Friday, November 20, 2015

YUUK ........ MAKAN JANDA MEJENG.

Mohon maaf sebelumnya, kepada para Wanita yang sudah berstatus Single Parent ( Janda ). Tidak sama sekali bermaksud melecehkan dan tidak menghormati dengan artikel ini.

Orang Sunda konon adalah Suku yg punya kebiasaan makan berbagai Daun dari bebagai tanaman sebagai Lalapan.
Anekdot menyebutkan, orang Sunda makan semua Daun, kecuali Daun Telinga dan daun Jendela !

Namun ada Daun yang kini "relatif" termasuk jarang ditemui. Bahkan mungkin, tidak sedikit orang Sunda sekarang mengetahui Daun Lalapan yang ini.!
Namanya Daun Kenikir, seperti terlihat di foto ini.

  Randa Midang menunggu dipetik.
 
" Konon ", Daun ini bermanfaat untuk menurunkan Hipertensi dan menghilangkan Bau Badan.
Di beberapa daerah di tatar Priangan, ada yg menyebutnya daun lalapan ini disebut Randa Midang.

Randa itu artinya Janda.
Ada kebiasaan orang Sunda, kalau sore-sore sehabis mandi, " berdandan " , dan menunggu gelap ( sebelum Maghrib ) mengisi waktu nongkrong di depan Rumah. Kebiasaan ini disebut  " Midang ".

Midang dimasyarakat sekarang layaknya  " Mejeng ",  Tebar Pesona.

Jadi Randa Midang = Janda Mejeng
( Entah kenapa Lalapan ini disebut Randa Midang ! Padahal daunnya juga tdk secantik Janda yg sedang Mejeng ).

Janda Mejeng, terkulai siap di santap

Di beberapa daerah di Tatar Sunda ada yang menyebut daun lalapan ini , Ramidang. Tak lain mungkin singkatan dari Randa Midang. Tetap saja artinya sama, Janda Mejeng !

Yuk, ..... siapa yg mau makan Janda Mejeng ?!
Nikmat, Nasinya panas, Janda Mejengnya dicolek ke Sambal Terasi. Asyikk
( Apalagi sambil nyolek Janda benerannya. He he .. he. ) .
Mengenang Makanan Khas :
HAMPAS KECAP.


Namanya juga Ampas ( Orang Sunda menyebutnya  " Hampas " ), ya...sisa.
Bahkan sisa-sisa.!

Tapi yang ini biar termasuk Sisa, alias Hampas, tetap bermanfaat, enak pula.
Sebelum group Korporasi milik para Pemodal Besar mendirikan Pabrik Kecap, di beberapa pelosok Kampung di Negeri ini sudah berdiri Pabrik-pabrik Kecil milik rakyat.

Mungkin istilah "nge cap" sebagai gambaran orang yang suka banyak ngomong, karena identik dengan "banyaknya" pabrik Kecap yang semuanya mengatakan Produknya No. 1 !

Dari proses pembuatan Kecap yang merupakan sari dari Kacang yang dikeringkan sebelumnya dan diproses sedemikian rupa, meninggalkan "sisa ampas" dari kacang-kacang itu.
Di beberapa daerah, sesuai benda itu berupa sisa-sisa, ya disebut Ampas. Dalam bahasa Sunda ya Hmpas Kecap !

Walau statusnya sebagai barang bekas, Hampas Kecap masih berguna. Dimasak sebagai oseng-oseng, dicampur Cabe, kadang juga dengan dicampur Oncom, jadilah makanan yang enak untuk "teman Nasi" .

Oseng-oseng Ampas Kecap.

Proses Pembuatan Kecap, tidak hanya menyisakan Hampas Kecap, tetapi juga ada bagian sisa cairannya yang kental, yang ada di dasar tempat Kecap itu, sebagai "sisa penyaringan" . Yang ini disebuat  " Gegendek ".

Karena "sisa saringan", Gegendek kental sekali, jadi ibarat Kecap yang Kental sekali. Dan ini pun masih bisa dimanfaatkan, ya...sebagai kecap yang kental sekali !

