Tuesday, November 10, 2009

Lintas Alam Bermotor, Dari Tambang Emas Liar
sampai Tambang Batu Kapur

Kabut baru luruh pagi itu, dimana kami bertemu di depan pintu masuk komplek perumahan Kota Wisata, Cibubur, sebagai meeting point rencana perjalanan lintas alam ber motor kami hari itu, Sabtu 31 Oktober 2009.

Kegiatan lintas alam bermotor kali ini diikuti 5 Motor Trail, 2 Kawasaki KLX 250, 2 Kawasaki KLX 150 dan 1 Beijing Cross 200.
Satu Motor diantaranya (KLX 250) ”bergabung mendadak dan kebetulan’’ setelah bertemu kami di SPBU, Cikeas. Jadilah kami ber lima pagi itu memulai penjelajahan lintas alam diatas masing-masing Motor Trail.

Menjawab Kepenasaranan :
Jalan raya Jonggol – Cianjur tidak begitu padat pagi itu, sehingga kami bisa mengembangkan kecepatan rata-rata diatas 65 km / jam.

Tujuan kami adalah menjelajah hutan gunung Subang yang berada di kampung Sigeung, Sukaharja, Jonggol, lebih kurang 16 km kepedalaman dari jalan raya Jonggol – Cianjur.

Ditengah-tengah lingkungan hutan yang semakin gundul dan rusak, Gunung Subang terlihat masih utuh hutannya. Didominasi pinggirnya oleh hutan Pinus yang masih rapat. Inilah yang membuat kami penasaran, mengapa hutannya masih terjaga ditengah-tengah hutan yang kini semakin langka ?

Hutan Pinus, di Pintu masuk Gunung Subang

Jam 09.30 kami sudah berada di kampung Sigeung, yang terletak di bibir hutan, sebagi pintu masuk ke kawasan gunung itu. Dengan info yang sudah kami kumpulkan sebelumnya, kamipun masuk ke hutan itu.

Jalan tanah selebar satu mobil kami menyambut kami. Namun setelah melalui beberapa percabangan, dan 2 jembatan kecil, jalan menyempit dan tinggal hanya untuk jalan kaki...!

Jalan setapak itu selain sempit, dikiri nya jurang yang dalam, berkelok-kelok dan menanjak...!

Trek ini menguras tenaga kami dan tenaga motor kami. Rasa ciut dan was-was melihat bibir jalan sebelah kiri kami, didasarnya terlihat dasar jurang yang dalam dan menanti kami bila salah perhitungan mengendari tunggangan kami.

Jalan setapak menuju Tambang Emas Liar

Pada suatu tanjakan yang terhalang batu, saya, sebagai kendaraan pembuka jalan, terpeleset ketika roda menginjak batu yang lepas. Roda motor terangkat dari tanah, ”ciuman bumi” tak urung harus dinikmati !

Semakin jauh kedepan, jalan ini semakin sempit dan sulit dilalui. Sampai pada satu titik dimana terdapat parit berbatu yang dalam, dan didepanya tanjakan dengan kemiringan antara 75 - 80 derajat ! Kamipun menyerah untuk melaluinya ..!

Dihadapan kami terhampar hutan yang rapat, dibeberapa tempat ada tanaman Kopi. Dan jauh diatas tebing yang curam itu gubuk-gubuk berderet di depan lubang-lubang galian.

Dan ternyata....gubuk-gubuk itu adalah gubuk para penambang.! Penambang Emas liar....! Itulah mengapa hutan ini dibiarkan utuh, seolah pagar yang mengahalangi pandangan, agar lokasi itu terlindung.!

Konon info dari penduduk setempat, selain para investor gelap, beberapa kali terlihat orang asing datang ke lokasi ini menyewa ojek dan jalan kaki.

Berlatar belakang Gunung Batu, mencuat menggapai awan.

Puncak Pass II, Pasir Halang :
Dari gunung Subang, kami berbalik arah menuju Gunung Batu yang menjulang tinggi, mengerucut. Setelah puas memandang keindahan gunung batu, kami lanjutkan melalui jalan berbatu yang sedang diperlebar antara Gunung Batu dan Sukawangi. Inilah jalan yang konon di tahun 2010 akan menjadi jalan alternatif untuk mengatasi kemacetan di jalan Raya Puncak Pass !


Ditengah alam yang masih asri, sudah terasa geliat akan keramaian di jalan ini. Dibeberapa tempat ada lahan yang diratakan, mungkin untuk rumah makan atau Villa.

Di Salah satu tikungan, air terjun jatuh dari tebing. Gemiriciknya mengundang kami untuk beristirahat di tepinya.

Gemericik Air, Irama alam di Pasir Halang

Sukawangi, puncak melepas pandang :
Diujung jalan berbatu, kami membelok ke kiri. Jalan tanah setapak, meliuk-liuk membelah hutan dan pematang.

Wangi rerumputan, udara yang segar, menjadi penyemangat petualangan kami diatas jok motor. Jalan setapak ini begitu panjang dan menanjak terus, membelah rimbunnya pohon-pohon.


Bentang Alam ini akan terusik menjadi Jalan Alternatif Puncak Pass II
Diujung jalan ini berupa puncak tertinggi, ditepi jurang, dimana kami bisa melepas bebas pandangan kearah jalan-jalan yng telah kami lalui sebelumnya. Gunung Batu yang sebelumnya terlihat gagah tegak berdiri, sekarang terlihat hanya sebuah noktah yang menonjol dari hijaunya alam.

Altimeter di tempat ini menujukan angka lk. 950 meter dari permukaan air laut (mdpl). Ditempat ini kami beristirahat siang. Mengeluarkan alat masak, dan Mie Instant yang kami masak, sungguh nikmat di santap menjadi menu makan siang kami..!


Makan siang diantara Ilalang Puncak Pasir Halang

Menyeberang batas Bogor – Cianjur :
Saat Matahari berada diatas ubun-ubun, kami tinggalkan Puncak Pasir Halang. Punggungan gunung yang diapit jurang dalam di kiri kanan kami adalah suguhan trek alam sebelum kami memasuki kampung Sukawangi.

Rumah penduduk yang terpencar-pencar diselingi hutan, kebun kopi, jalan setapak yang membelah kampung adalah santapan pemandangan dan suasana yang kami nikmati. Setelah menikmti jalan kampung sepanjang lk. 6 km, kami masuk kembali ke jalan setapak diantara sawah-sawah dengan terasiring yang tertata indah.

Tidak begitu lama kami disuguhi turunan tajam, dan diujungnya sebuah jembatan gantung membelah Sungai Cibeet.


Melintas Kampung Sukawangi

Karena kondisi kayunya yang sudah rapuh, ditambah tautan kabelnya yang lapuk, kamipun memeriksa kembali kondisi jembatan ini sebelum kami lalui.
Satu persatu dengan rasa was-was kami lalui ”jembatan goyang” ini.

Selepas jembatan, tanjakan curam menyambut kami, jalan hanya berupa jalan pematang, yang mebelah pesawahan. Kamipun dituntut untuk tidak berhenti, karena tidak ada pijakan kaki dikiri kanan kami. Sekali salah perhitungan, motor berhenti, tergulinglah ke sawah ...!


Sungai Cibeet yang kami lalui adalah batas wilayah antara Kabupaten Bogor dan Cianjur. Kini kami berada di wilayah Cianjur. Anak-anak SD berlarian menyambut kami.

Trek berikutnya, kami masuk ke Perkebunan Teh dengan jalannya yang tertutup rapat ilalang. Samar-samar kawasan Kota Bunga, Cipanas terlihat diantara birunya langit siang itu.

Selepas Kebun Teh, jalan menurun tajam. Diujung trek ini jembatan sempit menghadang kami kembali. Diseberang Jembatan ini kembali kami berada di wilayah Kabupaten Bogor.



Melintas Jembatan Goyang

Cicatang – Cioray – Kalapa Nunggal :
Langit mendung, dan gerimis sisa membasahi jalan saat kami memasuki daerah Pabuaran di jalan antara Jonggol - Citeureup.

Sebelum kami lanjutkan perjalanan memasuki trek jalan setapak kembali, kami mengisi bensin, karena jalan berikutnya adalah jalan setapak di tengah hutan.

Awan hitam menggantung di bibir hutan yang akan kami lalui.
Selepas kampung Cicatang, yang menjadi pintu gerbang ke jalan setapak hutan Cioray, kami disuguhi jalan tanah berbaur batu. Hujan gerimis telah membuat trek menjadi licin. Berkali kali kami harus terpaksa turun dari motor karena Motor tidak bisa dikendalikan. Beberapa turunan dengan jembatan kecil di ujungnya membuat kami ciut saat melewatinya.


Menyeberang anak sungai Cipamingpis

Tidak begitu lama , kami dihadang anak sungai Cipamingpis dengan batu-batu besar menghadang. Ditengah deraan kelelahan badan, salah satu rekan kami, Pengendara Beijing Cross 200, perlu tambahan tenaga untuk keluar dari sungai itu. Dorong mendorong motorpun kami lakukan untuk melalui sungai ini.


Usai trek yang menanjak terus dengan bibir jurang di kanan kiri kami, menjelang sore kami masuk ke kampung Cioray. Cioray, sebuah Kampung terpencil ditengah hutan ini kami lewati dengan penuh kehatian-hatian, karena turunan dan tanjakannya berupa jalan batu yang sangat licin. Tegur sapa penduduk, sambutan keceriaan anak kampung menjadi teman penyemangat kami.


Dorong mendorong, kerja sama kami

Menjelang Maghrib, kami sampai di ujung kampung Cioray yang berbatasan dengan hutan. Sebuah turunan terjal dengan panjang lintasan berupa jalan tanah lk. 50 meter menghadang kami. Disi kanan, jurang yang dalam dengan tumbuhan liar yang diselilingi pohon-pohon Kopi. Disebalah kiri, tebing tinggi. Rimbun pohon dan cuaca buruk mengaburkan pandangan kami.

Saya yang mendapat tugas sebagai penunjuk jalan, kebagian urutan pertama untuk menuruni turunan tajam ini. Lampu dinyalakan, dan baru kami turuni, seorang penduduk muncul dari rerimbunan menuju arah yang berlawanan / berpapasan dengan kami.

Di jalan yang sempit dan menurun tajam itu, kondisi lintasan begitu licin. Sampai setengah lintasan motor masih bisa dipertahankan pada jalur yang dikehendaki. Namun mendekati penduduk yang berjalan di depan tadi, sulit untuk menghindarinya. Dalam kondisi yang kritis itu, motor diarahkan ke tebing (sebelah kiri), roda belakang terpeleset, dan motor berhenti setelah ”mencium” tebing..!

Pekat Malam, Kunang Kunang dan Deru hujan ditengah hutan :
Setelah membuka ”puskesmas” darurat untuk mengobati lecet-lecet akibat ”ciuman” dengan tebing, kamipun istirahat sejenak diwaktu Maghrib.

Dihadapan kami kini hutan yang rapat, gelap. Saat di tengah hutan, gemuruh hujan semakin jelas terdengar menambah ciut nyali kami. Ditengah guyuran hujan, malam yang pekat kami lalui hutan ini. Jalan tanah yang licin, tanjakan berbatu-batu sangat menguras tenaga kami.

Dalam istirahat ditengah basah kuyupnya badan kami, kerlap-kerlip binatang Kunangkunang yang terbang terang diantara pekatnya malam, menghadirkan sebuah lukisan alam malam, menjadi teman kami.

Di beberapa tempat dalam sorot lampu motor kami, terlihat kiri kanan batu-batu kapur tersibakan dari hamparan perdu. Hutan ini sudah mulai dijamah sebagai Tambang Batu (lengkaplah kami menyusuri dari Tambnag Emas liar sampai tambang batu..!)

