Saturday, April 18, 2009

Aku dan Pabrik Gula

Jatiwangi, tempat pertama aku menghirup udara di dunia. Jatiwangi sebuah kota Kecamatan di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, yang dikenal dengan industri gentengnya.

Pabrik Gula dan hamparan kebun tebu, menjadi bagian hidup masa kecilku, karena kehadiran Pabrik Gula menjadi denyut roda kehidupan masyarakat kami saat itu.

Walaupun Pabrik Gula kini tinggal hanya ceritera pengantar lelap tidur anak-anaku, aku ingin meninggalkan kenangan masa kecil ini sebagai catatan kecil buat pelengkap kenangan agar tak terlupakan.

Bangga Menjadi Pencuri.
Di daerahku ada sebuah pabrik gula peninggalan Belanda, namanya Pabrik Gula Jatiwangi. Kadang masyarakat menyebut Pabrik Gula dengan disingkat PG.
Pabrik gula mempunyai bagian Satuan Kemanan, yang bertugas mengawasi tanaman tebu, termasuk saat diperjalanan pada proses pengangkutan saat musim tebang dari Kebun menuju Pabrik . Masyarakat menamakan personil kemanan ini dengan sebutan PG (sebenarnya singkatan dari Pabrik Gula), atau kadang disebut KP, mungkin ini singkatan dari Keamanan Pabrik.



Jeep CJ5 Bagian dari Nostalgia Pabrik Gula

Pada musim tanam tebu, pabrik gula menyewa tanah sawah penduduk untuk menjadi kawasan kebun tebu. Untuk mengawasi kawasan yang luas ini, setiap area ditugaskan para PG / KP tersebut.

Nah…karena Tebu itu tanaman yang enak untuk dihisap-hisap sari tebunya, langsung dari batang pohonnya, maka banyak penduduk termasuk anak-anak yang mencuri tebu.

Caranya dengan membawa pisau atau golok, masuk ke area perkebunan tebu yang rapat. Biasanya kami masuk ke bagian tengah, disana kami merayap-rayap diselokan yang yang memanjang diantara Blok-blok area kebun. Di kebun ini kami menikmati langsung, dan sebagian kami potong-potong untuk dibawa kerumah.

Pekerjaan mencuri ini dilakukan sangat hati-hati karena bila diketahui oleh PG atau KP, maka akan dibawa ke Pabrik dan diproses untuk diambil tindakan bahkan kurungan.

Tapi pekerjaan mencuri ini menjadi satu tantangan tersendiri bagi anak-anak kampung. Kalau seorang bocah kecil sudah berhasil mencuri tebu tanpa diketahui oleh para PG, maka seperti menjadi lambang prestasi dan kebanggaan di komunitas anak-anak rekan sepermainannya . Ironis memang, menjadi pencuri malah menjadi kebanggaan

Aneka Olahan Tebu, Kreasi penduduk.
Kalau di kota besar, seperti Jakarta, untuk menikmati tebu, kita minum air perasannya yang digiling pakai mesin penggiling. Tahun 80’an minuman ini banyak terdapat ditempat-tempat umum dipinggir-pinggir jalan di Jakarta. Bahkan sekarang lebih modern, diolah dan disajikan di jual di dalam Mall.

Tapi bagiku, yang lebih nikmat menikmati air tebu bukan meminum air gilinganya seperti itu, tetapi langsung mengisap airnya dari batang tebu yang telah dikupas kulitnya.

Setelah Tebu dikupas kulitnya, tebu dikerat kerat melintang batang. Kemudian dipotong berdasarkan keratan itu. Dan langsung kita menggigit dan menghisap airnya. Kemudian sepahnya dibuang. Makanya ada pribahasa, Habis Manis Sepah Dibuang.

Jenis tebu yang kandungan gulanya banyak, biasanya batangnya kecil dan keras karena kadar airnya kurang. Salah satu jenis tebu ini didaerahku disebut jenis Tebu Amper. Batangnya kecil keras, berwarna kuning kemerahan, seperti tanaman bambu kuning (atau bambu Ampel).