Sayangnya grup Korporasi telah "melibas" matinya Pabrik-pabrik Kecap Tradisional milik rakyat kecil.
Tamattah sudah denyut nadi Pabrik Kecap rakyat yang tersebar di pelosok kampung.
Dan rasanya tak mungkin lagi pabrik Kecap tradisional akan bangkit lagi saat ini, ...... berat, ...!
Bagaimana tidak ? Kacang saat menjadi barang Impor dari Luar Negeri.!
( Karena Petani pun telah pergi, menjadi kuli-kuli. Merunduk, bagai pasukan yang kalah perang di negerinya sendiri !)
Generasi kinipun tak mengenal lagi lezatnya oseng-oseng Hampas Kecap..
POSONG, GERABAH YANG HILANG.


Orang boleh tertawa, bahkan mentertawakan kalau barang-barang Gerabah ini dihadirkan sebagai Barang Pajangan di Ruang Kerjaku.
Tungku Tradisional, Poci dengan Cangkirnya yg bertengger diatas Meja dari Jubleg ( Penumbuk Padi dari batu asli ) peninggalan kakek , dan Meja dari Gerabah yg turut menyangga Radio Tua.
Orang boleh memandang sebagai " ke kuno an ", atau mungkin " kampungan " . Apapun menyebutnya, tetapi setiap orang punya " pe nyelaman rasa, bathin " masing-masing saat memandang menikmati suatu benda.


Bagiku, memandang suatu Gerabah, mengingatkan sebuah sudut Kampung di Jatiwangi, bernama Posong.
Terbayang sebuah kampung yg sebagian penduduknya mengandalkan hidupnya dari memproduksi dan menjual Gerabah tradisional.

Terbayang Pak Aming, yg dengan otot tua rentanya memikul Gentong, dan Padasan yg besar keliling kampung, saat Matahari tepat di ujung ubun-ubun.
Sementara kayu pemikulnya yg terbuat dari Bambu ( dalam bahasa Sunda di daerah Jatiwangi disebut Rancatan ) sdh licin karena seringnya terpegang tangan.


Aku mencoba minta bantuan Mbah Google mencari tahu tentang Kampung Posong saat ini.
Tidak ada yg muncul Kampung Posong di Jatiwangi ! Yang ada, informasi Kampung Posong di Arjawinangun, yg sampai saat ini penduduknya masih tetap mengandalkan hidupnya dari membuat dan menjual Gerabah. Walau konon mereka harus terpaksa bermodalkan modal usaha dari Rentenir !
( Mungkin nama Posong itu adalah nama umum untuk Kampung yg memproduksi Gerabah. Seperti juga sebutan nama Kampung Pande untuk Kampung tempat Pembuat peralatan pertanian dari besi, Pande besi ).

Posong, dulu sering aku lewati saat melintas bila ada keperluan ke Kantor Pos. Dikiri kanan jalan, sepanjang Kampung banyak orang dengan tekun memutar-mutar alat tradisional pembuat berbagai Gerabah. Ditangannya, tanah liat asli Jatiwangi berwarna kekuningan. Di halaman, berjejer Gerabah mentah di jemur sebelum dibakar di tungku-tungku tradisional.
Itu 40 tahun lalu, entah kini, apakah masih ada pemandangan ini ? Atau jaman telah menggilas segala yg dianggap ke tradisional an ?
( akupun tak bisa lagi memandang " gerabah", selain "keramik" ).

 
Ada sebuah Gerabah yg hampir dipunyai oleh masyarakat di pelosok kampung Jatiwangi. Disamping gerabah yg disebut " Padaringan " , yg begitu sakral sebagai tempat Penyimpanan Beras.

Ada lagi yg berfungsi sebagai tempat Air. Di bagian dasarnya ada lubang tempat air keluar. Penutupnya terbuat dari kayu. Gerabah yg ini disebut " Padasan ".