Berkali kali roda motor kami terjererembab di ”waterline”, karena tidak ada pilihan lain untuk melintasi trek ini.

Sambutan hangat anak-anak kampung Cioray


Setelah susah payah, menguras tenaga yang melelahkan, akhirnya kami lihat temaramnya lampu-lampu pabrik Semen di daerah Cibinong, menandakan kami lepas dari dekapan hutan.

Waktu menunjukan sekitar pukul 20.00 ketika kami memasuki jalan raya, setelah sebelumnya beristirahat di sebuah warung di bibir kampung Klapa Nunggal yang bertepian dengan hutan.

Di sebelah kantor Polsek, dekat Stasiun Pengendali Satelit Cibinong, kami berkumpul untuk saling menyapa selamat berpisah, kembali ke rumah masing-masing. Sampai jumpa sobat di jelajah berikutnya..!!

(Momon S. Maderoni)

Sunday, November 8, 2009

Motoadventure, Memacu Adrenalin diatas Motor Trail

Saat para Politisi sibuk mencari pasangan berkoalisi, kami sibuk mencari teman berkoalisi untuk memacu adrenalin diatas jok Motor Trail.

Melalui e-mail, terkumpullah beberapa penggemar Motor Trail.

Sabtu, 16 Mei, kami jadikan acara jalan bareng bersama untuk Ber Motoadventure menyusuri jalan setapak dirimbunnya hutan daerah Cioray, Jonggol.

Namun kegiatan pertama ini belum bisa diikuti oleh semua penggemar motor trail. Terkumpul 10 orang peserta, dan 1 orang Wartawan dari Tabloid Otomotif.

Pk. 08.30 kami berangkat meninggalkan SPBU Petronas Cibubur sebagai meeting point. Deru iring-iringan motor trail berbagai merk membelah keramaian lalu lintas menuju Cikeas. Dari Cikeas melalui jalan yang lengang, kami menyusuri kampung, sehingga sampai di Klapa Nunggal, sebagai pintu masuk menuju jalan tanah ke hutan dibalik gunung kapur Cibinong.

Di jalan ini satu motor sudah mogok. Setelah ditunggu bisa jalan kembali. Kami sempat tersasar 2 kali karena kehilangan orientasi jalan masuk menuju hutan.

Setelah menemui jalan masuk ke hutan yang benar, Kembali satu motor mengalami kerusakan. Tidak beberapa jauh, satu motor kembali mogok setelah
terjatuhditanjakan yang curam.

Menjelang hutan yang lebih dalam, satu motor lagi mogok, jalannya tanpa traksi karena bannya yang sudah gundul. Sisanya tinggal 6 Motor.

Tanjakan-tanjakan curam, lumpur yang dalam, jalan berbatu, jalan tanah ditengah hutan, kami lalui sampai pertengahan kampung Cioray.

Lepas dari Cioray kami disajikan turunan yang curam dan licin. Bahkan disatu tempat motor tidak dapat kami kendalikan karena saking curam dan licinnya jalan setapak, sementara dikiri kami jurang dalam dan lebar yang menanti kami bila terjatuh. Hanya skill memainkan grip gas, rem, kopling, stang dan kestabilan tubuh lah modal untuk melewatinya.

Setelah disajikan pemandangan kawasan sisa hutan kawasan Jonggol, kami lewati 2 sungai, nyali pemberani diperlukan untuk melewatinya.

Usai istirahat siang, kami melanjutkan perjalanan ke Kampung Pasir Awi. Disini kami mampir ke Situs Sejarah Pasir Awi, dimana terdapat Tapak Kaki diatas Batu, dipuncak sebuah Bukit yang menghadap lepas ke lembah dengan pemandangan yang indah.

Pada suatu tanjakan jalan tanah, satu motor rekan dari Sewatama, tanpa terkendali, lompat dan jatuh ke bibir tebing yang cukup tinggi. Dengan upaya yang susah motor tersebut dan pengendaranya berhasil diangkat. Lumayan beberapa bagian motor rusak, namun masih bisa melanjutkan perjalanan kembali.

Kami lanjutkan lagi perjalanan menyusuri jalan tanah diantara ilalang, menerobos hutan. Hari menjelang Ashar ketika kami temui titik akhirnya, berupa jalan aspal yang menghubungkan kota Jonggal dan Sentul, Bogor.

Kami pacu motor diatas jalan aspal menuju kota Jonggol, membelah jalan kampung.

Jelang adzan Isa kami sudah kembali di Cikeas untuk berpisah sesama peserta setelah lk. 100 km diatas jalan tanah dan aspal, naik turun, melibas lumpur , menikung tajam, mengalirkan adrenalin kami !

(Momon S. Maderoni)

Thursday, July 16, 2009

Jejak Masa Silam Dalam Genggam Malam

Jarum jam baru meninggalkan angka 23.30 saat roda-roda mobilku menjejak ujung jalan Pintu Besar. Setelah melewati Musium Bank Mandiri dan Bank Indonesia, setelah membelok kearah jalan Malaka, di ujung jembatan yang melintas Sungai Kali Besar, 2 orang Waria ber genit-genit menanti mangsa.

Staduis Dalam Alam Malam

Kali Besar yang konon dulu bersih, penuh lalu lalang perahu, kini hanya memanjang sempit, ditepinya nampak pendangkalan lumpur kehitaman. Lampu-lampu dengan temaram sinarnya kini hanya lebih men jelaskan tumpukan kotoran sampah sepanjnag kali itu.

Diseberang kali, kupandang Toko Merah, dalam temaram malam meninggalkan pemandangan masa silam.

Aku berjalan pada trotoar yang tertata rapi sepanjang pinggir kali. Pada suatu titik, kudengar irama musik dangdut. Lagkah kakiku menuju kumpulan orang di tepi kali itu yang asyik mendengarkan musik dangdut. Pada Lorong teras deretan bangunan tua itu, seperangkat Sound System sederhana bertumpuk diatas gerobak, sekolompok pemain musik mengiringi Penyanyi Dangdut yang berjoget erotis meniru gaya joget Inul Daratista.

Aku bersandar pada pagar yang memanjang sepanjang trotoar dipinggir kali. Disebarang jalan di depanku, kupandangi asyiknya seorang pria berjoget dengan penyanyi wanita yang semakin berjoget erotis

Pria di sampingku yang duduk diatas pagar, berteriak minta Anggur Orang Tua kepada pedagang rokok di seberang jalan. Aroma minuman keras, musik dangdut, para kuli yang menghabiskan malam, kutinggalkan, setelah aku hanya sempat menyatu tidak kurang dari 10 menit saja di tempat itu.

Kuhampiri mobilku, dan hanya beberapa puluh meter saja, kuarahkan ke satu lorong jalan disamping Musium Wayang yang menghubungkan jalan Kali Besar ke lapangan di depan Stadhuis (Musium Sejarah Jakarta). Pada satu sisi lorong, di depan satu pintu masuk Pub malam bertuliskan huruf Cina, kuparkirkan mobilku. Gelak tawa dan alunan musik terdengar dari depan pintu masuk Pub itu.

Batavia Cafe, Kehangatan di Sudut Paruh Malam


Di ujung lorong kulihat Pilar tinggi bagian Stadhuis berwarna putih. Dalam temaram lampu taman, langit dalam biru malam, bulan setengah lepas purnama, menggantung di langit yang sesekali terhalang awan tipis.

Di halaman depan yang berupa lapangan luas bangunan ini, anak-anak muda berkumpul berkelompok dalam canda tawa paruh malam. Beberapa dari mereka bergaya pada sudut-sudut bangunan tua itu , berfoto. Kilatan lampu blitz tak henti-henti berkilat dari setiap sisi.

Kupandangi bangunan Stadhuis yang tinggi berwarna putih itu. Pilar-pilar tinggi, tembok kokoh putih bergaya Kolonial, dalam temaram lampu taman membawaku pada paruh masa silam sejarah. Di sebelah kiriku, sepanjang jalan memanjang motor-motor yang diparkir dengan latar belakang Musium Wayang yang berdiri kokoh dalam usia yang semakin tua.

Di satu pojok, sebuah cafe, Batavia Cafe, cahaya lampu didalamnya memendar pada kayu-kayu deretan jendela dan pintunya, menyuguhkan suasana hangat dan romantisme denyut malam masa silam.

Aku berjalan melintas lapangan ini, melewati anak-naka muda yang berkerumun, aku seberangi jalan. Dihadapanku sebuah bangunan tua berwarna putih, dengan pilar-pilar tinggi di terasnya. Didepannya terhampar halaman luas berumput dengan pohon-pohon Palm menjulang tinggi. Bangunan itu kini dijadikan Musium Keramik ( Balai Seni Rupa ).

Balai Seni Rupa Dalam Temaram Malam

Di ujung jalan, Stasiun Beos (Stasiun Kota), yang zaman Kolonial dulu dikenal dengan nama Station Plein, kulihat berdiri berdiri kokoh, dan tidak kalah memancarkan keidahan malam itu.

Lorong Malam Masa Silam


Dalam paruh malam yang datang malam itu, Pohon Palm diatas hamparan rumput, Pilar-pilar bangunan yang tinggi, tembok-tembok berwarana putih bergaya Kolonial, dalam pendar cahaya lampu, menghadirkan eksotis keindahan dan suasana masa silam yang tak mudah dilupakan.

Kupandangi pada setiap sudut bangunan, pada setiap sudut jalan, menangkap Jejak Masa Silam dalam Genggam Keindahan malam.

Bekasi, 13 Juni 2009
Momon S. Maderoni

Monday, April 20, 2009

Ujung Genteng
Pesona Alam Priangan Selatan

Pesona pantai pasir putih yang tersisa.
Kondisi pantai yang bersih, alami, dengan hamparan pasir putih yang membentang, kini menjadi hal yang langka kita temui khususnya di kawasan Jawa Barat.

Ujung Genteng, dengan pantai dan keasrian lingkungannya, mungkin hanya sejengkal saja dari sisa pantai yang ada yang masih bersih, asri dan alami.




Cikaso, harmoni di keheningan alam

Kondisi pantai dan alam sekitarnya di Ujung Genteng, mengingatkan suasana Pantai Carita di dekade awal tahun ’80 an.

Setelah Pantai Carita terkotak-kotak pantainya karena dikuasai oleh pemilik Hotel, maupun pemilik tanah ditepi pantai, praktis pantai pasir putih di Jawa Barat yang masih asri dan alami mungkin hanya ada di Ujung Genteng dan bagian pantai selatan Taman Nasional Ujung Kulon.



Ujung Gentang, walau jaraknya cukup jauh (lk. 230 km) dari Jakarta, yang dapat ditempuh lk. 6 – 7 jam perjalanan, kelelahan selam perjalanan akan terobati oleh eksotisme keindahan alam Ujung Genteng.
Ujung Genteng yang merupakan semenanjung yang menjorok meruncing kelaut, dikedua sisinya terhampar pantai yang indah.


Membuka Hari


Laut Selatan yang terhampar di depannya, yang umumnya di lokasi pantai laut selatan (Samudra Indonesia) gelombangnya besar, di Ujung Genteng selain airnya jernih, ombaknya kecil karena terhalang deretan karang yang berada lk. 200 m dari bibir pantai.

Deretan pohon-pohon kelapa dengan hamparan rumput hijau dibawahnya, mengingatkan suasana Pantai Carita sebelum ’dirampas’ oleh deretan Hotel dan penginapan yang ’memblokade’ pantai.