Karena kadar gulanya terlampau banyak dan batangnya keras, maka jenis Tebu ini kurang enak untuk dinikmati (dihisap).

Jenis tanaman Tebu lainnya adalah yang kadar gulanya kurang, namun kadar airnya banyak dan batangnya tidak keras, sehingga mudah saat dikunyah sebelum dihisap.

Salah satu jenis ini didaerahku, masyarakat menyebutnya Tebu jenis Markonah. Batangya besar, berwaran hijau, batanganya tidak keras. Jenis ini sangat enak untuk dinikmati. Tidak terlalu manis dan mudah untuk memotong dan menghisapnya. Tapi sayang jenis ini semakin langka karena kurang menguntungkan bila untuk produksi gula.

Nah…untuk menambah citra rasa tebu tersebut biasanya kami melakukan beberapa cara olahan sederhana.

Ada 3 cara yang umum dilakukan oleh penduduk Jatiwangi dan sekitarnya.
Yang pertama, adalah dengan cara tebu dikupas, kemudian dipotong-potong melintang menjadi bagian yang cukup untuk masuk kemulut.

Kemudian kita membuat tusukan dari bamb, dimana bambu tersebut dibelah menjadi tusukan kecil, tetapi tusukan tsb diujung bambu tetap menyatu seperti awalnya bambu tsb. Jadi seperti jari-jari tangan kita yang ujungnya menyatu, atau seperti jari-jari sebuah Payung atau seperti susunan Sapu Lidi.

Tebu yang kecil-kecil itu di tusuk-tusak ke tusukan tsb (seperti sate). Setelah itu Tebu yang berupa rencengan tusukan di jemur diterik matahari selama 3 - 4 hari. Maka setelah waktu tersebut Tebu dapat dinikmati (dihisap) dengan aroma dan rasa yang lain. Tebu yang tersaji dengan cara ini disebut Rancungan.

Cara Kedua, Batang Tebu tanpa dikupas kulitnya direndam di air. Setelah lebih kurang satu minggu, baru dikupas dan dipotong-potong. Ini rasanya akan lain dengan cara pertama, mungkin kadar alkoholnya terbentuk. Semakin lama direndam, semakin terasa bau aromanya.

Cara Ketiga, dengan cara dibakar. Batangan tebu tanpa dikupas, dimasukan ke perapian tempat memasak nasi yang meggunakan kayu bakar. Didaerah Jatiwangi atau Jawa Barat pada umumnya, tungku ini dinamakan Hawu.

Nah bila telah dipanaskan secukupnya diantara bara api kayu bakar tersebut, kita diinginkan dan dikupas kulitnya. Kemudian dipotong-potong kecil untuk dinikmati. Yang ini rasanya lain lagi dan wanginya khas.

Itulah Kreasi orang kampung untuk menikmati berbagai rasa dan aroma Tebu. Yang pasti semua Tebu tersebut hasil dari nyolong dari Kebun Tebu milik Pabrik Gula !

Gembel.
Gembel yang satu ini bukan sembarangan Gembel. Bukan pula Gembel manusia Tuna Wisma yang mengemis kesana kemari berpenampilan compang-camping. Gembel ini enak dihisap, manis.

Tebu ditanam dengan stek batangnya langsung ditancapkan ditanam ditempat yang telah disiapkan.

Sebelum ditanam, dari batangan Tebu pilihan itu dipotong-potong, dengan cara memotong miring, jadi dipinggir setiap potongan itu runcing.. Biasanya hal ini dilakukan oleh para pekerja dipinggir kiri kanan Rel Kereta.

Ada beberapa sisa potongan yang pendek-pendek, panjangnya variatif, dari sekitar 5 cm sampai yang panjang. Yang jelas semuanya adalah sisa potongan dari batang yang dijadikan bibit untuk ditanam. Potongan ini berserakan dipinggiran jalan rel kereta.
Potongan ini bisa kita langsung nikmati, potongan tebu sisa ini dinamakan Gembel.

