Siang yang garang, dua wanita pencari udang menepi, berlindung pada rimbun. 
Obrolannya sarat "nyanyian keluhan kesusahan" hidup, kesusahan bertahan hidup hanya dengan mencari udang..!

Ombak tak pernah berhenti, Gerak kaki tak harus berhenti.!  Karena "sejangkal perut" akan menaggih janji, untuk bertahan ditengah putaran roda kehidupan yang tak berhenti berputar dengan beribu kesusahan...! 









ANAK dan ALAM

( Catatan Kecil dibalik Foto )



Dia ajari tentang pentingnya kebersamaan, karena hidup saling ketergantungan.

Dian sajikan ketenangan, kedamaian dan perenungan akan anugrahNya.

Dia ajari tentang keberanian menghadapi rintangan, demi mempertahankan hidup tanpa saling
merusaknya.


Adalah hal yang bijak membawa mereka, anak-anak mengenal dan ...belajar
dari Dia, .... Alam,   Guru tertua manusia.....!


Saturday, July 27, 2013

JEJAK SEJARAH YANG TERLUPAKAN


Ketidak sabaran, keberanian dan semangat sebagian Pemuda negeri "membawa" para Pemimpin, Tokoh Perjuangan Negeri ini ke rumah sederhana di sudut kampung Rengadengklok.
Maka, malam sebelum hari Kemerdekaan negeri ini, para tokoh pendiri Bangsa berkumpul dan bermalam di rumah ini.
 
          Rumah Kemerdekaan, Rengasdengklok

Mereka mempersiapkan untuk sebuah moment penting, prosesi, pernyataan pada dunia, menujukan pada dunia, lahirnya bangsa ini, "MERDEKA".

Sebuah moment, peristiwa yang sangat penting, lahirnya negeri dari "cengkeraman 3,5 abad dalam genggam tangan para penjajah".

Namun sayang, tempat sejarah ini masih tetap tersudut di sebuah Gang, sudut kampung di Rengasdengklok, yang jauh dari perhatian anak negeri, dan perhatian para Pejabat yang duduk di negeri ini.
Perhatian kita tidak sebanding dengan "peran, dan sejarah, perjuangan pendiri bangsa di rumah ini dalam proses lahirnya sebuah negeri, Indonesia".

Suatu hari, salah satu anggota keluarga keturunan ketiga pemilik rumah ini pernah mengatakan, mau berniat menjual rumah ini.


           Ranjang yg ditempati Ir. Soekarno  ( duplikat )

Karena disatu sisi sebagai tempat penting perlu ditata, dirawat agar kondisinya seperti kondisi dulu para tokoh negeri ini singgah.
Disisi lain, berarti konsekwensinya, tidak bisa digunakan, ditempati untuk keluarganya sebagaimana umumnya rumah milik sendiri.

Bila jadi dijual, dan pembelinya menghargai sejarah, tentu tidaklah mengkhawatirkan.

Jalan menuju Rumah Kemerdekaan, di sudut kampung Rengasdengklok.

Lalau bagaimana jika pembelinya tidak peduli sejarah? Diratakan, diganti untuk bangunan kepentingan lain?

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah bangsanya, begitulah pepatah yang selalau didengungkan.
Ternyata hanya sebuah "semboyan yang di kejalankan (dibuat spanduk dipinggir jalan)", dan bukan "semboyan yang dijalankan"......

Catatan Kecil Di Balik Foto : SIAK


Sisa purnama jatuh pada riak air sungai Siak, memantulkan cahya keperakan.

Kota kecil yang terpisah ber kotak-kotak oleh jalan yang bersih, tak ada raung knalpot, ta ada kehidupan malam yang "memabukan".

Berbagai Etnis menyatu dalam kedamaian, kehidupan, budaya, makanan, dan bahasa kental aroma "Melayu", di disisa kejayaan sang Sultan..

Friday, July 26, 2013

Melintas Bangodua

( cacatan kecil dibalik foto : Melintas Bangodua )

.....rezim demi rezim, kami petani, tetap petani.