Penginapan di Ujung Genteng berderet menghadap pantai, sehingga pantai masih tetap berada di daerah umum, yang memang semestinya seperti ini, karena pantai adalah milik publik. Tidak sebaliknya seperti dikawasan Pantai Carita, deretan Hotel menghadap ke jalan, pantai berada di belakangnya, sehingga kemolekan pantai tidak terlihat lagi.
Mungkin inilah yang menjadi faktor yang meluluhkan geliat parawisata di Pantai Carita.

Obyek Wisata Yang Tersebar.
Nilai lebih dari obyek wisata Ujung Genteng tidak sekedar keindahan pantainya semata, tetapi didukung pula oleh eksotis dan kekhasan obyek lainnya.

Obyek wisata di Ujung Genteng sangat banyak dan variatif. dari mulai obyek wisata pantai, cagar alam / hutan, kehidupan tradisional masyarakatnya (seperti pembuatan gula kelapa), muara sungai, perkebunan, tersebar disekitarnya.


Karena waktu yang terbatas, maka aku hanya bisa menyapa dan bercengkerama dengan beberapa obyek saja.


Sunrise dan Sunset.
Saat Matahari terbit (sunrise) maupun saat tenggelam (sunset) selalu meninggalkan keindahan tersendiri. Di Ujung Genteng kita bisa menyaksikan keindahannya, saat terbit maupun tenggelam. Matahari terbit dapat disaksikan dari bagian pantai sebelah timur , yang daerahnya didominasi deretan pohon-pohon kelapa. Sedangkan saat Matahari tenggelam dapat disaksikan dibibir sebelah pantai barat.

Hal inilah yang jarang bisa ditemui di tempat obyek wisata lainnya.


Pantai Pangumbahan.
Pantai Pangumbahan yang terletak sebelah barat dari Pantai Ujung Genteng bisa ditempuh tidak lebih dari 20 menit perjalanan dengan menggunakan Ojek, yang bertarif Rp. 20.000,- pulang pergi.. Pantai dengan hamparan luas pasir putih yang bersih ini merupakan tempat bertelurnya Penyu (Kura-kura) Hijau.


Cengkrama Alam Malam di Pantai Pangumbahan

Pada malam hari, Kura-kura yang usianya sudah puluhan tahun ini, datang dari tengah samudra, kemudian merayap ke bibir pantai, dan menggali pasir cukup dalam. Kemudian ia mengeluarkan telur, kemudian menutupnya kembali. Sekali menelur lk. 120 telur akan ditinggalkan dari perutnya..!!

Selesai bertelur, ia kembali ke lautan bebas, meninggalkan telurnya. Dan setelah 60 hari, telur-telur yang telah ”dierami” oleh hangatnya pasir putih, akan keluar berupa anak-anak Penyu, yang biasa disebut Tukik.

Dari sekian banyaknya telur , yang berhasil selamat menjadi Tukik dan hidup menjadi dewasa hanya 2% nya saja. Yang lainnya dimangsa predator, dari sejak telur ataupun saat menjadi Tukik.

Kepiting, Biawak adalah sebgian saja dari berbagai Predatornya. Dan Predator yang sangat berbahaya dan mengancam kepunahan Penyu Hijau tiada lain adalah manusia ! Lihatlah di kota Sukabumi, di beberapa tempat di trotoar jalan, sering dijumpai penjual telur penyu.!

Bila kita ingin menyaksikan Penyu bertelur kita harus sabar, kita mengintipnya pada malam hari. Sungguah suatu keasyikan tersendiri, mengintipnya diantara hamparan cahaya bulan purnama. Bila sang Penyu telah bertelur, Sang Penyu liar itupun masih ramah untuk sekedar dibelai, sebelum ia mengarungi lautan, kembali ke samudra luas.

Pantai Ombak Tujuh.
Lokasi Ombak Tujuh berada di sebelah barat dari pantai Pangumbahan. Lokasi ini dapat dicapai dengan Ojek lk. 1.5 jam perjalanan dengan tarif Rp. 150.000,- pulang pergi.

Pantai ini dinamakan Pantai Ombak Tujuh karena ombak yang datang selalu berjumlah 7 ombak secara berurutan. Lokasinya relatif sepi, selain ada bagian pantai yang datar, juga ada pantai yang merupakan daratan terjal. Ombak bergulung-gulung menghantam tepian yang terjal, pecah diseliling derunya, berlatar birunyan samudra, dan hamparan cahaya keperakan jatuhnya sinar matahari ke riak gelombang, adalah irama alam yang indah dari Nya.

Disekitar tempat ini terdapat danau kecil air tawar yang dikelilingi hijaunya alam, dan hanya dipisahkan hamparan bibir pantai pasir putih, danau ini bersebelahan dengan laut bebas.

Taman Wisata Alam.
Rimbunan berbagai pohon yang menyejukan memenuhi taman wisata alam Ujung Genteng. Lokasinya berdekatan dengan tempat para Nelayan menjual hasil ikannya.

Bila Ujung Genteng ini merupakan daratan yang menjorok tajam ke laut (semenanjung), dengan kedua sisinya merupakan panatai yang eksotis, maka Taman Wisata Alam ini persis di bagian daratan semenanjung itu.

Curug Cikaso.
Obyek Wisata ini sebaiknya dikujungi saat perjalanan pulang. Saat menjelang keluar wilayah Surade (perjalanan pulang dari Ujung Genteng), ada pertigaan ke sebelah kanan, dengan tanda lokasi ke Cikaso. 7 Km dari pertigaan ini, adalah lokasi dari Curug Cikaso. Curug dalam bahasa Sunda berarti Air Terjun.


Menyusuri Sungai Cikaso

Sepanjang jalan menuju Cikaso, pemandangannya indah. Kita akan melawati perkampungan, jalan yang tidak begitu lebar, melewati pula hijaunya pegunungan, dimana di satu sisi jurang yang dalam dan disisi lainnya tebing cadas yang tegak. Mengingatkan kita pada suasana jalan Cadas Pangeran di Sumedang.

Kita akan menemui jembatan panjang yang membentang membelah kali Cikaso. Disebalah kanan sebelum Jembatan tersebut ada jalan masuk dimana disitu terdapat deretan Perahu Kayu kecil yang akan mengantarkan kita ke hulu sungai, dimana Air Terjun (Curug Cikaso) berada.

Satu perahu, maksimum bisa dimuati 10 orang penumpang. Dengan menggunakan Motor Tempel, kita akan bertualang menyusuri sungai, dan menuju kearah hulu sungai, dengan melewati pertemuan dua sungai dengan latar belakang bukit dan hutan yang menghijau. Sungguh suatu perjalanan petualangan di alam yang tidak mudah dilupakan !
Pada titik pertemuan itu, kita akan menyaksikan air sungai yang berbeda warna. Satu sungai berair keruh kecoklatan, dan air sungai yang kita susuri berwarna hijau.

Tidak lebih dari 10 menit saja, kita akan sampai pada tepian sungai dimana kita harus turun untuk melajutkan jalan kaki mendaki, yang tidak begitu jauh.

Diujung tanjakan, di rimbunnya hutan, dihadapan kita terbentang 3 air terjun yang tinggi, yang jatuh ke kolam alam diantara bebatuan. Gemerisiknya mengusik sepinya alam disekitarnya.

Hijaunya alam, mengapit sungai

Ikan Bakar.
Makanan yang mengasyikan di obyek wisata pantai tentulah ikan. Kita bisa membeli ikan dari penjual di dekat tempat para nelayan menjual / melelang ikan. Letaknya adalah dititik ujung semenanjung Ujung Genteng.
Disini ada beberapa warung yang menjual ikan bakar.

Gula Kelapa.
Di Ujung Genteng kita juga bisa menyaksikan perkampungan ditengah hamparan kebun kelapa, dimana terdapat pembuatan gula kelapa yang diolah masih dengan cara tradisional. Gula kelapa tersebut dicetak pada batok kelapa.

Akomodasi.
Di Ujung Genteng terdapat beberapa penginapan. Di pantai sebelah Timur ada Villa Amanda. Di sebelah barat ada Pondok Hexa dan Villa Ujang. Dan sedikit kearah barat lagi, mendekati Pantai Pangumbahan ada Pondok Cowboy, dengan bangunan yang terbuat dari kayu.

Selain itu banyak pula rumah-rumah penduduk yang disediakan untuk disewakan, lengkap dengan dapur dan kamar.



Route.
Ujung Genteng dapat ditempuh dari Jakarta dari 2 route.
Route pertama : Jakarta – Ciawi – Cicurug – Cikidang – Pelabuhan Ratu – Kiara Dua – Jampang Kulon – Surade – Ujung Genteng.
Route Kedua : Jakarta – Ciawi – Cicurug – Cibadak – Cikembar – Bojong Lopang – Jampang Kulon – Surade – Ujung Genteng.

Route kedua lk. 17 km lebih pendek , namun jalurnya cukup ramai karena banyak kendaraan umum. Sedangkan route pertama lebih sepi. Namun keduanya menyajikan pemandangan alam yang indah dengan jalan naik turun dan berbelok-belok.

Route kedua lebih variataif melewati hutan alam, dan kebun teh. Namun route pertama lebih didominasi hutan.

Kemanapun route yang akan dilalui, jarak Jakarta – Ujung Genteng dengan perjalanan selama 6 – 7 jam, kelelahan kita akan terobati dengan eksotisnya sisa alam Priangan selatan yang masih asri..!


(Momon S. Maderoni)
Menjelajah Jejak Sejarah
Yang Terlupakan

Antara Karawang dan Bekasi.
Usai salam di Sholat Subuhku, aku segera menyiapkan perjalananku. Minggu, 1 November 2008, kicau burung menyapaku saat aku membuka pintu rumah. Aku sarapan pagi di dapur yang juga menyatu dengan tempat makan.

Disuasana dapur yang berhadapan dengan taman, ditempat makan yang terbuka itu, aku leluasa memandang dan mendengar alam pagi itu.

Jam 5.45 aku sudah berada diatas sadel motor Kawasaki KLX 250 cc, dan siap mengantarkanku ber "solo adventure" hari itu. Hari itu aku ingin sekali melanjutkan perjalananku seminggu sebelumnya, untuk menyusuri pantai utara antara Krawang – Bekasi, sekalian mengunjungi Tugu Proklamsi dan sebuah rumah bersejarah di Rengasdengklok, dimana Soekarno menyiapkan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan negeri ini.


Motor akau arahkan ke Kota Bekasi. Aku ingin sekali menikmati perjalanan melalui jalan lama antara Bekasi – Karawang yang sudah tidak pernah lagi aku lalui sejak ada Jalan Toll Jakarta – Cikampek.

Bekasi, sebuah kota pinggiran Jakarta yang amat padat. Untung aku berangkat kala masih embun tersisa, sehingga tidak panas dan kondisi lalu lintas masih lengang. Sejak selepas Bekasi, jujur saja aku tidak kenal lagi sepanjang jalan yang ku lalui. Dulu aku masih bisa mengenal tempat-tempat dipinggir jalan, terutama daerah Tambun tempat dimana penjaja buah-buahan (Rambutan dan Duren) mangkal. Jalur anatar Karawang dan Bekasi, tyang tak lepasa dari heroil Sejarah perjuangan para Pahlawan negeri ini, sekarang semuanya berubah. Dikiri kanan banyak jalan masuk menuju komplek perumahan. Kemacetan ditiap titik persimpangan.

Selepas dari Cikarang, dengan meraba-raba ingatan, aku masih sedikit mengenal jalan yang kulalui, walaupun tidak seperti dulu, dimana hal yang paling menonjol di daerah ini adalah tempat-tempat pengrajin bata merah. Sekarang sudah tidak tampak lagi, di beberpa tempat sawah-sawah tersisa diantara bangunann industri.
Kini semuanya telah berubah, antara Karawang dan Bekasi !