Bagi pejalan kaki yang melewati Rel Kereta ini, Gembel menjadi hal yang membantu dikala haus. Langsung pungut, kupas langsung pakai gigi (karena sudah berupa potongan pendek), nah kitapun berjalan sambil memungut-mungut Gembel, jadilah seperti seorang Gembel berkelana dan kehausan !

Saat Tebu Berbunga.
Sebelum Tebu siap ditebang, Tebu akan mengeluarkan bunga-bunganya. Sekumpulan bunga-bungan halus putih, yang mengumpul diatas batang-batang kecil yang mirip batangan bambu kecil.

Setiap pohon terdapat satu batang bunga, dan diatasnya sekumpulan putih dan halus. Bunga-bunga Tebu melambai-lambai tertiup angin. Kala ini, diatas kebun tebu terhampar warna putih bunga-bunga tebu. Sebuah lukisan keindahan alam kampung kami.

Batang bunga-bunga Tebu ini, menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari keceriaan permainan anak-anak kampung.

Batangan ini dibentuk sedemikian rupa, menjadi rangka dari gerobak-gerobakan dengan bagian bannya juga dibuat dari batang bunga Tebu yang dibuat melingkar. Bagian pegangannya yang dijadikan pegangan juga terbuat dari batang bunga tebu ini. Sebuah kreatifitas dan inovasi anak kampung, yang mengisi keceriaan waktu hangatnya senja kampung kami.

Hujung, Dari Atap Sampai Bahan Bakar Memasak.
Saat Tebu sudah tumbuh tinggi, daun-daunya yang panjang dan telah tua, biasanya mengering secara alami, dan mempel di batang-batang pohon tersebut.

Masyarakat kampung sekitarnya memanfaatkan daun-daun kering ini. Daun ini bisa menjadi pengganti Kayu Bakar untuk memasak ditungku-tungku atau Hawu.

Namun ada juga masyarakat yang rajin memanfaatkan daun-daun ini dengan cara ditumpuk merata dan diikat dibagian tertentu, seperti membuat Rumbia. Maka hasilnya berupa bagian kumpulan daun tebu kering yang rapih dan ini biasa digunakan untuk atap Kandang Ternak, atau bahkan atap rumah sebagai pengganti Genting.

Daun Tebu kering ini, dikampung kami, Jatiwangi, dinamakan Hujung.

Sang Sinder dan Lori.
Mulai dari musim tanam sampai musim tebang, Petinggi atau Staff dari Pabrik Gula sering melakukan pengontrolan langsung ke lapangan.

Petinggi ini biasa disebut Sinder. Semua pekerja akan menghormati sekali kepada Sinder. Sang Sinder berpakaian baju Dinas, stelan khas warna Coklat Muda. Memakai Topi khas sejenis helm bergaya Kolonial.

Saat mengontrol, Sang Sinder naik di Lori, seperi sebuah Beca, namun berjalan di atas rel kerete dengan pengayuh dibelakangnya. Lori ini tanpa atap.

Pesta Tebu, Pesta Rakyat.
Saat Tebu telah siap untuk ditebang, ini adalah bagian saat-saat yang bukan saja dinantikan oleh pihak Pabrik Gula, tetapi juga sangat dinantikan oleh penduduk.

Betapa tidak ? Karena saat akan ditebang, maka Pihak Pabrik Gula akan melakukannya dengan sederetan upacara tradisi yang akan merupakan hiburan tersendiri bagi masyarakat kampung yang memang haus akan hiburan.

Sebelum secara resmi Tebu dipotong, Pabrik Gula akan mengambil tanaman yang akan dipotong pertama kali.