Mengayuh hidup dengan beribu peluh jatuh, 
menyusuri jalan pahit tak bertepi, 
melewati janji rezim yang tak ber bukti. 
Tak ada lagi nasi dari keringat kami,
 tak ada padi dari bumi pertiwi, karena regulasi tak bernurani, tak berpihak pada kami......


Thursday, July 25, 2013

SI KAKEK TEMAN SE TENDA

Pintu-pintu tenda tersibak, warna putih menebar, menyelimuti padang luas.
Di sisi timur sebuah bukit batu,  cahaya matahari pagi menerobos awan dibalik bukit itu,  bersemangat  menyambut para tamuNya.

Tapi kemana si Kakek yang tadi malam tak jauh disampingku ?


Semalam terdengar Suara nafasnya terengah-engah. Sesekali batuk.
Kulit keriput dimakan usia, pipinya mengkerut karena sudah ompong.

Tak ada kasur yang empuk, badan kami dan tanah hanya tersekat alas tenda. Jutaan manusia dalam "ketelanjangan diri" dosa, malam itu bermalam di hamparan padang luas.

Zikir, doa, penuh harap, dan mohon ampunan,  terdengar dari tenda-tenda yang terhampar memenuhi setiap jengkal padang itu.

Raga-raga duduk tafakur, jiwa-jiwa merenung perjalanan hidup, bagai meditasi dan instropeksi, bermuara pada penyesalan dan harapan mendapat ampunanNya. Air mata menetes antara ucap bibir yang pelan. 

Kakek itu terkulai lemah di kursi roda.Tangannya mengenggam pinggir kursi rodanya.

Berbantal tas kecil berisi pakain ganti seadanya, aku tidur dalam satu tenda tak jauh dengan si Kakek itu.

Nafasnya semakin jelas terdengar, bersahutan lembut dengan lafadz doa-doa. Sesekali batuknya mengundang aku untuk menoleh kearah arahnya.

Perjalana berat membuat mata terlelap
Jelang subuh, aku bangun. 
Kemana si Kakek ?

Innalillahi wa inaillaihi rojiu'n,  dia menghembuskan nafas terakhir, menemui Sang Khaliq jelang Wukuf di Padang Arafah........




RIMBUN TERAKHIR BOJONG KULUR

(cacatan kecil di balik Foto) :


.........Di pertengahan tahun '80 an, sungai ini menjadi berkah rizky.
Perahu kayu kecil berpenumpang penduduk asli membawa pasir menyusuri sungai ini menuju tempat pengumpul diujung kampung.

Hari ini, dari hulu sampai hilir, sungai ini terhimpit kawasan perumahan.
Rimbun hijau bentang alam bantarannya, kini menjadi sempit dan menjadi bentang hamparan sampah.

Tinggal menghitung hari, nasib "Sungai" ini menjadi "Kali". 

Dari "Kali" menjadi "Got".
Dari Got menjadi Hampara Semen.
Lalu,  diatasnya kami " menyanyi lagu ketidak pedulian " .
Lalu, diatasnya kami  " menari tarian keserakahan".

Mungkin nama Bojong Kulur juga akan tergusur, karena dipandang kampungan dan tak bernilai jual, berganti dengan nama Estate, Village, Town House, Puri...

Rimbun terakhir di Bojong Kulur..! 

"Sejengkal langkah" dari "Cikeas", tempat Pemimpin Tertinggi Negeri ini dengan Purinya........

Wednesday, July 24, 2013

KETIKA MATA AIR KEHILANGAN SUNGAI



Selembar daun bambu, kulipat ujung-ujungnya, sehigga membentuk segitiga dan satu sisi ujung daun itu dilebihkan.
Kuletakan daun itu diatas air sungai yang jernih, tanpa sampah plastik, yang mengalir di depan Sekolah SD kami.
Lembar daun itu seperti Perahu layar, bergerak kesana kemari, kadang menentang arah arus air, mengikuti dorongan angin yang meniupnya.

Kami gembira melihat gerakan “perahu daunku” yang bergerak kesana kemari, disela-sela waktu istirahat pelajaran sekolah kami.


Di depan sekolah kami, mengalir dua sungai kecil, memanjang sepanjang kiri kanan jalan yang membelah wilayah Desa  dari Utara ke Selatan, yang dikiri kanannya rimbun oleh Pohon Asam.

