Pada siang yang cerah, saat awal datang di tanah suci ini, berkeliling dari pusat kota sampai ke pinggirannya. Pada suatu tempat mata menagkap gunung, atau tepatnya bukit batu yang curam.
Bayang-bayang manusia yang mendaki bukit itu terlihat dibawah terang dan panas matahari siang itu.
Bukit yang tampak jelas terlihat berupa batu-batu yang menjulang tanpa ada pohon-pohon disekitarnya.
Walau aku sudah terbiasa mendaki gunung di negeriku, melihat bukit batu terjal itu, tak mampu menjawab tanyaku, tanya pada diriku sendiri, mampukah aku mendakinya ? Terlebih dalam panasnya siang bolong, tanpa pohon peneduh..!
Beberapa hari kemudian, aku diajak bergabung dengan rombongan yang akan mendaki bukit itu. Tanpa pikir panjang, aku putuskan bergabung untuk mendaki bukit batu tersebut.
Istri, yang tidak banyak pengalaman mendaki, diajak juga. Jadilah ini adalah pendakian gunung pertama dengan istri.
Sungguh ia mau mendaki, walaupun bukan hobbynya, karena pendakian kali ini bukan hanya sekedar melampiaskan kenikmatan mengejar Matahari Terbit dari puncak gunung yang biasa aku lakukan di negeri sendiri. Tapi pendakian ini jauh, ..jauh ....jauh yang akan kami capai. Bukan hanya perjalanan fisik, tetapi perjalanan bathin, menguak sejarah masa lalu, merenungi kekuasaanNya dan keteladanan serta perjuangan pemimpin kami yang abadi.!
Pendakian ini juga merupakan pendakian di negeri orang, yang jauh dari tanah air.
Jelang tengah malam, deru mesin mobil yang kami sewa dan angin malam gurun menjadi teman perjalanan malam itu.
Tidak sampai satu jam perjalanan sejak kami meninggalkan tempat penginapan kami, kendaraan sudah sampai diujung kawasan pemukiman yang malam itu sepi.
Kami turun dari kendaraan, angin malam terasa dingin menusuk. Aku kenakan jaket tebal serta slayer dileher.
Diujung kawasan pemukiman itu jalan mulai menanjak. Dikiri kanan kini kami lewati area terbuka.
Entah sampah dari para pendaki atau dari penduduk setempat, banyak sampah diantara batu-batu, dan bau pesing menusuk hidung kami.
Jalan semakin menanjak, dan berujung pada jalan setapak (single track) yang berupa batu-batu. Dikiri kanan tidak ada yang bisa dijadikan pegangan tangan. Mula-mula kami menanjak kearah kanan. Sampai pada satu titik kami berada di tebing, sebelah kanan bibir tebing. Dengan bantuan Senter kecil, setapak demi setapak kami rayapi bukit batu.
Di beberapa tempat, diantara batu-batu tempat kami menapak, dirapihkan sekedarnya, dan tidak jauh dari tempat itu seseorang menunggu dengan tempat uang sumbangan sekedarnya. Pemandangan ini mengingatkanku pada beberapa tempat ziarah di negeriku, yang dilakukan oleh para pengemis.
Dengan nafas yang sesak dan cucuran keringat, kami sampai juga pada titik puncak bukit batu ini. Dengan area yang sempit, tidak ada pegangan selain batu, dan ramainya pendaki malam itu, kalau tidak hati-hati kita bisa terpeleset. Istriku tak bisa menyembunyikan rasa waswasnya.
Dari puncak bukit batu ini kami bisa memandang temaram lampu kota disekitarnya, nun jauh dihadapan kami terlihat jelas temaram dari Mesjid yang maha besar, tempat arah dimana Sang Pemimpin abadi kami mengarahkan semua umatnya kearah itu.
Bukit yang tampak jelas terlihat berupa batu-batu yang menjulang tanpa ada pohon-pohon disekitarnya.