Potongan pohon yang ditebang pertama kali ini terdiri dari dua batang, yang akan dibawa ke Pabrik. Kedua Pohon ini biasanya dibungkus kain putih, dijadikan sebagai sepasang Pengantin Tebu dan akan diarak selama perjalanan Kebun Tebu ke Pabrik, diikuti romongan manusia yang berjalan. Hal ini menjadi hiburan tersendiri bagi masyarakat sepanjang jalan yang dilaluinya.

Upacara tradisi ini sebagai gambaran ungkapan rasa terima kasih kepada Sang Maha Pencipta yang telah memberikan limpahan panen Tebu. Hal ini seperti ungkapan Thanksgiving Day pada masyarakat modern.

Setelah itu Pabrik Gula juga menyelenggarakan pasar malam siang malam selama satu minggu yang diikuti oleh para Pedagang dan Hiburan kesenian maupun Permainan (Comedí Putar, Tong Setan dlsb). Masa-masa seperti ini sangat dinanti-nantikan oleh Masyarakat , untuk sekedar belanja dan menikmati hiburan yang ada. Masa pesta ini dinamakan Badirian. Entah dari mana asal sebutan itu.

Yang jelas masa pesta kegembiraan ini sungguh menggambarkan adanya keterikatan pihak Pabrik Gula dengan masyarakat disekitarnya. Pesta Tebu, adalah Pesta Pabrik Gula dan Pesta Masyarakat.

Dari Bison Sampai Semar.
Tebu yang dipotong diangkut oleh Kereta Api yang dimuat dalam deretan rangkaian Lori, yang dikampung kami disebut Gotrok. Setiap Gotrok panjangnya hanya lebih sedikit dari panjang rata-rata batang Tebu.

Kereta Api nya disebut Sepur. Kereta api ini termasuk barang langka yang sudah berumur lebih dari setengah abad. Teknologinya sangat sederhana, digerakan dengan mesin uap. Bahan bakar untuk menghasilkan uapnya dari hasil membakar “ampas gilingan tebu” sisa gilingan dari Pabrik.

Seingatku di Pabrik Gula Jatiwangi mempunyai 6 unit Sepur. Setiap Sepur diberi nama. Pernah diberi nama deretan nama Wayang (misalnya Semar, Bima, Arjuna dlsb). Namun pernah pula diganti menggunakan nama Binatang (Bison dlsb).

Sebagai tanda komunikasi saat jalan, Sepur ini menggunakan bunyi seperti peluit sebagai klaksonnya. Bunyi ini juga berasal dari mesin uapnya.

Uniknya, setiap Sepur mempunyai warna suara tersendiri. Bagi masyarakat yang sering dilalaui Sepur ini, bisa menebak tepat, nama Sepur mana yang akan lewat hanya dari Suara bunyi peluitnya.

Ngarorod, Lambang Keberanian.
Selain pengangkutan Tebu dilakukan dengan Sepur, juga dilakukan dengan diangkut menggunakan mobil Truk.

Sepanjang jalan saat kendaraan-kendaraan tersebut berjalan mengangkut Tebu, bukan berarti aman dari pencurian yang dilakukan oleh penduduk yang dilewatinya.

Biasanya penduduk menarik-narik batangan Tebu yang diangkut baik oleh Sepur maupun Truk. Pengambilan atau lebih tepatnya pencurian Tebu dari angkutan yang sedang berjalan ini dinamakan Ngarorod.

Sebenarnya mencuri di Kebun Tebu jauh lebih aman dan mudah, Namun keberhasilan seseorang Ngarorod, akan menjadi lambang Keberanian orang tersebut, Jadi semacam prestasi tersendiri dimata teman-temannya. Walaupun banyak sekali terjadi kecelakaan tertindas roda Gotrok maupun roda truk atau terpeleset saat berusaha menarik-narik batangan Tebu.

Menanti Uang Sewa, Menyambut Keceriaan.
Area kebun Tebu bukanklah seluruhnya area milik Pabrik Gula. Tetapi adalah lahan sawah milik Penduduk yang disewa.