Sungai kecil itu memanjang sejak dari Ujung Pasar di kampung kami. Di seberang jalan SD kami, masih ada kebun dengan Pohon Bambu yang akar-akarnya terlihat bersinggungan dengan air sungai.

Dari pohon Bambu inilah kami mendapatkan daunnya untuk kami buat mainan Perahu Bambu, pengisi waktu kala istirat pelajaran.

Kini, sungai-sungai kecil itu telah hilang, baik disisi kiri maupun kanan jalan.
Rumah-rumah penduduk sepanjang jalan itu, “memajukan pagarnya”, sehingga bagian suangai menjadi bagian dari halaman.

Semula hanya dibuat, ditutup dengan semen menjadi “jembatan pribadi” sebagai jalan akses ke pintu rumah. Lambat laun menjadi tertutup semua. Seiring dengan itu bagain sungai itu sudah tidak menjadi gorong-gorong, diurug dan diratakan.

Kata Air pada manusia :
" Jangan kau umpat aku, karena tak lama lagi kalian membutuhkanku, sementara aku sudah ke laut lepas.

Maafkan aku melewati jalanmu, karena jalanku tlah kau sumpal dengan sampah dan tembok tembok yang menjarah jalanku.

Maafkan aku masuk ke rumah-rumahmu, karena rumahku dibawah pohon, hutan-hutan tlah kau rambah..!" 


Kata Sungai pada manusia :
“ Kami bukan wc umum tempat akhir saluran kotoran manusia, kami bukan tempat sampah massal, bukan pula tampungan limbah industri, yang menyebabkan binatang penghuni kami mati. Biarkan Kami menjadi nandi kehidupan untuk ladang-ladang, maka janganlah kami dipersempit salurannya. 
Biarkan anak-anak riang bersama kami, dalam kesegaran air, kelebaran saluran dan dalamnya lubuk-lubuk kami…! ”

Kini, hilanglah sungai dari Peta Desa kami, seiring pula hilang “ kenikmatan anak-anak bermain dengan alam ”, bermain dengan sungai dan air…!

....ketika Air kehilangan Sungai
....ketika Sungai terampok wilayahnya
....ketika Sungai menjadi tempat sampah
....ketika akar tanaman menjadi langka
....ketika kita lebih senang  “ membabat “ dari pada  “ menanam “
Maka.....MATA AIR menjadi AIR MATA....!
Selamat datang Banjir...!


Tuesday, July 23, 2013

MABIT


( catatan kecil dibalik foto ) :



.......Tak ada Tahta yang diciptakan manusia, yang sering menjadi "sekat keakuan" lebih dari manusia lainnya.
Tak ada baju uniform kebesaran, yang sering  menjadi "kebanggan keakuan" lebih dari manusia lainnya.
  
Tahta, jenjang, uniform kebesaran, yang menjadi "atribut" keduniawian dilepaskan. 
Tak ada ranjang empuk, selimut hangat,
Kembali sabagai "manusia seutuhnya" yang berjalan sementara menuju keabadian ( dan "hanya" singgah sesaat di dunia, seperti singgahnya kami malam ini dihamparan padang luas, dalam pelukan pekat dan dinginnya malam  ).

Berselimut alam, beratap langit malam, memenuhi panggilanNya, kembali menjadi manusia seutuhnya ( yang kecil, tak berarti ) di hamparan gelap alam Muzdalifah.......


LUDAH dan PUNTUNG ROKOK


Niat makan Sarapan Pagi di sebuah rumah makan di area dalam Bandara Soekarno Hatta.
Baru duduk sejenak, sudah tidak kuat, "Asap Rokok" menyergap dari berbagai arah, yang keluar dari hidung-hidung para Perokok, yang mendominasi tamu rumah makan tsb, dari mulai Gadis-gadis belia nan cantik, sampai Kakek-kakek keriput. 
Aku jadi teringat minggu lalu, waktu ngobrol dengan tamu seorang Warga Negara Asing.
Dalam obrolan ringan pagi hari, tentang kesan Indonesia dan alamnya, kurang lebih si Bule ini bilang :