Lalu lintas semakin lengang, jalan mulus menjelang kota Karawang. Pada sebuah pertigaan yang berjarak hanya beberapa km saja sebelum masuk Karawang, ada jalan kerah kiri dengan penunjuk jelas arah ke Rengasdengklok dan Batujaya. Aku membelok ke jalan ini. Namun baru masuk, saya teringat kondisi bahan bakar, maklum motor saya ”royal minum Pertamax” daripada bensin premium. Khawatir kehabisan bahan bakar, dan tidak tersedia di daerah yang akan dilalui, aku berputar arah, kembali ke jalan utama yang menuju Karawang.

Hanya lk. 2 km, aku temui SPBU di sebelah kanan jalan. Dan beruntung ada Pertamax Plus yang disukai oleh motorku. Usai mengisi bensin, dalam Mushola disudut SPBU itu, aku merunduk dihadapanNy dalam sujud Dhuhaku.

Rengasdengklok, Sejarah Yang Terlupakan.
Jam menunjukan pk. 08.00 pagi saat aku meninggalkan SPBU itu. Kini aku hadapi jalan yang lebih sempit, namun cukup mulus dengan bentangan sawah yang menghijau dikiri kanan. Lalu lintas tidak begitu ramai. Aku nikmati perjalanan ini, dan mengingatkan jalan kelas kabupaten dikampungku. Di kiri kanan jalan masi banyak pohon pelindung. Udara segar, pemandangan luas ,menghijau menyegarkan mata dan pikiran.

Aku bayangakan bahwa Tengasdengklok itu daerahnya terpencil, dan minim fasilitas umum (seperti ATM, SPBU, tempat perbelajaan). Pikiran ini tersanggah ketika aku memasuki kota Rengasdengklok.

Daerahnya cukup ramai dan hidup. Aku mampir di sebuah Rumah Sakit kecil, Rumah sakit Proklamasi namanya, aku bukan butuh perawatan disini, tapi aku ke ATM yang ada disini.

Tukang parkir di halaman rumah sakit ini memberi tahu rumah bersejarah yang hendak aku kunjungi.
Menurut dia aku harus melewati pasar, dan di pasar ada jalan kekiri, inilah jalan ke Tugu Proklamasi dan Rumah bersejarah itu.

Sebelum sampai pertigaan jalan yang ditunjukan itu, aku mampir ke toko Alfamart, untuk menambah perbekalan, makan kecil dan minuman serta Battery untuk kameraku.

Tidak sulit mencari Tugu Proklamasi, karena dari jalan kecil dari pasar tadi letaknya ada diujung jalan, tepatnya tikungan. Letaknya ditepi bantaran / tanggul sungai.

Tugu Proklamasi

Ada seorang penjaga Tugu Proklamasi ini, dia sedang membersihkan rumput ketika aku masuk kedalam area yang dikelilingi pagar tugu ini. Penjaga yang konon hanya di gaji Rp. 200.000,- per bulan ini sempat membantuku untuk mengambil gambarku didepan tugu proklamasi.

Kalau selama ini Tugu Proklamai yang lebih dikenal adalah Tugu Proklami di jalan Proklamasi, Jakarta. Namun melihat fakta sejarah, sebenarnya Tugu Proklamasi di Rengasdengklok ini tidak kalah penting nilai sejarahnya . Betapa tidak ? Sebelum Proklamasi dikumendangkan di jalan Prokalmasi, Jakarta, ditempat inilah, satu hari sebelumnya (16 Agustus 1945) bendera merah putih dinaikan, dan Proklamasi dinyatakan !


Lukisn Tentang Upacara Kemerdekaan, 16 Agustus 1945

Tugu Proklamsi ini terletak diujung pertigaan kalau kita datang dari arah pasar. Kalau kita membelok ke kanan dari pertigaan ini, hanya beberapa meter saja kita temui jalan kecil lebih, tepatnya sebuah gang, namanya Jalan Sejarah.


Aku di Depan Tugu Proklamasi, Rengasdengklok

Tidak jauh dari mulut jalan ini, sebelah kiri jalan ada rumah sederhana berwarna biru dengan halaman di depannya dalam rimbunan pohon mangga, dan bale-bale bambu diterasnya.

Inilah rumah dimana Soekarno, Proklamator, Presiden RI pertama, 2 hari sebelum hari kemerdekaan dibawa oleh para pemuda dari Jakarta dan menginap dirumah ini. Para pemuda meminta (mungkin tepatnya mendesak) agar Soekarno segera mengumumkan kemerdekaan negeri ini setelah adanya khabar kekalahan Jepang dari tentara Sekutu.

Pada tanggal 16 Agustus esok harinya, di tempat ini dinaikan bendera merah putih, walaupun resmi diumumkan hari kemerdekaan dengan teksnya, dibacakan keesokan harinya di Jakarta.

Dibawah pohon mangga di depan rumah ini terdapat warung terbuka yang menjual minuman. Tak ada petunjuk istimewa di depan rumah ini sebagaimana layaknya sebuah tempat bersejarah.

Rumah ini saat ini dihuni oleh keturunan / generasi ketiga dari pemilik sebelumnya, seorang keturunan Tionghwa.


Rumah Sejarah Persiapan Kemerdekaan RI, Rengasdengklok

Konon menurut penghuni rumah ini, rumah asli sebenarnya berada dipinggir sungai, tidak jauh dari lokasi rumah sekarang. Karana pada tahun 1955 banjir, maka rumah dipindahkan ke lokasi sebagaimana yang ada sekarang.

Begitu pula tempat tidur Soekarno, yang ada di rumah ini merupakan Duplikat, karena yang asli ditempatkan di salah satu musium di Bandung.


Tempat Tidur Sang Proklamator di Rengasdengklok

Foto aktor Sophan Sophian dan istrinya, Widyawati terpampang. Mereka datang saat melakukan perjalanan Jalur Merah Putih, sebelum ia wafat dalam kecelakaan perjalanan itu.

Jam menjelang pk. 09.30 ketika aku tinggalkan rumah itu. Masih terngiang ucapan penghuni rumah, betapa anak-anak muda sekarang jauh dari mengenal dan mencintai Sejarah negerinya sendiri. Anak-anak sekarang lebih mengenal lagu Peterpan, daripada lagu maju Tak Gentar !

Diapun mengeluh betapa pada era Presiden Soeharto sejarah yang berbau Soekarno diberangus, makanya tak eran kalau di depan rumah itu tak ada sedikitpun tulisan atau keterangan catatan sejarah tentang tempat itu..!!

Diapun bersedih bila mengingat betapa orang-orang yang jauh-jauh dari Australia, datang, menyusuri ingin mengetahui rumah itu, karena mereka tahu dan menghargai sejarah bangsa ini. Tapi sayang genersi muda bangsanya sendiri tidak peduli dengan sejarah. Bahkan sejarah kadang rela dihilangkan demi nama atau perjalanan pemimpin bangsa lainnya.

Sayapun termenung, ketika seorang pamanku, dia seorang Polisi yang sering mengantar orang-orang Jepang yang ingin mengunjungi Tugu Proklamasi dan Rumah tersebut. Betapa banyak orang Jepang khidmat di depan tugu dan rumah itu. Dan tidak sedikit yang menitikan air mata mengingat Soekarno maupun Laksamana Maeda.

Tak ada airmata, tak ada kekhidmatan dari kita, untuk mencantumkan tulisan catatan sejarah ditemat itu saja kita sudah tak mampu.!

Candi Jiwa, Situs Sejarah Terbaru.
Aku kembali diatas motorku menyusuri Rengasdengklok. Kalau kuperhatikan kota ini pusatnya hanya merupakan deretan pasar dan toko.

Diujung kota kutemui pertigaan, kekanan kearah Karawang dan Cilamaya. Kekiri kearah Batujaya.

Aku ambil kerah kiri menuju Batujaya. Dibeberapa tempat aku lihat ada penunjuk bertuliskan Candi Jiwa Batujaya. Dan menurut keterangan penjaga rumah sejarah tadi, di Batu Jaya ada Candi. Maka akupun kejar sang waktu menuju Batujaya.


Selepas Rengasdengklok, jalan raya ke Batu Jaya merupakan jalan lurus, yang berdampingan disebelah kanannya berupa saluran irigasi. Sepanjang saluran ini, kulihat anak-anak kampung berenang, penduduk mencuci dan mandi ditempat-tempat yang tersedia.

Aku nikmati suasana kampung yang mengingatkanku pada masa kecilku, berenang di sungai, memancing, dan berlari-lari dipematang sawah.

Sungai dan Kehidupan

Perut yang pagi tadi hanya sarapan seadanya, mulai meminta perhatian. Tapi aku belum temukan tempat makan yang layak, hanya banyak kutemui warung-warung mie dan bakso.

Aku kendarai motorku dengan santai. Lk. 1 jam aku masuki daerah Batujaya. Aku pacu terus sampai keluar Batu Jaya. Tidak jauh selepas pusat keramaian Batu Jaya, aku lihat ada penunjuk dikananku, gapura Situs Purbakala Candi Jiwa.
Motor kuarahkan. Tidak jauh dari pertigaan tadi, kutemui sebuah gang kecil sebelah kiri (hanya pas-pasan masuk 2 motor berpapasan). Gang itu melalui beberapa rumah, yang berujung di sebuah pintu masuk yang ditandai tempat Loket masuk.

Aku lihat tidak ada satupun petugas, dan jalan terbuka tanpa dikunci. Aku masuk terus, dan kini dikiri kanan sawah. Sementara jalan yang kulalui terbuat dari semen, cukup tinggi dan pas-pasan lebarnya. Akupun harus hari-hati, salah-salah jatuh ke sawah bersama motorku !

Tidak jauh dari ujung kampung, dihadapanku sebuah situs purbakala seperti tumpukan bata merah yang dikellilingi pagar.

Dari tempat masuk, tanah sekeliling candi lebih rendah, seperti kolam, dan ditengahnya tumpukan bata merah. Bentuknya hampir persegi. Kalau melihat kawasan yang dipagar, lk. Ukurannya 40 m x 40 meter.

Candi Jiwa, Situs Sejarah Termuda

Ada beberapa pohon Palm sekelilingnya, hanya sayang sebagian mati karena tidak terurus. Dan lagi-lagi sangat disayangkan, tidak ada satupun tulisan tentang situs ini. Yang ada hanya himbauan agar tida merusak atau mengambil benda-benda dari candi ini.

Konon Candi ini masih dalam penelitian para ahli Sejarah kita. Konon pula selain bangunan ini telah ditemukan Stempel / Cap yang terbuat dari bahan Emas, yang diperkirakan adalah peninggalan Kerajaan Tarumanegara. Benarkah dugaan ini, yang diperkuat pula Candi Jiwa ini berada dekat aliran Sunagai Citarum ( Tarum anagara ?) ? Apakah kaan meluluhkan anggapan selama ini bahwa kerajaaan Tarumanagara di daerah Bogor ?
Biarkanlah para ahli Sejarah yang akan menjawabnya ! Yang pasti, setelah ditemukan Candi ini, konon banyak turis dari Thailand yang datang kesini !

Namun, sungguh sangat disayangkan, karena bila obyek sejarah tidak ada keteranganya, akan sangat tidak berarti buat pemahaman dan perenungan bagi generasi kini.

Menyeberang Sungai Citarum.
Matahari hampir diubun-ubun ketika ketinggal Candi Jaya. Kini jalan yang kulalui semakin sempit dan sepi.

Disebelah kiriku tanggul pinggiran sungai Citarum. Dibeberapa tempat terdapat perahu penyeberangan yang oleh penduduk setempat disebut Eretan.

Aku sempatkan bertanya ke penduduk, dimana eretan yang terdekat dan bisa menyebaerankanku ke daerah Muara Gembong.