Air di Padasan digunakan untuk Wudhu, dan membersihkan kaki sebelum masuk Rumah. Yang menarik, Padasan ini juga banyak diletakan di depan pintu Pagar Rumah.
Airnya selain untuk keperluan penghuni rumah, tetapi juga sengaja agar orang yg lewat kehausan, bisa langsung minum.!
Itulah rasa ke Manusiaan para leluhur  !
( Sambil menulis artikel ini, merasakan ke rentaan tubuh, ingatan menjelajah, menembus ruang dan waktu 40 tahun lalu, tentang sebuah kampung, bernama Posong ) .

Sunday, November 8, 2015

Bersepeda Seorang Diri  :
DIBAWAH TERIK MATAHARI KHATULISTIWA
( Antara Banjarmasin - Palangkaraya )


Diatas angkasa Banjarmasin, langit cerah ketika kaki menuruni tangga Pesawat yang membawaku dari Jakarta.
Banjarmasin, sudah berpuluh kali aku singgahi Ibu kota Kalimantan Selatan ini.

Mata mengawasi antrian Bagasi yang bergerak diatas Ban berjalan. Aku menunggu Sepeda Lipatku ( Seli) berwarna Putih Mutiara, Polygon Urbano 3, yang terbungkus Tas khusus.

Perjalanan Goes Sepeda kali ini aku gunakan Si Seli Putih, semata atas pertimbangan mudah dalam transportasi selama di jalan.  Tentu jaub lebih ringan, dan mudah dibawa, dibanding dengan tidak epeda khusus Touringku, Surly Long Haul Truck.
Namun perjalanan kali ini akan jauh terasa lebih berat, karena Si Seli hanya menggunakan Ban ukuran kecil, 20 inch saja !.

Bersyukur Si Seli yang terbungkus Tas abu-abu itu keluar dengan selamat, tanpa cacat.

Sebuah mobil SUV, Mitsubishi Pajero Sport, telah menunggu di halaman parkir Bandara. Si Seli langsung teronggok di tempat bagasi.

Senja yang cerah, Gado-gado dan Bebek Bakar menjadi santapan makan di Rumah Makan Tahu Sumedang di kota itu.

Malamnya, Si Seli mengalami proses "pemuatan beban". Tas Touring merek Top Peak menyatu dengan Rack yang juga satu merk.  Barang-barang perlengkapan, baju, alat Recovery segera menempati ruang yang tersedia di Tas tersebut.

Esoknya, usai Subuh, Si Seli aku bawa jalan pagi berkeliling kota Banjarmasin, sebagai pemanasan. Tercatat di Distance, jelajah pemanasan ini mencapai 36 KM lebih.

Aku masih tinggal sehari untuk persiapan lainnya, cari info tentang jalan, kondisi Lalu lintas, dan tentu istirahat menyiapakn tenaga dengan cukup tidur.

Usai salam terakhir di Subuhku, langsung Si Seli yang sudah penuh dengan bawaan diajak turun. Penjaga Hotel yang masih terkantuk terkaget-kaget seorang tamunya Check out di pagi buta dengan Sepeda.

Jam menunjukan angka 6 tepat saat Pintu Hotel yang dibukakan oleh Satpam memberi jalan aku dan Si Seli keluar.
Di jalan lampu penerangan masih menyala, jalan masih gelap. Ku kayuh si Seli menuju luar kota Banjarmasin.

Mengikuti jalan utama, di bawah Jembatan layang, aku membelokan si Seli ke kanan. Di salah satu Lampu merah, sekelompok yang sedang olah raga ber Sepeda memanggil, dan menyetop.

Kami berkenalan, sekalian mereka memberi informasi jalan dan kondisi lalu lintas.  Target aku untuk mencapai Jembatan yang konon terpanjang di Kalimantan, yang melintas Sungai Barito.

Saat asyik goes sendiri di pagi itu, rupanya 2 rekan Goeser yang tadi berkenalan, mengikuti dari belakang yang akhirnya menemani sampai Jembatan Barito.

Si Seli dengan Rodanya yang kecil dan penuh muatan  cukup membuat nafas ngos-ngisan saat menanjak melintasi Jembatan itu.


Inilah sungai Pertama yang kulaui dalam perjalanan ini, Barito.