Walau aku sudah terbiasa mendaki gunung di negeriku, melihat bukit batu terjal itu, tak mampu menjawab tanyaku, tanya pada diriku sendiri, mampukah aku mendakinya ? Terlebih dalam panasnya siang bolong, tanpa pohon peneduh..!
Beberapa hari kemudian, aku diajak bergabung dengan rombongan yang akan mendaki bukit itu. Tanpa pikir panjang, aku putuskan bergabung untuk mendaki bukit batu tersebut.
Istri, yang tidak banyak pengalaman mendaki, diajak juga. Jadilah ini adalah pendakian gunung pertama dengan istri.
Sungguh ia mau mendaki, walaupun bukan hobbynya, karena pendakian kali ini bukan hanya sekedar melampiaskan kenikmatan mengejar Matahari Terbit dari puncak gunung yang biasa aku lakukan di negeri sendiri. Tapi pendakian ini jauh, ..jauh ....jauh yang akan kami capai. Bukan hanya perjalanan fisik, tetapi perjalanan bathin, menguak sejarah masa lalu, merenungi kekuasaanNya dan keteladanan serta perjuangan pemimpin kami yang abadi.!
Pendakian ini juga merupakan pendakian di negeri orang, yang jauh dari tanah air.
Jelang tengah malam, deru mesin mobil yang kami sewa dan angin malam gurun menjadi teman perjalanan malam itu.
Tidak sampai satu jam perjalanan sejak kami meninggalkan tempat penginapan kami, kendaraan sudah sampai diujung kawasan pemukiman yang malam itu sepi.
Kami turun dari kendaraan, angin malam terasa dingin menusuk. Aku kenakan jaket tebal serta slayer dileher.
Diujung kawasan pemukiman itu jalan mulai menanjak. Dikiri kanan kini kami lewati area terbuka.
Entah sampah dari para pendaki atau dari penduduk setempat, banyak sampah diantara batu-batu, dan bau pesing menusuk hidung kami.
Jalan semakin menanjak, dan berujung pada jalan setapak (single track) yang berupa batu-batu. Dikiri kanan tidak ada yang bisa dijadikan pegangan tangan. Mula-mula kami menanjak kearah kanan. Sampai pada satu titik kami berada di tebing, sebelah kanan bibir tebing. Dengan bantuan Senter kecil, setapak demi setapak kami rayapi bukit batu.
Di beberapa tempat, diantara batu-batu tempat kami menapak, dirapihkan sekedarnya, dan tidak jauh dari tempat itu seseorang menunggu dengan tempat uang sumbangan sekedarnya. Pemandangan ini mengingatkanku pada beberapa tempat ziarah di negeriku, yang dilakukan oleh para pengemis.
Dengan nafas yang sesak dan cucuran keringat, kami sampai juga pada titik puncak bukit batu ini. Dengan area yang sempit, tidak ada pegangan selain batu, dan ramainya pendaki malam itu, kalau tidak hati-hati kita bisa terpeleset. Istriku tak bisa menyembunyikan rasa waswasnya.
Dari puncak bukit batu ini kami bisa memandang temaram lampu kota disekitarnya, nun jauh dihadapan kami terlihat jelas temaram dari Mesjid yang maha besar, tempat arah dimana Sang Pemimpin abadi kami mengarahkan semua umatnya kearah itu.
Sayang, ulah-ulah tangan manusia mengotori tempat yang bersejarah ini. Tulisan-tulisan dengan cat di batu-batu banyak ditemukan. Dan yang lebih menyedihkan, tampaknya tulisan grafiti ini banyak yang dilakukan oleh orang-orang dari negeriku, Indonesia...!!!
Di puncak bukit itu, angin malam gurun yang dingin semakin terasa menerpa kulit, menembus tubuh, menusuk tukang.
Jalan selanjutnya menurun, namun curam sekali tanpa ada pegangan tangan.