Setelah usai masa Giling Tebu, pihak Pabrik Gula akan membayar uang sewa. Inilah saat keceriaan. Bagi yang tanahnya disewa, akan mendapat panggilan secara serentak untuk menerima uang sewa cash langsung di Pabrik Gula.

Penduduk berjajar antri sambil menunggu dipanggil namanya. Sungguh aku sangat merasakan keceriaan bila telah datang masa tarima uang sewa ini. Aku dan Kakek, juga penduduk lainnya datang untuk menerima uang sewa.

Sepulangnya dari menerima, sebagian kami belikan keperluan sehari-hari atau untuk sekedar oleh-oleh. Mengumpulkan Ekor Tikus.
Entah apa kerugian Tanaman Tebu dari ulah Sang Tikus. Yang jelas Tikus ini juga merupakan hama, selain hama Padi.

Untuk membasmi Tikus yang berkeliaran di kebun Tebu dam sekitarnya, pihak Pabrik Gula menyuruh para kuli untuk membasminya. Caranya cukup unik. Setiap Kuli diberi alat semacam Pompa manual yang diputar.

Kemudian di sekitar ujung moncong pompa ini dibakarlah Belerang. Nah..asap belerang itu melalui bagian moncong Pompa diarahkan ke lubang liang tempat Tikus bersarang.

Tikus akan lemas menghisap asap Belerang. Berusaha keluar lubang, namun kondisinya sudah lemas.

Saat itulah ditangkap. Kemudian dimatikan. Ekornya dikumpulkan. Dan ekor-ekor itu dibawa ke Pabrik Gula untuk dihargai sejumlah uang sebagai jasa turut menumpas hama tikus.

Gotrok, Transportasi Bertenaga Manusia.
Karena jalur-jalur rel kereta api ini terhubung dari Pabrik ke kampung-kampung yang jauh. Dibeberapa persimpangan terdapat pengatur persimpangan rel, sehingga rel kereta ini menjadi jalur penghubung antara kampung / desa.

Pada saat diluar musim tebang atau tanam, praktis rel kereta api ini tidak banyak digunakan. Kalaupun ada hanya digunakan oleh Lori, saat Sang Sinder mengontrol Kebun Tebu.

Pada masa itu, dimana rel kereta tidak digunakan, dari beberapa kampung banyak yang menggunakan sebagai jalan transportasi dari kampung ke kota Kecamatan Jatiwangi untuk berbelanja berbagai kebutuhan.

Alat transportasinya terbuat dari Gotrok yang tidak dipakai oleh Pabrik Gula. Disekelilingnya dibuat tempat duduk dari bambu, namun tanpa atap.

Seingatku ada 3 kampung yang memiliki alat tranportasi ini, dari desa Salawana, Panongan dan di Desa Ujung Jaya di wilayah Pabrik Gula Kadipaten.

Gotrok ini menggunakan tenaga manusia (didorong), namun untuk yang di Ujung Jaya konon menggunakan penariknya Kuda (terus terang aku belum menyaksikannya).

Transportasi ini sangat diperlukan bagi penduduk desa saat berbelanja berbagai kebutuhan ke pasar yang hanya ada di kota kecamatan.

Berangkat pag-pagi. Penarik Gotrok terdiri 2 orang. Pagi-pagi setelah usai waktu Subuh, dia akan berkeliling kampung sambil meniup Terompet, membangunkan dan memberi tanda bagi para calon punumpang.

Bila semua penumpang telah terkumpul, baru berangkat. Karena kendaraanya terbuka, dan dalam suasana setengah kantuk, berselimutkan kain sarung para penumpang teranggguk-angguk ngantuk diiringi suara yang khas saat roda Gotok melewati sambungan jalan Rel. Dikdak...dikdak...dikdak, mengiringi anggukan kantuk !.