Tidak jauh dari tempatku tadi, sebelum daerah Pakis, aku dapati Eretan yang bisa menyebarangkanku ke Muara Gembong.

Hanya dalam waktu kurang dari 10 menit kini aku telah berada diseberang sungai.


Menyeberang Sungai Citarum

Aku arahkan ke kiri dan menyusuri jalan yang menepi di pinggir sungai. Di beberapa tempat aku semapat heran karena rasanya daerah ini tidak teduh lagi seperti keadaan 2 bulan lalu, dimana aku terakhir ke tempat ini.

Kulihat pohon-pohon kapas yang menjadi pelindung disisi jalan, ditebangi. Entah Pemda atau penduduk yang menenbangi. Pohon-pohon bergeletakan dipinggir jalan. Ada yang masih utuh, ada pula yang sudah berupa balok-balok rapi.
Ah...dimana-mana sekarang ini, banyak orang lebih suka menebang pohon daripada menanamnya..!! Jangan salahkan, bila banjir semakin sering, panas semakin menyengat.

Obrolan Orang Pinggiran
Di pertigaan jalan Cabangbungin, aku mampir ke sebuah warung tegal untuk memenuhi perut yang kian lama kian menagih dengan kencangnya.

Sepiring nasi, telur asin dan semur jengkol menjadi santapan makan siangku yang lahap. Bangku kayu panjang di depan warung itu menjadi tempatku ngobrol ringan dengan beberpa tukang ojek yang datang tertarik melihat motorku. Obrolan ringan dan khas dengan orang pinggiran sepertin ini, adalah salah satu hal yang menarik bagiku dalam setiap perjalanan penjelajahan.

Obrolan tentang kehidupoan yang semakin sulit, tentang penghasilan mengojek, tentang Amrozi cs yang selewat nongol di TV warung itu menjadi media keakrabanku.

Kadang tak terasa, mereka itu adalah guru-guru yang mengajariku tentang kehidupan sebagai orang kecil, tentang ketabahan dan ketahanan menghadapi kerasnya kehidupan.

Mendengar tentang kehidupan mereka, beban menanggung biaya sekolah anak-anaknya, akupun jadi muak melihat foto-foto dari foto para Caleg, sampai Capres yang terpampang di Baliho di pertigaan jalan itu !!


Perusakan Lingkungan Pohon Pelindung di Muara Gembong.

Matahari sudah sedikit melewati ubun-ubunku, ketika kutinggalkan warung di pertigaan Cabangbungin itu. Kini dihadapanku jalan tambal sulam antara jalan beton dan jalan aspal yang rusak. Kiri kanan jalan masih didominasi sawah. Samar-samar terlihat ladang pengeboran minyak yang masih jauh didepan kanan jalanku.

Tidak begitu lama, saya sampai di daerah Babelan, dimana bertemu dengan jalan yang saya lalui minggu lalu, saat menyususri daerah pantai dari Tanjung Priuk ke Babelan.

Motor sedikit kupacu, mengejar Dhuhur yang ingin aku lakukan di rumahku. Kota Bekasi yang macet siang itu kulalui dibawah sinar matahari yang panas.

Pk. 14.10 siang, roda motorku sudah menginjak tanah halaman belakang rumahku. Usailah sudah perjalanku melintas noktah jejak sejarah.

( Momon S. Maderoni )

Sunday, April 19, 2009

MENYUSURI JEJAK PEMBAWA AMANAH

 


Pada siang yang cerah, saat awal datang di tanah suci ini, berkeliling dari pusat kota sampai ke pinggirannya. Pada suatu tempat mata menagkap gunung, atau tepatnya bukit batu yang curam.

Bayang-bayang manusia yang mendaki bukit itu terlihat dibawah terang dan panas matahari siang itu.

Bukit yang tampak jelas terlihat berupa batu-batu yang menjulang tanpa ada pohon-pohon disekitarnya.

Walau aku sudah terbiasa mendaki gunung di negeriku, melihat bukit batu terjal itu, tak mampu menjawab tanyaku, tanya pada diriku sendiri, mampukah aku mendakinya ? Terlebih dalam panasnya siang bolong, tanpa pohon peneduh..!


Beberapa hari kemudian, aku diajak bergabung dengan rombongan yang akan mendaki bukit itu. Tanpa pikir panjang, aku putuskan bergabung untuk mendaki bukit batu tersebut.

Istri, yang tidak banyak pengalaman mendaki, diajak juga. Jadilah ini adalah pendakian gunung pertama dengan istri.

Sungguh ia mau mendaki, walaupun bukan hobbynya, karena pendakian kali ini bukan hanya sekedar melampiaskan kenikmatan mengejar Matahari Terbit dari puncak gunung yang biasa aku lakukan di negeri sendiri. Tapi pendakian ini jauh, ..jauh ....jauh yang akan kami capai. Bukan hanya perjalanan fisik, tetapi perjalanan bathin, menguak sejarah masa lalu, merenungi kekuasaanNya dan keteladanan serta perjuangan pemimpin kami yang abadi.!

Pendakian ini juga merupakan pendakian di negeri orang, yang jauh dari tanah air.

Jelang tengah malam, deru mesin mobil yang kami sewa dan angin malam gurun menjadi teman perjalanan malam itu.

Tidak sampai satu jam perjalanan sejak kami meninggalkan tempat penginapan kami, kendaraan sudah sampai diujung kawasan pemukiman yang malam itu sepi.

Kami turun dari kendaraan, angin malam terasa dingin menusuk. Aku kenakan jaket tebal serta slayer dileher.

Diujung kawasan pemukiman itu jalan mulai menanjak. Dikiri kanan kini kami lewati area terbuka.
Entah sampah dari para pendaki atau dari penduduk setempat, banyak sampah diantara batu-batu, dan bau pesing menusuk hidung kami.

Jalan semakin menanjak, dan berujung pada jalan setapak (single track) yang berupa batu-batu. Dikiri kanan tidak ada yang bisa dijadikan pegangan tangan. Mula-mula kami menanjak kearah kanan. Sampai pada satu titik kami berada di tebing, sebelah kanan bibir tebing. Dengan bantuan Senter kecil, setapak demi setapak kami rayapi bukit batu.

Di beberapa tempat, diantara batu-batu tempat kami menapak, dirapihkan sekedarnya, dan tidak jauh dari tempat itu seseorang menunggu dengan tempat uang sumbangan sekedarnya. Pemandangan ini mengingatkanku pada beberapa tempat ziarah di negeriku, yang dilakukan oleh para pengemis.

Dengan nafas yang sesak dan cucuran keringat, kami sampai juga pada titik puncak bukit batu ini. Dengan area yang sempit, tidak ada pegangan selain batu, dan ramainya pendaki malam itu, kalau tidak hati-hati kita bisa terpeleset. Istriku tak bisa menyembunyikan rasa waswasnya.


Dari puncak bukit batu ini kami bisa memandang temaram lampu kota disekitarnya, nun jauh dihadapan kami terlihat jelas temaram dari Mesjid yang maha besar, tempat arah dimana Sang Pemimpin abadi kami mengarahkan semua umatnya kearah itu.
Sayang, ulah-ulah tangan manusia mengotori tempat yang bersejarah ini. Tulisan-tulisan dengan cat di batu-batu banyak ditemukan. Dan yang lebih menyedihkan, tampaknya tulisan grafiti ini banyak yang dilakukan oleh orang-orang dari negeriku, Indonesia...!!!

Di puncak bukit itu, angin malam gurun yang dingin semakin terasa menerpa kulit, menembus tubuh, menusuk tukang.

Jalan selanjutnya menurun, namun curam sekali tanpa ada pegangan tangan.
Kami harus hati-hati. Disamping kiri kami pada jalan yang curam itu terdapat batu yang rata dan sedikit luas untuk berdiri bebas. Namun tetap was-was karena berada dipinggir tebing, tanpa pegangan.!

Aku berdiri dibatu itu, berlatar kerlap kerlip lampu kota dan temaramnya cahaya lampu Mesjid yang maha besar.
Adzan Subuh berkumndang, di "sekengkal tempat batu yang rata" di tebing itu, dan dengan hembusan angin gurun yang dingin, kulaksanakan Sholat Subuhku pagi itu.

Kuturuni jalan selanjutnya, semakin curam dan sempit., membelok ke kanan dan benar-benar sempit. Kami harus melalui lorong yang terbentuk antara batu-batu.
Karena tidak memungkinkan berdiri, kami harus berjalan merayap, karena lorong itu hanya pas buat tubuh kami...!!

Diujung lorong itu barulah kami bisa berdiri kembali, dan kami hanya bisa berdiri. Diujung jalan yang sempit ini, sebelah kanan kami batu bertumpuk membentuk lorong yang hanya beberapa meter panjangnya.
Bagian depannya cukup untuk kita berdiri merunduk. Ruangan lorong berbentuk seperti segitiga, semakin kedalam lorong itu semakin menyempit dan gelap......!!!

Disinilah Ia, berabad yang lalu, pemimpin abadi kami, seorang tauladan, mendapat petunjuk dan perintahNya .
Bacalah....!!! Aku terhanyut dalam dingin malam, hening malam dan rasa syukur, Allah SWT berikan aku waktu, kesehatan, rizki sehingga aku bisa berdiri di bukit ini, disini, di gua ini !

Merenungi perjuangan Pemimpin abadi kami, seorang pria pilihan, seorang tauladan, seorang pembawa amanah, seorang utusanNya yang maha sabar, seorang yang telah menyatukan semua umat untuk sujud kearah kiblat, dimana temaramnya kusaksikan dari puncak bukit ini, dimana rumahNya berdiri abadi.
(Aku tertunduk, hanyut membaca ayat-ayat alamNya)


Gua Hira, 1425 H
(Momon S. Maderoni)

Saturday, April 18, 2009

Senja Terakhir di Ciptagelar

Matahari hampir di ujung ubun-ubunku ketika aku turun dari mobil Jip di halaman Kasepuhan Adat Banten Kidul Ciptagelar.

Kasepuhan Adat Banten Kidul, Ciptagelar

Masyarakat Kasepuhan Banten Kidul yang bermukim di Ciptagelar adalah masyarakat suku Sunda yang masih memegang teguh adat istiadat leluhur, baik dalam kehidupan keseharian maupun pemerintahan adatnya.

Masyarakat tradisional Kasepuhan Banten Kidul konon berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tahun 1992 oleh Kusnaka Adimihardja, berjudul , “Kasepuhan Yang Tumbuh Di Atas Yang Luhur” , dan pengakuan penduduk sendiri, masyarakat ini mempunyai keterikatan sejarah dengan Kerajaan Sunda yang sangat terkenal dalam sejarah tanah (tatar) Priangan, yakni Kerajaan Pajajaran, yang dipimpin oleh Raja Prabu Siliwangi.
Salah satu bukti adanya keterikatan hubungan tersebut, adalah adanya Pusaka Leluhur yang berupa sebuah Pisau Kujang. Pisau yang berupa belati melengkung ini sangat dikenal oleh masyarakat Sunda sebagai senjata asli dari tatar (tanah) Priangan, menjadi simbol kejayaan Pajajaran. Dan Pajajaran sendiri telah menjadi icon kejayaan masyarakat Sunda (Jawa Barat) dimasa silam.

Senjata Pisau Kujang yang ada di Kasepuhan Ciptagelar diwarisi turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya melalui masing-masing Sesepuh Girang, sebagai tanda atau simbol pemimpin Masyarakat Kasepuhan Banten Kidul.