" Indoesia menarik, beragam budaya dan keindahan alam, tapi ada satu keheranan saya, mengapa orang Indonesia rata-rata merokok, dan merokok dimana saja, tidak pandang tempat .
Apakah disini tidak ada aturan tempat khusus untuk merokok di tempat umum ? ".......
( setengah nada protes si Bule mengutarakannya )
( Sambil garuk kepala, aku bingung menjawabnya, karena suatu kenyataan, bahwa di Indonesia, di tempat umum, akan lebih mudah menemukan Ludah dan Puntung Rokok...! )

Monday, July 22, 2013

JEJAK LANGKAH TAMU ALLAH

(cacatan kecil dibalik foto) :


.......Tak terhitung kaki-kaki yang bergerak,
Kaki-kaki yang datang dari berbagai sudut Bumi,

Langkah-langkah yang tak kenal lelah,
menyusuri Lorong-lorong yang tak kenal kosong,
jalan-jalan yang tak kenal lengang,
langkah-langkah menuju satu titik,
berpasrah diri, 
doa-doa yang sarat harap,
dan ampunan, 
dalam sujud-sujud khusu,
luluh keangkuhan, keakuan.
menyadari kekerdilan diri di hadapanNya, di Baitullah.....

Sunday, July 21, 2013

Apakah Hanya Tinggal TarDUT, JaDUT ?



Bukan bermaksud merendahkan sebuah hasil karya seni, sebenarnya tidak ada yang terlalu istimewa dari album Chalwanka dari Peru ini.
Selain didominasi suara Sepasang alat tiup tradisional dari kaki pegunungan Andes yang berupa deretan 15 bambu kecil-kecil, disebut Zampona. Ditambah "keraiaman, petikan, kocokan" gita kecil bernama Charango.

Alat musik lainnya, selebihnya adalah suara alat musik modern seperti Drum, Gitar, alat music eletronik seperti Keyboard.

Alat tiup tradisonal tak lebih mengisi sebagai "Melody", pengganti vokal / suara Penyanyi.

Lagu-lagunya juga lagu-lagu Modern, sederetan lagu-algu Cinta ( Love Song ) yang kita sering dengar seperti, Right Here Waiting nya G. Benson, Dont Cry for Argentia,  atau lagu lama Love Hurts.

Kecuali di album khususnya Andes Song, yang berisi deretean lagu asli tradisional di kaki pegunungan Andes, seperti El Condor Pasa, Sariri, Fantasia de un carnaval dll yang banyak berpadu dengan Gitar akustik.

Perlu Dicontoh :
Namun satu hal yang patut dincungi jempol dan perlu ditiru. Sang penyanyi ( lebih tepatnya peniup Zampona ), selalu tampil dari Mall ke Mall berkelas di Jakarta.

Dengan Sound System yang tidak terlalu besar namun berkwalitas.
Tampil dengan Pakaian Adat Andes, meja kecil di depannya dipenuhi barang kerajinan khas suku Andes seperti Kain, Alat musik seperti yang dimainkan, dan tentu....CD Album lagu-lagunya untuk dijual langsung pada pengunjung Mall..!

Sang Peniup ( sekali lagi karena dia tidak menyanyi dgn Vokal nya), hanya diiringi musik rekaman "minus satu" suara alat tiup itu ..!

Andai, andai dan Andai :
Andai Pemain Kecapi Suling kita, pemain Tarling kita,tampil dengan "keberanian" seperti dia. Bermain di Mall-Mall kota besar dunia, sambil menjual langsung CDnya, kerajinan khas negeri ini. Wah......terbayang....!

( Ataukah kita telah "menganggap" kuno pada kesenian tradisional kita ? )
Kita telah kehilangan percaya diri pada nilai lebih Kesenian Tradisional kita, sehingga lebih dominan " memasukan dangDUTnya ".
 

Dan hilang "aroma khas, rasa tradisionalnya" , karena telah tercampuri "penyedap rasa instan", Dangdut..?
Sehingga yang ada tinggal TARDUT = TARling dangDUT, JADUT = JAipong danDUT ...)

Saturday, July 20, 2013

PROVOKATOR YANG SESUNGGUHNYA


 Ketika "Kesantunan" telah Luluh.