Kerak Gula.
Pada saat diolah di pabrik, ada bagian gula yang berada di dasar tempat pengolahan. Gulanya berwarna coklat kehitaman, dan kadang kering seperti kerak.
Sisa gula ini tidak diambil sebagai Gula yang akan dipasarkan. Biasanya diambil bebas oleh para pekerja.

Para pekerja membawa gula ini kerumah masing-masing dengan dimasukan ke karung goni (karung beras). Sisa Gula ini dinamakan Peueut . Rasanya sama, tetap manis, hanya kotor, namun wangi.

Bagi penduduk saat itu, ini merupakan hal yang istimewa. Kadang kami menikmati ini seperti gula-gula (permen) saat istirahat di sekolah.

Sengong.
Di Pabrik Gula terdapat Menara sebagai Lubang Pembuangan asap proses produksi gula. Pada saat tertentu tekanan uapnya dikeluarkan dan mengeluarkan suara yang keras berbunyi Hung...! Kami menamakan suara ini adalah Sengong. Dan suara ini terdengar berpuluh kilometer..!

Pada waktu bulan Ramadhan, Sengong dibunyikan sebagai tanda Buka Puasa dan Imsak.

Air Heng.
Kalau yang ini merupakan pencemaran. Saat musim giling tiba, buangan air limbah proses di Pabrik gula, dibuang langsung ke Sungai. Didaerahku sungai yang menjadi tempat buangannya adalah Sungai Cicadas yang melintas membelah kampung.

Air buangan ini disebut oleh penduduk sebagai Air Heng. Warnanya hitam, dan panas. Air sungai berubah warna jadi hitam dan mengepul karena hangat.

Bila musim giling tebu seperti ini, kami tidak bisa lagi bemain-main naik rakit di sungai, yang kami buat dari pohon-pohon pisang, karena airnya menjadi bau, hitam dan panas !

Mobil Willys, Antara Kenangan dan Cita-cita.
Untuk mendukung operasional Pabrik Gula, terutama dalam pengontrolan area Kebun Tebu, diperlukan kendaraan lapangan yang mampu melalui jalan-jalan tanah sekitar kebun tebu.

Pabrik Gula menggunakan kendaraan jenis Jip yakni Jip buatan Amerika, Jip Willys. Saat itu jip ini umunya buatan tahun ’50 an. Di pertengahan era ’70 an. ada beberapa unit menggunakan Jip CJ5 Canvas, yang merupakan produk lanjutan dari Willys. Obsesi masa kecil kakaku, Willys

Karena saat itu mobil masíh langka, kehadiran Jip ini menjadi perhatian penduduk yang daerahnya dilewati.

Bahkan di beberapa kampung / desa yang dilalui, anak-anak kampung akan mengejar-ngejar Jip itu sambil kemudian setengah tiarap di jalan menghisap telapak ban dan bau asap knalpotnya…!!!
Kemudian mereka pun melambaikan tangganya kearah Jip, seraya bersorak sorai : Tabe……!!!! Yang artinya dadah (selamat tinggal) dalam masyarakat modern.

Kehadiran dan kegagahan Jip Willys Sangay berbekas dalam benak masa kecilku saat itu. Kehadiran Jip Willys dan Kehidupan keseharian kami, sangat membekas pula di benak pikiran kakak laki-lakiku.

”Andai aku sudah besar, aku akan membeli Jip Willys”. Begitulah cita-cita dimasa kecil .
Aku terpaut usia 6 tahun dengan kakak laki-lakiku. Walaupun kehadiran Jip Willys masih saya alami, namun saat menjelang Remaja yang sering aku lihat adalah Jip CJ5 Canvas berwarna hijau muda. Kendaraan itu terlihat praktis dan gagah.

Tak Ada rimbun Kebun Tebu, Rimbun hutan sudah cukup untuk Bernosltagia dengan CJ5



32 tahun kemudian, akupun miliki sebuah CJ5 Canvas (walau modelny lebih muda) dan kakaku membeli Willys untuk bernostalgia dan obesesi masa kecilku.
Kehadiran CJ5 ku, saat ini melengkapi “perjalanan kenangan masa kecilku, kebun tebu dan pabrik gula”.