Di ujung  Jembatan Barito, di sebuah Warung aku sekedar istirahat, dan makan Telor serta Lontong bersama kedua rekan dari Banjarmasin yang mengantar sampai di tempat ini.

Kedua teman,segera kembali ke arah kota, dan aku seorang diri melanjutkan perjalanan menuju Perbatasan Kalimantan Selatan - Kalimantan Tengah seorang diri.

Jalan lebar, mulus terbentang, dengan garis putih yang jelas. Suara gesekan ban dan aspal memberiku semangat, lanjutkan !

Matahari semakin keatas. Pada suatu titik di daerah Serapat, berdiri tegak di kedua sisi jalan : Tembok tanda batas Provinsi Kalimantan Selatan - Kalimantan Tengah.

Si Seli kuhentikan, segera mengabadikan saat aku pindah menjejak antara tanah Kalsel dan Kalteng. Dan di titik ini pula waktu di Jam berubah dari WITA menjadi WIB !!!

Batas Provinsi Kalsel - Kalteng, batas waktu WITA - WIB.


Kini roda kecil Si Seli berputar diatas wilayah Kalteng.!
Angin menerpa cukup kuat menghambat gerakan Sepeda. Dengkul tua yang sudah menjelang usia 58 tahun ini harus lebih kuat menekan Pedal Si Seli.

Jalan kadang lebar, kadang pula menyempit. Disuatu daerah jalan dirimbuni kiri kanan pohon-pohon, mengingatkanku akan kedaan di kampungku di era tahun '70 an.

Antara Serapat - Kuala Kapuas.
Beberapa pengguna jalan terheran melihat aku Goes di terik matahari seorang diri, dengan perlengkapan penuh di Sepeda.

Jalan itu cukup nyaman. Dan setiap aku melihat rombongan anak sekolah yang ber Sepeda, aku merasa tenang, setidaknya andai Si Seli ngadat, rusak, ban bocor, diseikitar kampung itu ada Pembengkel Sepeda.


Satu Sungai Dua Jembatan :
Menjelang Kota Kapuas Hulu, diatas pedal Si Seli aku lalui 2 Jembatan panjang. Sungai Kapuas yang lebar mengalir dibawahnya.

Menjelang kota Kapuas, sungai ini terbelah dua, sehingga aku melalui 2 Jembatan yang melintas diatasnya, Jembatan Pulau Petak dan Pelo.

Melintasi Sungai Kapuas, Jembatan Pulau Petak.

Kota Air :
Matahari semakin condong mendekati ubun-ubun saat aku sampai di sebuah Bundaran luas, tanda pintu masuk kota Kuala Kapuas, yang menyebut dirinya Kota Air.

Kota ini sejak dulu sudah sangat terkenal dan berperan dalam lalu lintas ke pedalaman Kalimantan Tengah, yang saat itu mengandalkan jalur Sungai.

Kota yang terletak di Kuala sungai ini sejak jaman penjajahan sudah sangat diperhitungkan strategisnya. Sebagai bukti, disini ada peninggalan Benteng yang dibangun di era penjajahan bumi pertiwi ini.

Kuala Kapuas masa lalu,

Kusandarkan Si Seli, dan segera mengambil di moment saat memasuki Kota Kuala Kapuas ini.

Aku rehat sejenak sambil mengabadikan Bundaran pintu masuk kota,  yang nampaknya baru ditata.

Satu keluarga yang juga sedang dalam perjalanan, berhenti tak jauh dari tempat aku berhenti. Saat keluar kendaraan dan hendak berfoto, sempat kami bertegur sapa.

Sang Ibu, wanita separuh baya, sedikit terheran-heran ketika mengetahui aku dalam perjalanan seorang diri bersepeda. Mungkin juga lebih heran karena melihat uban di kepalaku !.

 Pintu masuk Kota Kuala Kapuas

Sambil istirahat di sekitar Bundaran itu, melalui Handphone aku coba hubungi kenalan satu kampung yang sudah lama tinggal di Kota Pulang Pisau, sebuah kota kecil yang akan aku lalui.