Kami harus hati-hati. Disamping kiri kami pada jalan yang curam itu terdapat batu yang rata dan sedikit luas untuk berdiri bebas. Namun tetap was-was karena berada dipinggir tebing, tanpa pegangan.!
Aku berdiri dibatu itu, berlatar kerlap kerlip lampu kota dan temaramnya cahaya lampu Mesjid yang maha besar.
Adzan Subuh berkumndang, di "sekengkal tempat batu yang rata" di tebing itu, dan dengan hembusan angin gurun yang dingin, kulaksanakan Sholat Subuhku pagi itu.
Kuturuni jalan selanjutnya, semakin curam dan sempit., membelok ke kanan dan benar-benar sempit. Kami harus melalui lorong yang terbentuk antara batu-batu.
Karena tidak memungkinkan berdiri, kami harus berjalan merayap, karena lorong itu hanya pas buat tubuh kami...!!
Diujung lorong itu barulah kami bisa berdiri kembali, dan kami hanya bisa berdiri. Diujung jalan yang sempit ini, sebelah kanan kami batu bertumpuk membentuk lorong yang hanya beberapa meter panjangnya.
Bagian depannya cukup untuk kita berdiri merunduk. Ruangan lorong berbentuk seperti segitiga, semakin kedalam lorong itu semakin menyempit dan gelap......!!!
Disinilah Ia, berabad yang lalu, pemimpin abadi kami, seorang tauladan, mendapat petunjuk dan perintahNya .
Bacalah....!!! Aku terhanyut dalam dingin malam, hening malam dan rasa syukur, Allah SWT berikan aku waktu, kesehatan, rizki sehingga aku bisa berdiri di bukit ini, disini, di gua ini !
Merenungi perjuangan Pemimpin abadi kami, seorang pria pilihan, seorang tauladan, seorang pembawa amanah, seorang utusanNya yang maha sabar, seorang yang telah menyatukan semua umat untuk sujud kearah kiblat, dimana temaramnya kusaksikan dari puncak bukit ini, dimana rumahNya berdiri abadi.
(Aku tertunduk, hanyut membaca ayat-ayat alamNya)
Gua Hira, 1425 H
(Momon S. Maderoni)
(Momon S. Maderoni)
Subhanallah......, saya hanya dapat kaki bukitnya...... tapi untuk grafitti itu memang peradaban manusia tertua yang ke tiga mas. Biarlah mereka menulis, minimal waktu disana mereka ingat bahwa tempat tersebut adalah tempat pertama kali kita diperintahkan oleh Allah Swt, untuk membaca Al Qur'an serta ayat2 khauniyah di alam, melalui Rasulullah Muhammad Saw
ReplyDeleteassalamu alaikum, ngiring bingah salira tos tiasa nyukcruk laku-lampah nabi Muhammad SAW, teu can tangtu bisa dilakonan ku balarea...teruslah berpetualang dan menulis, alangkah baiknya kelak disatukan dalam sebuah buku. salam buat teteh....call me at 62858 6802 3977 or 62812 2784 1416.....nuhun....
ReplyDeleteTerima kasih Pak Achmad Nugroho. Saya sedih, prihatin kalau melihat tulisan-tulisan (grafiti) itu. Jangankan di tempat bersejarah, di tempat wisata umumpun sangat mengganggu dan mengotori. Mungkin ini bagian dari culture kita ? Mudah-mudahan bukan !
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteTerima kasih Kang. Alhamdulillah Allah SWT maparinan kesempatan ke sana. Semoga masih diberikan kesehatan, umur dan rizki, InsyaAllah masih berniat apruk-aprukan di alam.
ReplyDeleteInsyaAllah bila kumpulan tulisan ini bermanfaat dan layak dikumpulkan dalam satu buku. Setidaknya buat bekal pengantar lelap anak-anak dan cucu-cucu nantinya.