Nonton acara Diskusi, Debat, Talkshow, sampai pada acara ILC yg notabenenya tempat berkumpulnya oran-orang elit, manusia berpendidikan sampai budayawan, tak lebih jadi ajang pelajaran Kekerasan, yg meluluhkan tak berartinya kesantunan, nilai nilai luhur masyarakat Timur, dan beradabnya manusia beragama.

Betapa tidak?
Sebuah diskusi yg bertopik, harusnya menjadi ajang yg saling melengkapi, memperkaya wawasan.
Tetapi yg ada tak lebih hanya menjadi media yg saling mencemooh, umbaran amarah, pelampiasan kedengkian, luapan emosi caci mencaci.

Topik pembicaraan jadi kehilangan makna. Permbicaraan jadi liar, saling potong pembicaraan..!
Lantas dimana kesimpulan? Dimana manfaat pengkayaan wawasan ? Hilang sudah makna sebuah Diskusi !

Budayan yg hadir, tak lagi menjadi pencerah dari nurani kemanusiaan, namun larut dalam mimik panas dan bahasa kasar yg tak sarat makna.

Yang bergelar Romo, setiap katanya tak lagi menjadi penyejuk, karena tak terbedakan dengan ucapan kata para demontran.

Yang bergelar tokoh agama, larut dalam kata ucap muka memerah, di dera amarah.

Politisi, para ahli, konon para manusia terdidik, tak lebih para pengotot sesuai kepentingan golongan dan pribadinya.

Nah, payahnya lagi Media TV tsb sama sekali tidak meng cut, momen momen yang tak layak siar itu !

Bahasa kasar, muka penuh amarah, tak mengenal etika, miskin akan kesantunan, miskin budaya luhur ke Timuran, menjadi "tontonan, dan pelajaran kekerasan" yg ditiru oleh masyarakat bawah. !

" Sebenar-benarnya, sesungguh-sungguhnya Provokator Kekerasan adalah mereka, para elit, politisi, budayawan, tokoh agama ( semua agama ), dan Media yg getol membuat acara seperti itu hanya demi angka rating pemirsa ! "

BERKACALAH PADA KAMI, TUKANG BAJAJ

Aku tak kenal THR ataupun Gaji Ketiga Belas, tak kenal Remunerasi atau kenaikan Gaji, tak kenal pula Dana Perjalanan Dinas, tak pula mendapat jatah Kendaraan Dinas selain Kendaraan Kerja Cari Nafkah, Bajaj reot !


Aku rela berpanas-panas Mudik Lebaran di jalur Pantura yang tak ramah, tapi...mengapa banyak Pejabat dan Anggota Dewan yang minta pulang Mudik menggunakan Kendaraan Dinas (yang milik kami, milik Negara, milik Rakyat). 

Mengapa pula harus bersandiwara, membohongi kami, menempel Plat Nomor Polisi Palsu, agar bisa pulang kampung dengan kendaraan Dinas ?



Tidak kah malu pada kami.
Berkacalah pada kami : Tukang Bajaj....!

APRIANI "hanya" IKIBAT



Cacian, umpatan, usulan agar dihukum seberat-beratnya kepada panabrak 9 orang tewas, bukanlah satu-satunya jalan keluar yang terbaik.

Karena peristiwa ini hanya "akibat". Ibarat kebakaran, "matikanlah sumber apinya".

Persitiwa Apriani adalah akibat.!

 Betapa pengaruh Narkoba sedemikian dapat berakibat mencelakakan orang lain, betapa mudahnya mendapatkan Narkoba, betapa terang benderangnya tempat-tempat para pengguna Narkoba berkumpul.
(cerita beking-beking dari Preman sampai aparat pelindung tempat spt ini sdh bukan rahasia umum).
Masihkan aparat kesulitan menangani ini?

Peristiwa Apriani adalah akibat.!

Betapa mudahnya orang berkendara tanpa SIM. Betapa mudahnya mendapatkan SIM. Sekalipun melalui proses Ujian SIM, materi Ujiannya hanya hapalan, yang bisa dihapal. Sedangkan kecelakaan lebih disebabkan karena "Perilaku". 
Apakah Polisi tidak bisa memasukan, menilai Perilaku, kepribadian, mental calon yang mangajukan SIM (saat ujian SIM) ?