Aku coba kumpulkan informasi darinya kondisi jalan, keamanan dan fasilitas sepanjang jalan yang akan kulalui.

Panas menyengat, saat aku putuskan melanjutkan perjalanan menuju kota Pulang Pisau.

Jawa dan Bali di Kalimantan :
Jalan semakin sepi. Lepas dari batas kota, aku melintas di daerah perkampungan ex Transmigran dari Bali. Sepanjang jalan, rumah-rumahnya bergapura layaknya rumah di Bali. Di setiap rumah, didepannya ada pelataran tempat pemujaan, sembahyang Agama Hindu. Ada beberapa Pura yang besar, tertata rapih.

Pura di Perkampungan Transmigran Bali di Kalimantan Tengah

Penduduknya, Pria dan Wanita banyak yang mengenakan Baju Adat Bali, bahkan saat mampir di satu Warung, mereka pun masih berkomunikasi dengan Bahasa Leluhurnya.

Lepas dari perkampungan ex Transmigran Bali, menyambung ke Perkampungan yang didominasi oleh ex Transmigran dari Jawa. Benar-benar terasa suasana di pedesaan Jawa. Mereka pun masih berbahasa Jawa.!

Hari itu, hari Jumat, jelang waktunya Sholat Jumat. Hilir mudik Pria Bali yang mengenakan pakaian Adat Bali, sarung, hampir samar dengan hilir mudik Penduduk lainnya (yang berasal dari Jawa) yang akan pergi menunaikan Sholat Jum'at ke Mesjid.

Di sebuah Mesjid yang sudah ramai dengan Jamaahnya, dan Khotib sudah di Mimbar, aku sandarkan Sepedaku, dan kutuntaskan kewajibanku, Sholat Jum'at, dan di jama dengan Ashar.

Usai sholat, beberapa Jamaah yang keluar dari Mesjid tidak sedikit yang memandang heran. Dan beberapa bertanya tentang tujuanku.
" Inshaa Allah sampai Palangkaraya ",  kataku ketika diantara mereka menanyakan kota tujuanku bersepeda.

Dibakar panas Khatulistiwa :
Panas sedikit melewati ubun-ubun, panasnya bukan alang kepalang.!
Panas itu menghilangkan rasa lapar, tetapi menimbulan rasa haus yang bukan alang kepalang. Sejak meninggalkan Banjarmasin, sudah 3 Botol air mineral ukuran sedang sudah ku habiskan. Belum lagi minuman penyegar lainnya. !

Matahari dekat garis Khatulistiwa, membakar tubuhku siang itu. Dengkul yang sudah menjelang 58 tahun ini  masih setia bersahabat dengan Pedal. Sesekali angin membelai dari ujung kaki sampai ujung rambut.
Suara gesekan rantai sepeda, ban dengan aspal, semilir angin, membelah sepinya sisa hutan di kiri kanan jalan yang kulalui ....

Sisa hutan di kiri kanan jalan. Beberapa kali Ular tanah melintas, menyeberang jalan.
Jam menunjukan angka 1 lebih 45 menit, semakin siang, semakin panas. Jalan yang kulalui semakin sepi, tidak ada perkampungan lagi.

Suara gesekan ban dan aspal, rantai sepeda, angin yang menerpa tepi Helm yang kupakai, menjadi bagian dari teman perjalanan dibawah teriknya matahari siang itu.

Tepat pk. 2 siang, Matahari tepat menerpa bagian kiri badan, leher kiri tertimpa sinar matahari yang terasa panas sekali.   Aku sudah di tidak kuat lagi menahan panas !
Di tengah sepinya hutan, di salah satu sisi jalan sebelah kananku, ada sebuah warung yang lumayan layak untuk istirahat.

Tanpa banyak berfikir panjang, Si Seli kuarahkan menyeberang jalan, ke kanan. Warung itu menjadi tempat istirahat.!

Telur asin, Mie Instant dan minuman langsung kusantap sebagai makan siangku yang terlambat dari jadwal.