Masyarakat ini telah mengalami 10 generasi yang dipimpin oleh pemimpin adat (Sesepuh Girang, biasa disebut Abah) yang turun temurun. Bahkan konon sebenarnya yang sekarang yang dipimpin oleh Aban Anom adalah generasi ke 13, namun 3 Sesepuh Girang sebelumnya tidak tercatat tahun dan masa kepemimpinannya.
Namun diketahui sebagai tempat pusat pemerintahan pertamanya, yang dalam adat mereka disebut Kampung Gede, ada di Sendi, Kaduluhur dan Guradog Kaler yang masing-masing berada didaerah Bogor, yang merupakan sebagian daerah kekuasaan Kerajaan Pajajarn sebagai Kerajaan Sunda yang beragama Hindu.
Mereka berpindah-pindah berdasarkan kepercayaan mereka melalui wangsit / petunjuk yang diterima oleh Pemimpin Adat.

Kampung Ciptagelar berada diketinggian 1200 meter dari dari permukaan laut, dan berada dikelilingi hutan Taman Nasional Gunung Halimun, keadaan inilah yang menjadi isnpirasi judul buku yang kutulis tentang masyarakat ini : “Ciptagelar Kasepuhan Berpagar Hutan.”.

Kasepuhan Adat yang telah berumur lebih dari 650 tahun itu, setelah berpindah-pindah, kini berada di Cipta Gelar yang dipimpin oleh pemimpin adat Abah Anom.
Abah Anom

AE. Sucipta , adalah Pemimpin Adat generasi kesepuluh yang memimpin secara adat, sejak ia berusia 17 tahun. Oleh karenanya beliau disebut Abah Anom. Abah adalah sebutan yang lazim di masyarakat Sunda kepada pemimpin atau yang dituakan. Karena usianya masih muda kala mulai mempimpin, maka disebut pula Anom, artinya muda.

Setelah lk 7 jam perjalanan dari Jakarta, menempuh kemacetan disekitar Pasar Cicurug dan melewati jalan hutan dipinggir jurang, dalam kawasan Taman Nasionl itu, akhirnya aku sampai juga di halaman Kasepuhan Ciptagelar.

Abah Anom menyambut hangat, hampir dua tahun setelah acara Seren taun yang kusaksikan sebelumnya aku tidak bertemu.
Dia masih tetap ramah, gagah dengan ikat kepala adatnya, mengenakan baju berwarna hitam. Ada yang lain dalam pertemuanku kali ini, Abah Anom rambutnya yang dulu panjang dan selalu diikat ke belakang, kini telah dipotong.

Aku disambut hangat di depan teras Rurukan, rumah bagian khusus dari tempat tinggal keluarga Abah Anom.
Aku, Anaku dan Kel. Abah Anom

Tidak ada nuansa formal, kami langsung duduk lesehan di ruangan khusus, ruangan depan Rurukan. Dan membuka pembicaraan tentang khabar masing-masing. (Aku jadi teringat ketika permintaannya di pertemuan sebelumnya, agar aku melihat sudut-sudut kampung, agar memahami kehidupan keseharian rakyatnya).

Senja Terakhir, Pertemuan Terakhirku Dengan Abah Anom

Setelah mengutarakan kedatangan kami, bahwa kami hanya bersilaturahmi dan ingin menyerahkan perlengkapan serta buku-buku untuk Mushola yang telah dibangun oleh salah satu rekan kami sebelumnya.

Sudut perkampungan Ciptagelar

Usai berbincang, kami dipersilahkan makan siang yang telah disediakan di ruangan makan khusus keluarga. Biasanya semua tamu selalu disediakan makan di Imah Gede, dimana makanan akan tersedia selama siang malam, terutama untuk makan nasi, karena salah satu adat mereka adalah tidak menjual belikan Beras maupun Nasi. Sehingga bagi semua pengunjung, siang dan malam, untuk makan selalu disediakan di Imah Gede.

Masyarakat Kasepuhan Banten Kidul adalah masyarakat adat, yang walau resmi menganut agama Islam, namun tuntunan kehidupan adat lebih dominan. Namun demikian, Abah Anom sangat memberi kebebasan untuk warganya bahkan keluarganya (termasuk anaknya yang paling kecil, seorang anak perempuan) untuk ikut belajar mengaji di Mushola tersebut. Seorang perempuan yang tadinya berasal dai masyarakat pinggir rel kereta Statsiun Senen , Jakarta, mengabdi sebagai voluntir, menjadi Utadzah di Mushola tersebut.

Penyematan Ikat Kepala, tanda Kekerabatan

Salah satu perlengkapan Mushola yang kami akan serahkan adalah Sound System. Usai pemasangan perlatan Sound System, waktu Dhuhur tiba. Kami meminta ijin ke Abah Anom untuk mengumandangkan Azan melalui Sound Sysytem yang baru terpasang.

Diawali oleh suara bacaan Ayat Suci Alqur’an dari satu CD yang kami bawa, kemudain terdengarlah suara Azan memanggil UmatNya untuk menghadap, bertunduk, bersujud dan bersyukur padNya.

Maka, jadilah itu suara Azan pertama yang terdengar, yang disuarakan menggema dari Mushola kecil dari sudut halaman Kasepuhan itu.....!
Sebelum Azan selesai, beberapa warga terlihat dengan setengah heran, memandang Mushola dan lingkungan Kasepuhan.

Usai Azan., Anak-anak yang kecil yang sedang mengaji (termasuk anak bungsu Abah Anam) berjamaah Sholat Duhur bersamaku siang itu.

Dalam obrolan petang di teras Rurukan itu, Abah Anom mengatakan kembali ketidak beratannya untuk warganya mempelajari Islam.

Petang itu aku mengobrol santai, lepas dan tidak ada suasana formal pun. Ia sempat menyampaikan bahwa terpaksa tiap hari harus menyediakan daging ayam untuk seekeor Elang yang tiap pagi datang. Dan Elang itu adalah burung Elang anakku yang aku bawa dari Jakarta (hadiah) dan aku lepaskan bersama Abah Anom di hutan antara kampung Ciptarasa - Ciptagelar, saat Abah Anom memberikan kesempatan pertama untuk kami mencoba offroad di jalan yang dia bangun bersama warganya (sebelumnya jalan itu hanya jalan setapak, dan hanya bisa untuk jalan kaki dan motor trail).

Ia masih ingat tentang draf bahan Buku yang aku tulis, yang pernah dia tanda tangani di bahan lembaran pertamanya.

Sesekali obrolan kami terselingi oleh warga kampung yang datang meminta petunjuk dari Abah Anom.

Senja itu aku banyak mendapat kesempatan untuk berbincang tentang adat, pandangan hidup, agama sampai pada hobby.

Penulisan Pesan Pada Naskah Asli Buku ku : Ciptagelar Kasepuhan Berpagar Hutan.

Aku jadi teringat saat kedatangan pertamaku , naik motor ke kampung ini. Waktu itu aku datang lepas tengah hari dari arah Parungkuda, lewat Kampung Cipeuteuy, masuk hutan sepanjang 17 km melalui jalan alam (jalan tanah).
Ketika dia tahu aku pakai motor, dia bilang bahwa dia juga senang naik motor trail. Dia biasa jalani antara Cipta Gelar – Ciptarasa dalam waktu 30 menit saja, tanpa kaki harus menginjak tanah..!! (Saat aku coba masuk trek itu, sebelum dilebarkan seperti sekarang, ehh.....4 jam lebih..!!!)

Udara cerah, angin semilir, langit biru diatas hamparan huma / ladang, atap-atap rumah dari rumbia, leuit (lumbung padi) yang berderet-deret, dilatari punggungan bukit-bukit dan hutan seolah memagari kampung Ciptagelar.

Saat Matahari semakin condong ke barat, usai Ashar, kami pamit untuk pulang kembali ke Jakarta. Ema (sebutan untuk istri Abah), seperti biasa, ia melepas kami dengan oleh –oleh makanan khas dan beras merah.

Perjalanan Pertamaku Bertemu Abah Anom

Suatu pagi, jelang Sholat Subuhku, aku menerima sms, bahwa Abah Anom telah menghadap kepada Sang Khaliq. Setengah tidak percaya, karena selama ini tidak pernah terdengar ia sakit, saya langsung menghubungi rekan tersebut.
Dan rekan tersebut menyampaikan benarnya khabar itu. (Malam itu, rekan kami itu bermalam di Ciptagelar, dan berincang dengan Abah Anom sampai ia pamit untuk tidur)

Foto bersama sebelum aku pamit, foto terakhirku dengan Abah Anom

Aku terkenang akan obrolan petang itu, penuh kekeluargaan, penuh kehangatan, sarat tentang makna hidup, pandangan hidup, dan tuntunan hidup darinya. Tak kusangka, itulah senja terakhirku , pertemuan akhirku bersama Abah Anom. Inalillahi Wa Inaillaihi Roji’un..
( Momon S. Maderoni )
Aku dan Pabrik Gula

Jatiwangi, tempat pertama aku menghirup udara di dunia. Jatiwangi sebuah kota Kecamatan di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, yang dikenal dengan industri gentengnya.

Pabrik Gula dan hamparan kebun tebu, menjadi bagian hidup masa kecilku, karena kehadiran Pabrik Gula menjadi denyut roda kehidupan masyarakat kami saat itu.

Walaupun Pabrik Gula kini tinggal hanya ceritera pengantar lelap tidur anak-anaku, aku ingin meninggalkan kenangan masa kecil ini sebagai catatan kecil buat pelengkap kenangan agar tak terlupakan.

Bangga Menjadi Pencuri.
Di daerahku ada sebuah pabrik gula peninggalan Belanda, namanya Pabrik Gula Jatiwangi. Kadang masyarakat menyebut Pabrik Gula dengan disingkat PG.
Pabrik gula mempunyai bagian Satuan Kemanan, yang bertugas mengawasi tanaman tebu, termasuk saat diperjalanan pada proses pengangkutan saat musim tebang dari Kebun menuju Pabrik . Masyarakat menamakan personil kemanan ini dengan sebutan PG (sebenarnya singkatan dari Pabrik Gula), atau kadang disebut KP, mungkin ini singkatan dari Keamanan Pabrik.



Jeep CJ5 Bagian dari Nostalgia Pabrik Gula

Pada musim tanam tebu, pabrik gula menyewa tanah sawah penduduk untuk menjadi kawasan kebun tebu. Untuk mengawasi kawasan yang luas ini, setiap area ditugaskan para PG / KP tersebut.

Nah…karena Tebu itu tanaman yang enak untuk dihisap-hisap sari tebunya, langsung dari batang pohonnya, maka banyak penduduk termasuk anak-anak yang mencuri tebu.

Caranya dengan membawa pisau atau golok, masuk ke area perkebunan tebu yang rapat. Biasanya kami masuk ke bagian tengah, disana kami merayap-rayap diselokan yang yang memanjang diantara Blok-blok area kebun. Di kebun ini kami menikmati langsung, dan sebagian kami potong-potong untuk dibawa kerumah.

Pekerjaan mencuri ini dilakukan sangat hati-hati karena bila diketahui oleh PG atau KP, maka akan dibawa ke Pabrik dan diproses untuk diambil tindakan bahkan kurungan.

Tapi pekerjaan mencuri ini menjadi satu tantangan tersendiri bagi anak-anak kampung. Kalau seorang bocah kecil sudah berhasil mencuri tebu tanpa diketahui oleh para PG, maka seperti menjadi lambang prestasi dan kebanggaan di komunitas anak-anak rekan sepermainannya . Ironis memang, menjadi pencuri malah menjadi kebanggaan

Aneka Olahan Tebu, Kreasi penduduk.
Kalau di kota besar, seperti Jakarta, untuk menikmati tebu, kita minum air perasannya yang digiling pakai mesin penggiling. Tahun 80’an minuman ini banyak terdapat ditempat-tempat umum dipinggir-pinggir jalan di Jakarta. Bahkan sekarang lebih modern, diolah dan disajikan di jual di dalam Mall.