Aroma Kolonial
Pabrik Gula Jatiwangi seperti juga umumnya pabrik gula yang ada di Indonesia adalah sisa-sisa Kolonial. Maka disamping istilah-istilah yang ada, culture, mesin-mesinnya, termasuk bangunan-bangunannyaberbau Kolonial.


Area Pabrik Gula cukup luas. Cerobong pembuangan asapnya dibuat dari tumpukan bata-abat merah yang tersusun menjulang tinggi. Sekeliling luarnya di cat putih. Hal ini bagiku adalah sebuah pemandangan yang menyisakan kenangan indah, terlebih ketika kegagahan cerobong itu ditingkahi asap yang keluar dari mulut diujung cerobong itu.

Dibagian area produksi, jalur-jalur rel dengan deretan Lori yang ditarik Kereta Api berjejer. Orang kampung kami menyebut Lori-lori tersebut, dengan sebutan Gotrok.

Dibagian belakang banyak disimpan tumpukan-tumpukan ”sepah” tebu, yaitu batang tebu yang telah digiling diambil airnya. Sepah ini dibuat menjadi kotak-kotak besar, dan ditumpuk rapi. Sepah ini menjadi bahan bakar untuk membuat uap air yang menjadi tenaga penggerak kereta api.

Rumah-rumah pimpinan dan staff Pabrik Gula tertata rapi, dengan halaman yang luas, dan satu sama lain terpisah halaman dikiri kanan yang juga luas. Rumah-rumahnya masih bergaya Kolonial. Lantainya tinggi, terdapat teras didepan yang luas.

Pejabat terasnya menempati rumah yang besar, tinggi, bertiang gaya Eropa, dengan jendela dan pintu yang tinggi dan besar.

Dikiri kanan jalan dalam komplek Pabrik Gula, jalan diteduhi dengan Pohon-pohon Asem, Kihujan, Flamboyan yang sudah berumur.

Sungguh hal ini menjadi suatu dambaan lingkungan rumah bagi masyarakat yang tinggal diluar Pabrik.

Pabrik Gula, Ceritera Pengantar Lelap Anaku.
Sayang sekali, suasana peninggalan bersejarah itu kini hanya tinggal puing-puing rata dengan tanah .

Kemanakah larinya Sang Sepur yang bunyi ”kuik-kuiknya’ selalu kami nantikan ? Kemanakah perginya suara Sengong yang selalu aku nantikan saat berbuka puasa ? Kemanakah larinya rel-rel jalan kereta yang panjang memanjang menghubungkan antara kampung sekitar kami ?

Aku kaget dan setengah tidak percaya, ketika membaca artikel tentang ”program wisata meninjau kereta api tua dan pabrik gula” oleh seorang warga negara Jerman. Sementara kita yang memiliki, tidak pernah tertarik bahkan mau peduli hal ini !

Banyak Pabrik gula ditutup dan semua bangunannya diratakan dengang tanah, dan beralih fungsi dan kepemilikan untuk keperluan berupa bangunan masa kini (pusat perbelajaan ?).
Sebuah ketidak pedulian kepada bagian dari perjalanan sejarah bangsanya sendiri !

Denyut kehidupan Pabrik Gula dan masyarakat sekitarnya, bangunannya, adalah bagian dari torehan sejarah didalamnya, kini tinggal kenangan, dan hanya menjadi cerita pengantar lelap anak-anaku..!!

( Momon S. Maderoni )

19 comments:

  1. Many thanks for your attention to my Blog.

    OK. I will send you the information that you mentioned above.

    Regards,

    ReplyDelete
  2. It's really nice...