Peristiwa Apriani adalah akibat.!

Sehebat, secanggih aturan dan peralatan Teknologi sistim Ujian SIM digunakan, TIDAK AKAN BERARTI bila Petugas di Lapangan saat Ujian SIM masih bisa diajak kong kali kong.

Peristiwa Apriani adalah akibat.!

Seberapa banyak petugas yang disebar di sepanjang jalan, angka kecelakaan akan tetap tinggi, selama para Petugas masih bisa di ajak Kong Kali Kong terhadap para Pelanggar...

Sekeras apapun teriak umpatan kita thd Apriani, Apriani-Apriani lain akan sangat mungkin hadir dgn dan peristiwa kecelakaan lalu lintas akan tetap terjadi..., karena kita "hanya mematikan api", tidak "mematikan sumber api".....

KUCARI WAJAH, PADA TONG MANUSIA INDONESIA

....pada tong " MANUSIA INDONESIA ", tangan sudah lelah mengorek -  ngorek mencari budaya, etika ke "timuran" yg konon syarat ke arifan. 
Yang kutemukan tumpukan budaya bentrokan, kekerasan, keserakahan memperkosa negeri, nafsu korupsi, semangat kesukuan dan golongan sendiri.

Kuhirup udara negeri ini, penuh dgn ambisi pribadi politisi.
Kutatap langit negeri ini, awan hitam penuh kutukan Tuhan.....

KETIKA RINJANI, DIATAS RINJANI

( catatan kecil untuk putriku, Rinjani :  Saat Rinjani dipuncak Rinjani )

Nak, …Semakin kau banyak menjejak puncak, semakin banyak yang belum kau jejak.
Diatas puncak, masih ada puncak.
Saat kau jejak puncak yang paling tingggi, masih ada yang lebih tinggi yang membuatmu “tengadah”.



Bukan seberapa tinggi puncak yang kita jejaki, tetapi seberapa pendakian itu “meluluhkan keangkuhan kita”.
Bukan pula seberapa banyak puncak yang kau jejaki, tetapi seberapa “kekerdilan diri teresapi”.

Perjalanan pendakian tidak berakhir pada puncak tertinggi yang berbalut kebanggaan, tetapi pada kesadaran akan adanya yang Maha Kuasa dari Yang Kuasa, yang menciptakan Guru mu,…Alam..! 


Nak,….teruskan perjalanan, karena Alam akan mengajari, menyadarkan akan “kekerdilan diri”, dan “meluluhkan keangkuhan” kita.

SUATU SAAT, MUNGKIN LUPA PADA WARNA BENDERA NEGERI SENDIRI.


Sesaat setelah aku masuk ke ruang Kelas itu, murid-muridku berdiri. Dengan posisi tegap, semua murid-murid itu melakukan Penghormatan dengan khidmat pada Bendera Merah Putih yang ada di sudut kanan ruang Kelas.

Begitulah acara penghormatan pada Sang Saka itu dilakukan setiap hari sebelum pelajaran jam pertama dimulai, yang dilakukan di era dekade pertengahan tahun ’80 an.

Pada awal ada kebijakan dari Pemerintah untuk melakukan Penghormatan Bendera itu bagi semua siwa Sekolah, terjadi Pro dan Kontra di masyarakat. Ada yang kontra karena dianggap seperti “menuhankan” Bendera.

Terlepas dari semuanya, ini adalah sebuah upaya menumbuhkan kecintaan, dan pengingatan pada kebesaran tanah airnya bagi siswa-siswi sekolah sebagai generasi penerus bangsa, menumbuhkan rasa kebanggaan pada negaranya.

Bagaimana mungkin akan melakukan sumbangsih bagi negeranaya, bila tidak ada rasa kecintaan pada bangsanya itu sendiri. 
(Mungkinkah lahirnya para Koruptor karena tidak ada rasa kecintaan pada negerinya sendiri ?).

Entah apakah masih ada acara penghormatan bendera di ruang Kelas di awal pelajaran bagi siswa-siswi sekarang ?