Tapi bagiku, yang lebih nikmat menikmati air tebu bukan meminum air gilinganya seperti itu, tetapi langsung mengisap airnya dari batang tebu yang telah dikupas kulitnya.

Setelah Tebu dikupas kulitnya, tebu dikerat kerat melintang batang. Kemudian dipotong berdasarkan keratan itu. Dan langsung kita menggigit dan menghisap airnya. Kemudian sepahnya dibuang. Makanya ada pribahasa, Habis Manis Sepah Dibuang.

Jenis tebu yang kandungan gulanya banyak, biasanya batangnya kecil dan keras karena kadar airnya kurang. Salah satu jenis tebu ini didaerahku disebut jenis Tebu Amper. Batangnya kecil keras, berwarna kuning kemerahan, seperti tanaman bambu kuning (atau bambu Ampel).

Karena kadar gulanya terlampau banyak dan batangnya keras, maka jenis Tebu ini kurang enak untuk dinikmati (dihisap).

Jenis tanaman Tebu lainnya adalah yang kadar gulanya kurang, namun kadar airnya banyak dan batangnya tidak keras, sehingga mudah saat dikunyah sebelum dihisap.

Salah satu jenis ini didaerahku, masyarakat menyebutnya Tebu jenis Markonah. Batangya besar, berwaran hijau, batanganya tidak keras. Jenis ini sangat enak untuk dinikmati. Tidak terlalu manis dan mudah untuk memotong dan menghisapnya. Tapi sayang jenis ini semakin langka karena kurang menguntungkan bila untuk produksi gula.

Nah…untuk menambah citra rasa tebu tersebut biasanya kami melakukan beberapa cara olahan sederhana.

Ada 3 cara yang umum dilakukan oleh penduduk Jatiwangi dan sekitarnya.
Yang pertama, adalah dengan cara tebu dikupas, kemudian dipotong-potong melintang menjadi bagian yang cukup untuk masuk kemulut.

Kemudian kita membuat tusukan dari bamb, dimana bambu tersebut dibelah menjadi tusukan kecil, tetapi tusukan tsb diujung bambu tetap menyatu seperti awalnya bambu tsb. Jadi seperti jari-jari tangan kita yang ujungnya menyatu, atau seperti jari-jari sebuah Payung atau seperti susunan Sapu Lidi.

Tebu yang kecil-kecil itu di tusuk-tusak ke tusukan tsb (seperti sate). Setelah itu Tebu yang berupa rencengan tusukan di jemur diterik matahari selama 3 - 4 hari. Maka setelah waktu tersebut Tebu dapat dinikmati (dihisap) dengan aroma dan rasa yang lain. Tebu yang tersaji dengan cara ini disebut Rancungan.

Cara Kedua, Batang Tebu tanpa dikupas kulitnya direndam di air. Setelah lebih kurang satu minggu, baru dikupas dan dipotong-potong. Ini rasanya akan lain dengan cara pertama, mungkin kadar alkoholnya terbentuk. Semakin lama direndam, semakin terasa bau aromanya.

Cara Ketiga, dengan cara dibakar. Batangan tebu tanpa dikupas, dimasukan ke perapian tempat memasak nasi yang meggunakan kayu bakar. Didaerah Jatiwangi atau Jawa Barat pada umumnya, tungku ini dinamakan Hawu.

Nah bila telah dipanaskan secukupnya diantara bara api kayu bakar tersebut, kita diinginkan dan dikupas kulitnya. Kemudian dipotong-potong kecil untuk dinikmati. Yang ini rasanya lain lagi dan wanginya khas.

Itulah Kreasi orang kampung untuk menikmati berbagai rasa dan aroma Tebu. Yang pasti semua Tebu tersebut hasil dari nyolong dari Kebun Tebu milik Pabrik Gula !

Gembel.
Gembel yang satu ini bukan sembarangan Gembel. Bukan pula Gembel manusia Tuna Wisma yang mengemis kesana kemari berpenampilan compang-camping. Gembel ini enak dihisap, manis.

Tebu ditanam dengan stek batangnya langsung ditancapkan ditanam ditempat yang telah disiapkan.

Sebelum ditanam, dari batangan Tebu pilihan itu dipotong-potong, dengan cara memotong miring, jadi dipinggir setiap potongan itu runcing.. Biasanya hal ini dilakukan oleh para pekerja dipinggir kiri kanan Rel Kereta.

Ada beberapa sisa potongan yang pendek-pendek, panjangnya variatif, dari sekitar 5 cm sampai yang panjang. Yang jelas semuanya adalah sisa potongan dari batang yang dijadikan bibit untuk ditanam. Potongan ini berserakan dipinggiran jalan rel kereta.
Potongan ini bisa kita langsung nikmati, potongan tebu sisa ini dinamakan Gembel.

Bagi pejalan kaki yang melewati Rel Kereta ini, Gembel menjadi hal yang membantu dikala haus. Langsung pungut, kupas langsung pakai gigi (karena sudah berupa potongan pendek), nah kitapun berjalan sambil memungut-mungut Gembel, jadilah seperti seorang Gembel berkelana dan kehausan !

Saat Tebu Berbunga.
Sebelum Tebu siap ditebang, Tebu akan mengeluarkan bunga-bunganya. Sekumpulan bunga-bungan halus putih, yang mengumpul diatas batang-batang kecil yang mirip batangan bambu kecil.

Setiap pohon terdapat satu batang bunga, dan diatasnya sekumpulan putih dan halus. Bunga-bunga Tebu melambai-lambai tertiup angin. Kala ini, diatas kebun tebu terhampar warna putih bunga-bunga tebu. Sebuah lukisan keindahan alam kampung kami.

Batang bunga-bunga Tebu ini, menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari keceriaan permainan anak-anak kampung.

Batangan ini dibentuk sedemikian rupa, menjadi rangka dari gerobak-gerobakan dengan bagian bannya juga dibuat dari batang bunga Tebu yang dibuat melingkar. Bagian pegangannya yang dijadikan pegangan juga terbuat dari batang bunga tebu ini. Sebuah kreatifitas dan inovasi anak kampung, yang mengisi keceriaan waktu hangatnya senja kampung kami.

Hujung, Dari Atap Sampai Bahan Bakar Memasak.
Saat Tebu sudah tumbuh tinggi, daun-daunya yang panjang dan telah tua, biasanya mengering secara alami, dan mempel di batang-batang pohon tersebut.

Masyarakat kampung sekitarnya memanfaatkan daun-daun kering ini. Daun ini bisa menjadi pengganti Kayu Bakar untuk memasak ditungku-tungku atau Hawu.

Namun ada juga masyarakat yang rajin memanfaatkan daun-daun ini dengan cara ditumpuk merata dan diikat dibagian tertentu, seperti membuat Rumbia. Maka hasilnya berupa bagian kumpulan daun tebu kering yang rapih dan ini biasa digunakan untuk atap Kandang Ternak, atau bahkan atap rumah sebagai pengganti Genting.

Daun Tebu kering ini, dikampung kami, Jatiwangi, dinamakan Hujung.

Sang Sinder dan Lori.
Mulai dari musim tanam sampai musim tebang, Petinggi atau Staff dari Pabrik Gula sering melakukan pengontrolan langsung ke lapangan.

Petinggi ini biasa disebut Sinder. Semua pekerja akan menghormati sekali kepada Sinder. Sang Sinder berpakaian baju Dinas, stelan khas warna Coklat Muda. Memakai Topi khas sejenis helm bergaya Kolonial.

Saat mengontrol, Sang Sinder naik di Lori, seperi sebuah Beca, namun berjalan di atas rel kerete dengan pengayuh dibelakangnya. Lori ini tanpa atap.

Pesta Tebu, Pesta Rakyat.
Saat Tebu telah siap untuk ditebang, ini adalah bagian saat-saat yang bukan saja dinantikan oleh pihak Pabrik Gula, tetapi juga sangat dinantikan oleh penduduk.

Betapa tidak ? Karena saat akan ditebang, maka Pihak Pabrik Gula akan melakukannya dengan sederetan upacara tradisi yang akan merupakan hiburan tersendiri bagi masyarakat kampung yang memang haus akan hiburan.

Sebelum secara resmi Tebu dipotong, Pabrik Gula akan mengambil tanaman yang akan dipotong pertama kali.

Potongan pohon yang ditebang pertama kali ini terdiri dari dua batang, yang akan dibawa ke Pabrik. Kedua Pohon ini biasanya dibungkus kain putih, dijadikan sebagai sepasang Pengantin Tebu dan akan diarak selama perjalanan Kebun Tebu ke Pabrik, diikuti romongan manusia yang berjalan. Hal ini menjadi hiburan tersendiri bagi masyarakat sepanjang jalan yang dilaluinya.

Upacara tradisi ini sebagai gambaran ungkapan rasa terima kasih kepada Sang Maha Pencipta yang telah memberikan limpahan panen Tebu. Hal ini seperti ungkapan Thanksgiving Day pada masyarakat modern.

Setelah itu Pabrik Gula juga menyelenggarakan pasar malam siang malam selama satu minggu yang diikuti oleh para Pedagang dan Hiburan kesenian maupun Permainan (Comedí Putar, Tong Setan dlsb). Masa-masa seperti ini sangat dinanti-nantikan oleh Masyarakat , untuk sekedar belanja dan menikmati hiburan yang ada. Masa pesta ini dinamakan Badirian. Entah dari mana asal sebutan itu.

Yang jelas masa pesta kegembiraan ini sungguh menggambarkan adanya keterikatan pihak Pabrik Gula dengan masyarakat disekitarnya. Pesta Tebu, adalah Pesta Pabrik Gula dan Pesta Masyarakat.

Dari Bison Sampai Semar.
Tebu yang dipotong diangkut oleh Kereta Api yang dimuat dalam deretan rangkaian Lori, yang dikampung kami disebut Gotrok. Setiap Gotrok panjangnya hanya lebih sedikit dari panjang rata-rata batang Tebu.

Kereta Api nya disebut Sepur. Kereta api ini termasuk barang langka yang sudah berumur lebih dari setengah abad. Teknologinya sangat sederhana, digerakan dengan mesin uap. Bahan bakar untuk menghasilkan uapnya dari hasil membakar “ampas gilingan tebu” sisa gilingan dari Pabrik.

Seingatku di Pabrik Gula Jatiwangi mempunyai 6 unit Sepur. Setiap Sepur diberi nama. Pernah diberi nama deretan nama Wayang (misalnya Semar, Bima, Arjuna dlsb). Namun pernah pula diganti menggunakan nama Binatang (Bison dlsb).

Sebagai tanda komunikasi saat jalan, Sepur ini menggunakan bunyi seperti peluit sebagai klaksonnya. Bunyi ini juga berasal dari mesin uapnya.

Uniknya, setiap Sepur mempunyai warna suara tersendiri. Bagi masyarakat yang sering dilalaui Sepur ini, bisa menebak tepat, nama Sepur mana yang akan lewat hanya dari Suara bunyi peluitnya.

Ngarorod, Lambang Keberanian.
Selain pengangkutan Tebu dilakukan dengan Sepur, juga dilakukan dengan diangkut menggunakan mobil Truk.

Sepanjang jalan saat kendaraan-kendaraan tersebut berjalan mengangkut Tebu, bukan berarti aman dari pencurian yang dilakukan oleh penduduk yang dilewatinya.

Biasanya penduduk menarik-narik batangan Tebu yang diangkut baik oleh Sepur maupun Truk. Pengambilan atau lebih tepatnya pencurian Tebu dari angkutan yang sedang berjalan ini dinamakan Ngarorod.

