Thursday, July 16, 2009

Jejak Masa Silam Dalam Genggam Malam

Jarum jam baru meninggalkan angka 23.30 saat roda-roda mobilku menjejak ujung jalan Pintu Besar. Setelah melewati Musium Bank Mandiri dan Bank Indonesia, setelah membelok kearah jalan Malaka, di ujung jembatan yang melintas Sungai Kali Besar, 2 orang Waria ber genit-genit menanti mangsa.

Staduis Dalam Alam Malam

Kali Besar yang konon dulu bersih, penuh lalu lalang perahu, kini hanya memanjang sempit, ditepinya nampak pendangkalan lumpur kehitaman. Lampu-lampu dengan temaram sinarnya kini hanya lebih men jelaskan tumpukan kotoran sampah sepanjnag kali itu.

Diseberang kali, kupandang Toko Merah, dalam temaram malam meninggalkan pemandangan masa silam.

Aku berjalan pada trotoar yang tertata rapi sepanjang pinggir kali. Pada suatu titik, kudengar irama musik dangdut. Lagkah kakiku menuju kumpulan orang di tepi kali itu yang asyik mendengarkan musik dangdut. Pada Lorong teras deretan bangunan tua itu, seperangkat Sound System sederhana bertumpuk diatas gerobak, sekolompok pemain musik mengiringi Penyanyi Dangdut yang berjoget erotis meniru gaya joget Inul Daratista.

Aku bersandar pada pagar yang memanjang sepanjang trotoar dipinggir kali. Disebarang jalan di depanku, kupandangi asyiknya seorang pria berjoget dengan penyanyi wanita yang semakin berjoget erotis

Pria di sampingku yang duduk diatas pagar, berteriak minta Anggur Orang Tua kepada pedagang rokok di seberang jalan. Aroma minuman keras, musik dangdut, para kuli yang menghabiskan malam, kutinggalkan, setelah aku hanya sempat menyatu tidak kurang dari 10 menit saja di tempat itu.

Kuhampiri mobilku, dan hanya beberapa puluh meter saja, kuarahkan ke satu lorong jalan disamping Musium Wayang yang menghubungkan jalan Kali Besar ke lapangan di depan Stadhuis (Musium Sejarah Jakarta). Pada satu sisi lorong, di depan satu pintu masuk Pub malam bertuliskan huruf Cina, kuparkirkan mobilku. Gelak tawa dan alunan musik terdengar dari depan pintu masuk Pub itu.

Batavia Cafe, Kehangatan di Sudut Paruh Malam


Di ujung lorong kulihat Pilar tinggi bagian Stadhuis berwarna putih. Dalam temaram lampu taman, langit dalam biru malam, bulan setengah lepas purnama, menggantung di langit yang sesekali terhalang awan tipis.

Di halaman depan yang berupa lapangan luas bangunan ini, anak-anak muda berkumpul berkelompok dalam canda tawa paruh malam. Beberapa dari mereka bergaya pada sudut-sudut bangunan tua itu , berfoto. Kilatan lampu blitz tak henti-henti berkilat dari setiap sisi.

Kupandangi bangunan Stadhuis yang tinggi berwarna putih itu. Pilar-pilar tinggi, tembok kokoh putih bergaya Kolonial, dalam temaram lampu taman membawaku pada paruh masa silam sejarah. Di sebelah kiriku, sepanjang jalan memanjang motor-motor yang diparkir dengan latar belakang Musium Wayang yang berdiri kokoh dalam usia yang semakin tua.

Di satu pojok, sebuah cafe, Batavia Cafe, cahaya lampu didalamnya memendar pada kayu-kayu deretan jendela dan pintunya, menyuguhkan suasana hangat dan romantisme denyut malam masa silam.

Aku berjalan melintas lapangan ini, melewati anak-naka muda yang berkerumun, aku seberangi jalan. Dihadapanku sebuah bangunan tua berwarna putih, dengan pilar-pilar tinggi di terasnya. Didepannya terhampar halaman luas berumput dengan pohon-pohon Palm menjulang tinggi. Bangunan itu kini dijadikan Musium Keramik ( Balai Seni Rupa ).

Balai Seni Rupa Dalam Temaram Malam

Di ujung jalan, Stasiun Beos (Stasiun Kota), yang zaman Kolonial dulu dikenal dengan nama Station Plein, kulihat berdiri berdiri kokoh, dan tidak kalah memancarkan keidahan malam itu.

Lorong Malam Masa Silam


Dalam paruh malam yang datang malam itu, Pohon Palm diatas hamparan rumput, Pilar-pilar bangunan yang tinggi, tembok-tembok berwarana putih bergaya Kolonial, dalam pendar cahaya lampu, menghadirkan eksotis keindahan dan suasana masa silam yang tak mudah dilupakan.

Kupandangi pada setiap sudut bangunan, pada setiap sudut jalan, menangkap Jejak Masa Silam dalam Genggam Keindahan malam.

Bekasi, 13 Juni 2009
Momon S. Maderoni