Usai menyalurkan  urusan "arus bawah" seusai makan siang, langsung badan kurebahkan di bale-bale yang ada di samping Warung itu.  Dan ...... lesss,   tanpa sadar, tertidur ..!

Jam menunjukan pk. 3 siang saat aku terbangun di balai-balai Warung itu. Badan lumayan segar.
Usai pamit ke pemilik Warung, kukayuh kembali Pedal si Seli.

Sudah meninggalkan Warung cukup jauh, terasa ada yang kurang, ...... oh......Kacamata tertinggal di Warung !  Terpaksa aku kembali lagi ke Warung.

Jalan semakin sepi, hutan dikiri jalan masih dipenuhi Pohon-pohon tinggi.  Setelah jalan lumayan jauh, terlihat di depan sebuah Gerbang, tertulis Kabupaten Pulang Pisau.

Alahamdulillah, aku sampai di tengah-tengah jarak rencana perjalananku. Pulang Pisau, sebuah Kabupaten hasil Pemekaran termuda di Kalimantan. Pulang Pisau ini berada di posisi tengah route rencana perjalananku, Banjarmasin - Palangkara.

Sekelompak Remaja bergerombol mengisi waktu senja di dekat Pintu Gerbang itu. Setengah heran, mereka mendekatiku. Setelah berbasa-basi, kuminta salah seorang dari mereka untuk membantu me moto ku.
Pintu Gerbang Kabupaten Pulang Pisau.
Dengan semangat, kukayuh kembali Sepeda. Lepas dari Pintu Gerbang itu sudah terasa suasana kampung. Rumah penduduk asli  ( Dayak ) berselingan dengan sisa hutan. Sesekali anak-anak kecil yang sedang bermain melambaikan tangannya melihat aku melintas di depan rumahnya.

Saat melintas di depan sebuah Warung, seorang Penduduk asli memanggil. Kuhampiri dia yang sedang asyik berkerumun di Warung itu.  Ternyata mereka memangilku hanya mengajak Ngopi bersama ! Sebuah  " sisa keramahan " penduduk negeri ini.
Kusambut undangan itu, sambil melepas kepenatan, kami ngobrol dan mereka banyak yang menanyakan maksud perjalananku.
Jalan yang kulalui mulus. Pada sebuah titik, di depanku sebuah tanjakan yang bersambung dengan Jembatan. dibawahnya melintas sungai, inilah Sungai Pulang Pisau, yang menjadi juga nama kota ini.
Sebelum Jembatan, sebelah kiri ada jalan. Dan inilah jalan masuk ke kota Pulang Pisau. Sebelum melanjutkan masuk ke kota, lewat HP aku hubungi kenalan se kampung yang sudah menjadi warga kota ini, Kang Tata Alisumitra.
Sepeda kuarahkan ke komplek perumahannya. Tidak begitu sulit aku mencari rumahnya. Sambutan hangat keluarganya mengisi keceriaan senja itu.
Kang Tata menawarkan untuk menginap di rumahnya, tanpa mengurangi rasa hormat atas tawaran itu, aku berniat tidur di penginapan di tengah kota.
Diluar dugaan, pusat kota Kabupaten ini tidak lebih besar dari sebuah pusat Kota Kecamatan di Jawa ! Disini yang disebut pusat kota hanya lapangan kecil, Rumah Bupati dan beberapa warung.

Kang Tata bilang, bahwa tidak ada Hotel. Penginapanpun tidaklah selayak di tempat lain. Atas bantuan beliau, aku dapatkan tempat Penginapan milik Pemda, bersebelahan dengan Rumah Dinas Bupati.
Saat mencari tempat makan malam harinya, hanya ada beberapa saja. ATM pun di buka hanya siang hari. Kecuali ATM BRI yang ada di sudut jalan, dekat Pasar.
Malamnya, usai ngobrol dengan Kang Tata, langsung istirahat. Sebelum mata kupejamkan, kulihat dialat penunjuk jelajah di sepedaku menunjukan angka 157 KM. Jarak dari sejak pemanasan di kota Banjarmasin sampai titik aku istirahat di Pulang Pisau ini !