Suatu kenyataan, kibar Merah Putih di ujung-ujung Gang, di Kampung-kampung, setiap Hari Kemerdekaan pun kini semakin berkurang kibarnya.
Mungkin suatu saat kitapun lupa akan warna bendera negeri sendiri…!

( Catatan Kecil : Ketika Aku menjadi Guru )

DARI KOPI SAMPAI EMAS


Jalan-jalan di Mall yg mewah di Ibu Kota negeri ini, melihat deretan tempat "ngopi" modern dari merk lokal sampai kelompok usaha waralaba asing, pikiran melayang ke sejarah bangsa sendiri, yg dilahirkan menjadi budak-budak yg terjajah, tanpa merasakan hasil bumi negerinya sendiri.

Kopi, pada abad 19 telah mendesak kedudukan rempah-rempah lainnya.

Kopi negeri ini, adalah penghasilan, sumber dana terbesar Penjajahaan Belanda.
Kopi begeri ini, tidak saja untuk membiayai jalannya pemerintahan penjajah di negeri ini saat itu, tetapi juga untuk memperkaya negeri dan Bangsa Belanda !

Segelas kopi di Waralaba Asing di Mall itu, kuteguk, rasanya asin, bagai meneguk cucuran keringat para petani yg harus dipaksa menyetor "kontingent" (wajib setor hasil bumi) kepada para penjajah.

Kuhirup asap tipis, dari permukaan segelas kopi itu, aromanya bau, bagai aroma busuk 12.000 bangkai manusia, para pekerja paksa rakyat negeri ini yg meregang nyawa saat membuat jalan Raya Pos, Anyer - Panarukan.

(Esok, lusa, anak-anaku, cucu-cucuku, mungkin akan hanya bisa melihat deretan emas di Toko milik asing, sementara bumi pertiwi tempat ia berpijak telah terkuras emasnya oleh sang bedebah  bangsa asing !)....

Thursday, July 18, 2013

MALAM TERAKHIR

MUMPUNG MALAM TERAKHIR.

Suatu malam di Banjarmasin, mau masuk Hotel, tempat Parkir penuh.
Sehingga harus parkir di pinggir jalan yg juga sdh penuh.

Dapat tempat parkir yg jaraknya ratusan meter dari lokasi Hotel.!

Saya tanya ke Resepsionis Hotel, kenapa penuh sekali, ada apa?
Jawabnya singkat :
" Malam terakhir Pak ".

( Dalam pikiran, oh mungkin ini "malam terakhir" ada pertunjukan dari Artis terkenal dari Ibu Kota).

Disamping Hotel itu ada bangunan bertingkat yg cukup dikenal di Banjarmasin sebagai tempat "Hiburan Malam " yg lengkap ( konon termasuk lengkap ayam ayam malamnya! ).

Tanpa banyak bicara, langsung masuk kamar. Usai bersih bersih badan, mau makan malam, kembali ke Lobby.

Kembali saya tanya ke Resepsionis :
" Malam terakhir Pertunjukan artis siapa ? "

Kaget mendengar jawaban Resepsionis :
" Bukan Pak, bukan malam terakhir pertunjukan Artis.
Besok kan mulai malam Ramadhan.
Malam ini malam terakhir "

Oh oh oh...oh "mumpung" rupanya.
Biar nanti minta ampunan mulai esok malamnya !

Wednesday, July 17, 2013

HENING PAGI RANCAUPAS



Malam kulewati dengan ceria canda sesama kawan, ditemani hangatnya api unggun. Sinar bulan keperakan jatuh pada butir-butir embun diatas hamparan rerumputan.

Jelang api unggun mendekat padam, dingin dan kabut tengah malam Bumi Perkemahan Rancaupas mulai menusuk tubuh, kelepaskan malamku menuju mimpi.

Usai salam akhir Subuhku, sisa kantuk masih menggelayutkan mata untuk tertutup kembali. 
Tapi ah…! Apa bedanya kalau begitu dengan hari-hari liburku ditumah..?!
 

Aku sibakan pintu tendaku, Subhanallah !
Di depanku terbentang lukisanNya.!

Temaram sinar mentari pagi, menerobos hutan, sinarnya memendar kala jatuh pada batang-batang pohon.