Sebenarnya mencuri di Kebun Tebu jauh lebih aman dan mudah, Namun keberhasilan seseorang Ngarorod, akan menjadi lambang Keberanian orang tersebut, Jadi semacam prestasi tersendiri dimata teman-temannya. Walaupun banyak sekali terjadi kecelakaan tertindas roda Gotrok maupun roda truk atau terpeleset saat berusaha menarik-narik batangan Tebu.

Menanti Uang Sewa, Menyambut Keceriaan.
Area kebun Tebu bukanklah seluruhnya area milik Pabrik Gula. Tetapi adalah lahan sawah milik Penduduk yang disewa.

Setelah usai masa Giling Tebu, pihak Pabrik Gula akan membayar uang sewa. Inilah saat keceriaan. Bagi yang tanahnya disewa, akan mendapat panggilan secara serentak untuk menerima uang sewa cash langsung di Pabrik Gula.

Penduduk berjajar antri sambil menunggu dipanggil namanya. Sungguh aku sangat merasakan keceriaan bila telah datang masa tarima uang sewa ini. Aku dan Kakek, juga penduduk lainnya datang untuk menerima uang sewa.

Sepulangnya dari menerima, sebagian kami belikan keperluan sehari-hari atau untuk sekedar oleh-oleh. Mengumpulkan Ekor Tikus.
Entah apa kerugian Tanaman Tebu dari ulah Sang Tikus. Yang jelas Tikus ini juga merupakan hama, selain hama Padi.

Untuk membasmi Tikus yang berkeliaran di kebun Tebu dam sekitarnya, pihak Pabrik Gula menyuruh para kuli untuk membasminya. Caranya cukup unik. Setiap Kuli diberi alat semacam Pompa manual yang diputar.

Kemudian di sekitar ujung moncong pompa ini dibakarlah Belerang. Nah..asap belerang itu melalui bagian moncong Pompa diarahkan ke lubang liang tempat Tikus bersarang.

Tikus akan lemas menghisap asap Belerang. Berusaha keluar lubang, namun kondisinya sudah lemas.

Saat itulah ditangkap. Kemudian dimatikan. Ekornya dikumpulkan. Dan ekor-ekor itu dibawa ke Pabrik Gula untuk dihargai sejumlah uang sebagai jasa turut menumpas hama tikus.

Gotrok, Transportasi Bertenaga Manusia.
Karena jalur-jalur rel kereta api ini terhubung dari Pabrik ke kampung-kampung yang jauh. Dibeberapa persimpangan terdapat pengatur persimpangan rel, sehingga rel kereta ini menjadi jalur penghubung antara kampung / desa.

Pada saat diluar musim tebang atau tanam, praktis rel kereta api ini tidak banyak digunakan. Kalaupun ada hanya digunakan oleh Lori, saat Sang Sinder mengontrol Kebun Tebu.

Pada masa itu, dimana rel kereta tidak digunakan, dari beberapa kampung banyak yang menggunakan sebagai jalan transportasi dari kampung ke kota Kecamatan Jatiwangi untuk berbelanja berbagai kebutuhan.

Alat transportasinya terbuat dari Gotrok yang tidak dipakai oleh Pabrik Gula. Disekelilingnya dibuat tempat duduk dari bambu, namun tanpa atap.

Seingatku ada 3 kampung yang memiliki alat tranportasi ini, dari desa Salawana, Panongan dan di Desa Ujung Jaya di wilayah Pabrik Gula Kadipaten.

Gotrok ini menggunakan tenaga manusia (didorong), namun untuk yang di Ujung Jaya konon menggunakan penariknya Kuda (terus terang aku belum menyaksikannya).

Transportasi ini sangat diperlukan bagi penduduk desa saat berbelanja berbagai kebutuhan ke pasar yang hanya ada di kota kecamatan.

Berangkat pag-pagi. Penarik Gotrok terdiri 2 orang. Pagi-pagi setelah usai waktu Subuh, dia akan berkeliling kampung sambil meniup Terompet, membangunkan dan memberi tanda bagi para calon punumpang.

Bila semua penumpang telah terkumpul, baru berangkat. Karena kendaraanya terbuka, dan dalam suasana setengah kantuk, berselimutkan kain sarung para penumpang teranggguk-angguk ngantuk diiringi suara yang khas saat roda Gotok melewati sambungan jalan Rel. Dikdak...dikdak...dikdak, mengiringi anggukan kantuk !.

Kerak Gula.
Pada saat diolah di pabrik, ada bagian gula yang berada di dasar tempat pengolahan. Gulanya berwarna coklat kehitaman, dan kadang kering seperti kerak.
Sisa gula ini tidak diambil sebagai Gula yang akan dipasarkan. Biasanya diambil bebas oleh para pekerja.

Para pekerja membawa gula ini kerumah masing-masing dengan dimasukan ke karung goni (karung beras). Sisa Gula ini dinamakan Peueut . Rasanya sama, tetap manis, hanya kotor, namun wangi.

Bagi penduduk saat itu, ini merupakan hal yang istimewa. Kadang kami menikmati ini seperti gula-gula (permen) saat istirahat di sekolah.

Sengong.
Di Pabrik Gula terdapat Menara sebagai Lubang Pembuangan asap proses produksi gula. Pada saat tertentu tekanan uapnya dikeluarkan dan mengeluarkan suara yang keras berbunyi Hung...! Kami menamakan suara ini adalah Sengong. Dan suara ini terdengar berpuluh kilometer..!

Pada waktu bulan Ramadhan, Sengong dibunyikan sebagai tanda Buka Puasa dan Imsak.

Air Heng.
Kalau yang ini merupakan pencemaran. Saat musim giling tiba, buangan air limbah proses di Pabrik gula, dibuang langsung ke Sungai. Didaerahku sungai yang menjadi tempat buangannya adalah Sungai Cicadas yang melintas membelah kampung.

Air buangan ini disebut oleh penduduk sebagai Air Heng. Warnanya hitam, dan panas. Air sungai berubah warna jadi hitam dan mengepul karena hangat.

Bila musim giling tebu seperti ini, kami tidak bisa lagi bemain-main naik rakit di sungai, yang kami buat dari pohon-pohon pisang, karena airnya menjadi bau, hitam dan panas !

Mobil Willys, Antara Kenangan dan Cita-cita.
Untuk mendukung operasional Pabrik Gula, terutama dalam pengontrolan area Kebun Tebu, diperlukan kendaraan lapangan yang mampu melalui jalan-jalan tanah sekitar kebun tebu.

Pabrik Gula menggunakan kendaraan jenis Jip yakni Jip buatan Amerika, Jip Willys. Saat itu jip ini umunya buatan tahun ’50 an. Di pertengahan era ’70 an. ada beberapa unit menggunakan Jip CJ5 Canvas, yang merupakan produk lanjutan dari Willys. Obsesi masa kecil kakaku, Willys

Karena saat itu mobil masíh langka, kehadiran Jip ini menjadi perhatian penduduk yang daerahnya dilewati.

Bahkan di beberapa kampung / desa yang dilalui, anak-anak kampung akan mengejar-ngejar Jip itu sambil kemudian setengah tiarap di jalan menghisap telapak ban dan bau asap knalpotnya…!!!
Kemudian mereka pun melambaikan tangganya kearah Jip, seraya bersorak sorai : Tabe……!!!! Yang artinya dadah (selamat tinggal) dalam masyarakat modern.

Kehadiran dan kegagahan Jip Willys Sangay berbekas dalam benak masa kecilku saat itu. Kehadiran Jip Willys dan Kehidupan keseharian kami, sangat membekas pula di benak pikiran kakak laki-lakiku.

”Andai aku sudah besar, aku akan membeli Jip Willys”. Begitulah cita-cita dimasa kecil .
Aku terpaut usia 6 tahun dengan kakak laki-lakiku. Walaupun kehadiran Jip Willys masih saya alami, namun saat menjelang Remaja yang sering aku lihat adalah Jip CJ5 Canvas berwarna hijau muda. Kendaraan itu terlihat praktis dan gagah.

Tak Ada rimbun Kebun Tebu, Rimbun hutan sudah cukup untuk Bernosltagia dengan CJ5



32 tahun kemudian, akupun miliki sebuah CJ5 Canvas (walau modelny lebih muda) dan kakaku membeli Willys untuk bernostalgia dan obesesi masa kecilku.
Kehadiran CJ5 ku, saat ini melengkapi “perjalanan kenangan masa kecilku, kebun tebu dan pabrik gula”.

Aroma Kolonial
Pabrik Gula Jatiwangi seperti juga umumnya pabrik gula yang ada di Indonesia adalah sisa-sisa Kolonial. Maka disamping istilah-istilah yang ada, culture, mesin-mesinnya, termasuk bangunan-bangunannyaberbau Kolonial.


Area Pabrik Gula cukup luas. Cerobong pembuangan asapnya dibuat dari tumpukan bata-abat merah yang tersusun menjulang tinggi. Sekeliling luarnya di cat putih. Hal ini bagiku adalah sebuah pemandangan yang menyisakan kenangan indah, terlebih ketika kegagahan cerobong itu ditingkahi asap yang keluar dari mulut diujung cerobong itu.

Dibagian area produksi, jalur-jalur rel dengan deretan Lori yang ditarik Kereta Api berjejer. Orang kampung kami menyebut Lori-lori tersebut, dengan sebutan Gotrok.

Dibagian belakang banyak disimpan tumpukan-tumpukan ”sepah” tebu, yaitu batang tebu yang telah digiling diambil airnya. Sepah ini dibuat menjadi kotak-kotak besar, dan ditumpuk rapi. Sepah ini menjadi bahan bakar untuk membuat uap air yang menjadi tenaga penggerak kereta api.

Rumah-rumah pimpinan dan staff Pabrik Gula tertata rapi, dengan halaman yang luas, dan satu sama lain terpisah halaman dikiri kanan yang juga luas. Rumah-rumahnya masih bergaya Kolonial. Lantainya tinggi, terdapat teras didepan yang luas.

Pejabat terasnya menempati rumah yang besar, tinggi, bertiang gaya Eropa, dengan jendela dan pintu yang tinggi dan besar.

Dikiri kanan jalan dalam komplek Pabrik Gula, jalan diteduhi dengan Pohon-pohon Asem, Kihujan, Flamboyan yang sudah berumur.

Sungguh hal ini menjadi suatu dambaan lingkungan rumah bagi masyarakat yang tinggal diluar Pabrik.

Pabrik Gula, Ceritera Pengantar Lelap Anaku.
Sayang sekali, suasana peninggalan bersejarah itu kini hanya tinggal puing-puing rata dengan tanah .

Kemanakah larinya Sang Sepur yang bunyi ”kuik-kuiknya’ selalu kami nantikan ? Kemanakah perginya suara Sengong yang selalu aku nantikan saat berbuka puasa ? Kemanakah larinya rel-rel jalan kereta yang panjang memanjang menghubungkan antara kampung sekitar kami ?

Aku kaget dan setengah tidak percaya, ketika membaca artikel tentang ”program wisata meninjau kereta api tua dan pabrik gula” oleh seorang warga negara Jerman. Sementara kita yang memiliki, tidak pernah tertarik bahkan mau peduli hal ini !

Banyak Pabrik gula ditutup dan semua bangunannya diratakan dengang tanah, dan beralih fungsi dan kepemilikan untuk keperluan berupa bangunan masa kini (pusat perbelajaan ?).
Sebuah ketidak pedulian kepada bagian dari perjalanan sejarah bangsanya sendiri !

Denyut kehidupan Pabrik Gula dan masyarakat sekitarnya, bangunannya, adalah bagian dari torehan sejarah didalamnya, kini tinggal kenangan, dan hanya menjadi cerita pengantar lelap anak-anaku..!!

( Momon S. Maderoni )