Diterpa Panas dari Bawah dan Atas :
Bangun pagi sebelum Subuh, diluar terdengar gerimis. Usai proses loafding semua perlengkapan ke Sepeda, kulaksanakan kewajibanku, Sholat Subuh.

Sebelum dengkul tua ini mengayuh kembali Sepeda, Roti dan telur asin menjadi sarapanku pagi itu.
Jam 5.15 saat Satpam Rumah Dinas Bupati itu membukakan pintu pagar.
Gerimis tipis menemani perjalananku meninggalakan kota Pulang Pisau. Suasana masih sepi sekali. Hanya terlihat 2 orang Petugas Kebersihan membersihkan sampah di pinggir jalan.

Gerimis tipis bercampur kabut. Pandangan masih terbatas, kunyalakan Lampu Sepedaku.
Saat memasuki jalar raya Banjarmasin - Palangkaraya, jalan basah tersiram gerimis tipis. Jalan masih sepi, hanya suara burung di hutan kiri kanan jalan riuh menyambut pagi. Udara dingin menerpa tubuh menemani angin saat Sepeda melesat diatas aspal basah.

Sendiri, di sepi dan sisa gerimis pagi.
 
Hembusan nafas keluar dengan kabut pagi. Sepi, sepi dan sepi.
Selepas dari hutan dibatas Pulang Pisau, perut masih terasa meminta tambahan bahan bakar.  Saat memasuki sebuah perkampungan penduduk asli (Dayak), sebuah Warung kecil yang baru buka menjadi tempat istirahat pertamaku pagi itu. Mengisi bahan bakar yang masih dirasa kurang oleh si Perut ini.

Segekas Teh hangat  manis makanan kecil, cukup memberi kesegaran untuk kembali menggenjot pedal Sepedaku.

Di kiri kananku sekarang terlihat berselang seling antara deretan pohon sisa hutan dan rawa tanah gambut.

LK 100 KM lagi di depanku untuk sampai ke pusat Palangkaraya. Kondisi kiri kanan jalan jaub lebih sepi dari sebelumnya. Tetapi inilah sebuah kenyamanan bersepeda yang tidak kudapatkan di Pulau Jawa !

Jelang pk 10, aku sampai ke suatu daerah. Ada deretan warung yang tak lebih gubuk-gubuk. Bangunan besar hanya sebuah Mesjid dan kantor KUA.  Kuparkirkan Sepeda di halaman Mesjid, dan kembali "mengurus urusan arus bawah" di sebuah WC Mesjid itu.

Saat akan keluar halaman Mesjid, sesorang dengan sedikit heran menanyakan darai mana aku, mau kemana, apa tujuannya. Sederat pertanyaan yang sdh biasa aku dapatkan dalam perjalanan kesendirianku.

Sekelompok Pelajar berseragam Pramuka melambaikan tangan memberi semangat. Konon tak jauh dari kampung ini akan dilewati sebuah Jembatan panjang, sepanjang 10 KM yang melintas diatas Rawa, tanah gambut.

Jembatan Tumbang Nusa yang dibangun agar kendaraan bisa melintasi hamparan Rawa yang selalu banjir menghalangi perjalanan. Jembatan yang menjadi tulang punggung kelancaran logistik dan ekonomi wilayah keterpelosokan  Kalimantan Selatan.

Matahari masih condong dari Timur, tapi panasnya sudah menyengat. Panas Matahari dekat Garis Khatulistiwa dari atas, dan panas lembab yang terpantul dari tanah gambut !

Aku berhenti sejenak, mengoleskan tambahaan Krem anti bakar agar kulit tidak terbakar sinar Matahari.

Tidak begitu lama, terbenatang di hadapanku Jembatan panjang, melintas diatas Rawa amat sangat luas. Terik Matahari semakin terasa.! Tak ada Pohon tempat berlindung !

Aku tak dapat mengembangkan kecepatan mengayuh, karena angin begitu bebas dan kuat menghambat gerak Sepedaku.
Jembatan Tumbang Nusa, sepanjang 10 KM melintas diatas Rawa.