    ReplyDelete
  3. seneng baca nya,,kebetulan sy dpt suami org jatiwangi,,,sambil bacain sambil cerita dgn suami yg mengenang masa kecilnya yg suka nyuri2 tebu dan ngarorod tadi hehehe,,,btw p momon ini dmn jtw nya? suami saya berasal dr pande ciborelang,,

    ReplyDelete
  4. Subhanallah, Alhamdulillah,

    Mas Momon, kita punya keperdulian yang sama, dan terlahir dari latare belakang yang sama.

    Saya terlahir tahun 1966, di PG. Semboro desa Gunung Sari, Kec. Kencong, Kab. Jember, yang dahulunya adalah sebuah PG. Gunung Sari yang diterlantarkan karena pemberontakan Belanda.

    Ayah saya seorang sinder kebun, yang setiap pagi berangkat ke kebun tebu dengan topi laken ala belanda. Ayah saya sering mengajak saya naik Sepoor tebu, naik Drekzin (semacam mobil yang berjalan di atas rel), atau naik PER-PER (semacam becak roda 4 kapasitas 2 orang yang digerakkan dg mesin Zundapp).

    Saya tinggal di lingkungan PG selama 25 tahun sampai menjelang menikah. Kenangan dan kecintaan terhadap PG Semboro akhirnya sangat mendalam, begitu pula ketika saya berkunjung ke PG2 yg lain yang aroma feodalnya kuat.

    Tetapi sekarang keadaan PG Semboro sangat memprihatinkan, bangunan loji banyak yang hancur dan tak terurus, bahkan ada yg jadi pasar. Seandainya ada keperdulian sedikit dari pengelola aset PG atau meneteri BUMN agar aset bisa dikelola sebagai objek wisata perkebunan, tentu hal ini akan lebih menjanjikan di masa datang. Sayang sekali...

    bagus masroni ( bagus@silkargosub.co.id) HP. 087 851 666 305

    ReplyDelete
  5. wow keren Kang! Spur, ngarorod, gotrok sareng KP...waas pisan...ijin ngopy Kang...abdi oge ti Jatiwangi heee..Jatiwangina ti mana? ayeuna linggih dimana?

    ReplyDelete
  6. waas kang!! ngarorod, tiwu, gotrok, spur & sengong...Jatiwangina ti mana Kang? dimana linggih ayeuna?? Ijin ngopy artikelna kang!

    ReplyDelete
  7. sediihhh...kalo melihat lapangan terbuka bekas PG Jatiwangi,kenapa gak dijadikan Guest House saja...???? bangsa ini hanya melihat dari sisi untung ruginya saja,tidak melihat nilai sejarah yang ada disana...

    ReplyDelete
  8. Orang kita jga selalu meniru. MUdah tergiur kata SQUARE, MALL dlsb

    ReplyDelete
  9. Kembali ke jatiwangi....feb.2013, kembali tugas di ex. PG. jatiwangi untuk benahi pabrik kampas.....sedih,,,,waas...heuneug..politisss..politis

    ReplyDelete
  10. Keren A,
    Pami gaduh link perpustakaan atanapi museum Leden.
    Langkung lengkep sigana...

    ReplyDelete
  11. Paling takut waktu kecil lewat depan TK ade Irma suryani Dan besaran(tempat pertemuan) pernah tinggal depan Lapang bola terus pindah remah sesebelah pool mobil. Terakhir depan kantor

    ReplyDelete
  12. Abdi asli ti Jatiwangi....desana Cicadas..putrana Abah Hadiyat Lokomotiv nomor 4 (Gajah)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hatur nuhun informasinya. Abdi lahir di Salawana, dibesarkan di Rekesan (sekarang Mekarsari).

      Delete
  13. Asli Jatiwangi mindel di Cicadas abah Hadiyat Lokomotov no 4 Gajah

    ReplyDelete
  14. Sae pisan pa,,,ya Allah masa kecilku yang bahagia

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hatur nuhun. Tulisan ini sekedar kenang-kenangan masa kecil saya.

      Delete