Kukayuh terus Sepeda. Sungguh, di tempat inilah perjalanan terberat bagi dengkul tuaku. Dari bawah panas lembab Rawa, dari atas terik langsung dari panas matahari khatulistiwa, dari depan tiupan angin kencang menghadang gerak laju Sepedaku !

Aku bertahan, pelan-pelan ku kayuh. Terlihat di Speedometer menunjukan hanya 17 KM / Jam. Mempertahankan kecepatan sebegitupun begitu berat di tempat ini !

Setelah perjuangan berat melintas Jembatan sepanjang 10 KM itu, aku putuskan istirhat di sebuah warung di ujung jembatan. Disini banyak deretan Warung yang didominasi oleh penjual yang berasal dari Banjarmasin.

Jalan berikutnya tidak semulus jalan aspal sebelum Jembatan. Banyak yang berlubang dan bergelombang.

Arah Matahari merayap,  hampir jatuh tepat di ubun-ubun. Panas masih menjadi kendala. Mental sudah menurun, setiap Tugu Pal Batas selalu kutengok. Ingin segera sampai di Tugu Pal bertuliskan angka Nol  !!

Kamu bisa, kamu kuat, kamu pasti sampai ke Palangkaraya !  ( kataku dalam hati, menyemangati diri sendiri ).

Kayuhan demi kayuhan, akhirnya di depanku terlihat sebuah pointu Gerdang tua bertuliskan :
" Selamat Datang di Kabupaten Palangka Raya. Kalimantan Tengah. Kota Cantik ".

Kusandarkan Sepedaku di depan Tugu Gerbang ini.
Pal batas Pintu Gerbang Kabupaten Palangka Raya.

Palangka Raya, Kota Tertata :
Selepas tanda pintu gerbang itu, semangat menggoes bertambah tinggi, ingin segera masuk kota Palangka Raya. Kota paling tengah di wilayah Indonesia. Kota yang tertata oleh Presiden RI Pertama, Ir. Soekarno.

Jalan yang kulalui semakin ramai. Sebelum masuk ke kota Palangka Raya, aku lalui sebuah daerah dimana banyak sekali dijual buah-buahan dan sayuran yang ukurannya besar-besar. Ada Timun, Semangka, Labuh dan lainnya yang ukurannya besar-besar.

Konon, inilah daerah Transmigran yang berhasil. Transmigran dari Jawa yang berhasil merubah tanah Rawa menjadi tanah pertanian yang subur. !

Di sebuah Tugu Tapal Batas yang menunjukan angka 10 KM lagi menjelang kota Palangka Raya, kusandarkan Sepeda dan kuluruskan kakiku, istirahat sejenak.

Dengan sisa tenaga dan semangat yang masih tersisa, aku bangun dan kembali ku kayuh Sepedaku di tengah terik Matahari. Keramain kota semakin terasa.

Dan ....... tepat jarum Jam menunjukan pk. 12.45 ketika roda Sepedaku menjejak jalan di Bunderan pusat Kota Palangka Raya. ! Aku sampai di kota tujuan, Palangkaraya !
Sampailah sudah niatku dengan dengkul tuaku ini seorang diri menggoes Pedal Sepeda, di terik matahari  dari  Banjarmasin sampai di kota tertengah di wilayah Indonesia, Palangkaraya. !!

Di tengah keramaian kota Palangkaraya, yang tertata rapih, jalan membelah blok-blok bangunan, aku arahkan Sepeda menuju Hotel.

Di Lobby Hotel, yang Satpamnya setengah bingung melihatku, seorang Wanita muda dengan ramah, menyodorkan Lap penyeka wajah. Kuusap mukaku, di lap itu meninggalkan debu dari wajahku yang terkumpul sepanjang jalan.!

Usai sudah menempuh perjalanan bersepeda seorang diri dari Banjarmasin, Ibu Kota Kalimantan Selatan, ke Palangkaraya, Ibu kota Kalimantan Tengah.
Melintas tapal batas 2 Provinsi, 3 Sungai Besar di Kalimantan, 257 KM dibawah terik Matahari Khatulistiwa ......