Matahari hampir di ujung ubun-ubunku ketika aku turun dari mobil Jip di halaman Kasepuhan Adat Banten Kidul Ciptagelar.
Masyarakat Kasepuhan Banten Kidul yang bermukim di Ciptagelar adalah masyarakat suku Sunda yang masih memegang teguh adat istiadat leluhur, baik dalam kehidupan keseharian maupun pemerintahan adatnya.
Masyarakat tradisional Kasepuhan Banten Kidul konon berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tahun 1992 oleh Kusnaka Adimihardja, berjudul , “Kasepuhan Yang Tumbuh Di Atas Yang Luhur” , dan pengakuan penduduk sendiri, masyarakat ini mempunyai keterikatan sejarah dengan Kerajaan Sunda yang sangat terkenal dalam sejarah tanah (tatar) Priangan, yakni Kerajaan Pajajaran, yang dipimpin oleh Raja Prabu Siliwangi.
Senjata Pisau Kujang yang ada di Kasepuhan Ciptagelar diwarisi turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya melalui masing-masing Sesepuh Girang, sebagai tanda atau simbol pemimpin Masyarakat Kasepuhan Banten Kidul.
Masyarakat ini telah mengalami 10 generasi yang dipimpin oleh pemimpin adat (Sesepuh Girang, biasa disebut Abah) yang turun temurun. Bahkan konon sebenarnya yang sekarang yang dipimpin oleh Aban Anom adalah generasi ke 13, namun 3 Sesepuh Girang sebelumnya tidak tercatat tahun dan masa kepemimpinannya.
Kampung Ciptagelar berada diketinggian 1200 meter dari dari permukaan laut, dan berada dikelilingi hutan Taman Nasional Gunung Halimun, keadaan inilah yang menjadi isnpirasi judul buku yang kutulis tentang masyarakat ini : “Ciptagelar Kasepuhan Berpagar Hutan.”.
Kasepuhan Adat yang telah berumur lebih dari 650 tahun itu, setelah berpindah-pindah, kini berada di Cipta Gelar yang dipimpin oleh pemimpin adat Abah Anom.
Setelah lk 7 jam perjalanan dari Jakarta, menempuh kemacetan disekitar Pasar Cicurug dan melewati jalan hutan dipinggir jurang, dalam kawasan Taman Nasionl itu, akhirnya aku sampai juga di halaman Kasepuhan Ciptagelar.
Abah Anom menyambut hangat, hampir dua tahun setelah acara Seren taun yang kusaksikan sebelumnya aku tidak bertemu.
Senja Terakhir, Pertemuan Terakhirku Dengan Abah Anom
Setelah mengutarakan kedatangan kami, bahwa kami hanya bersilaturahmi dan ingin menyerahkan perlengkapan serta buku-buku untuk Mushola yang telah dibangun oleh salah satu rekan kami sebelumnya.
Sudut perkampungan Ciptagelar
Usai berbincang, kami dipersilahkan makan siang yang telah disediakan di ruangan makan khusus keluarga. Biasanya semua tamu selalu disediakan makan di Imah Gede, dimana makanan akan tersedia selama siang malam, terutama untuk makan nasi, karena salah satu adat mereka adalah tidak menjual belikan Beras maupun Nasi. Sehingga bagi semua pengunjung, siang dan malam, untuk makan selalu disediakan di Imah Gede.
Masyarakat Kasepuhan Banten Kidul adalah masyarakat adat, yang walau resmi menganut agama Islam, namun tuntunan kehidupan adat lebih dominan. Namun demikian, Abah Anom sangat memberi kebebasan untuk warganya bahkan keluarganya (termasuk anaknya yang paling kecil, seorang anak perempuan) untuk ikut belajar mengaji di Mushola tersebut. Seorang perempuan yang tadinya berasal dai masyarakat pinggir rel kereta Statsiun Senen , Jakarta, mengabdi sebagai voluntir, menjadi Utadzah di Mushola tersebut.
Penyematan Ikat Kepala, tanda Kekerabatan
Diawali oleh suara bacaan Ayat Suci Alqur’an dari satu CD yang kami bawa, kemudain terdengarlah suara Azan memanggil UmatNya untuk menghadap, bertunduk, bersujud dan bersyukur padNya.
Maka, jadilah itu suara Azan pertama yang terdengar, yang disuarakan menggema dari Mushola kecil dari sudut halaman Kasepuhan itu.....!
Sebelum Azan selesai, beberapa warga terlihat dengan setengah heran, memandang Mushola dan lingkungan Kasepuhan.
Usai Azan., Anak-anak yang kecil yang sedang mengaji (termasuk anak bungsu Abah Anam) berjamaah Sholat Duhur bersamaku siang itu.
Dalam obrolan petang di teras Rurukan itu, Abah Anom mengatakan kembali ketidak beratannya untuk warganya mempelajari Islam.
Petang itu aku mengobrol santai, lepas dan tidak ada suasana formal pun. Ia sempat menyampaikan bahwa terpaksa tiap hari harus menyediakan daging ayam untuk seekeor Elang yang tiap pagi datang. Dan Elang itu adalah burung Elang anakku yang aku bawa dari Jakarta (hadiah) dan aku lepaskan bersama Abah Anom di hutan antara kampung Ciptarasa - Ciptagelar, saat Abah Anom memberikan kesempatan pertama untuk kami mencoba offroad di jalan yang dia bangun bersama warganya (sebelumnya jalan itu hanya jalan setapak, dan hanya bisa untuk jalan kaki dan motor trail).
Ia masih ingat tentang draf bahan Buku yang aku tulis, yang pernah dia tanda tangani di bahan lembaran pertamanya.
Sesekali obrolan kami terselingi oleh warga kampung yang datang meminta petunjuk dari Abah Anom.
Senja itu aku banyak mendapat kesempatan untuk berbincang tentang adat, pandangan hidup, agama sampai pada hobby.
Penulisan Pesan Pada Naskah Asli Buku ku : Ciptagelar Kasepuhan Berpagar Hutan.
Aku jadi teringat saat kedatangan pertamaku , naik motor ke kampung ini. Waktu itu aku datang lepas tengah hari dari arah Parungkuda, lewat Kampung Cipeuteuy, masuk hutan sepanjang 17 km melalui jalan alam (jalan tanah).
Ketika dia tahu aku pakai motor, dia bilang bahwa dia juga senang naik motor trail. Dia biasa jalani antara Cipta Gelar – Ciptarasa dalam waktu 30 menit saja, tanpa kaki harus menginjak tanah..!! (Saat aku coba masuk trek itu, sebelum dilebarkan seperti sekarang, ehh.....4 jam lebih..!!!)
Udara cerah, angin semilir, langit biru diatas hamparan huma / ladang, atap-atap rumah dari rumbia, leuit (lumbung padi) yang berderet-deret, dilatari punggungan bukit-bukit dan hutan seolah memagari kampung Ciptagelar.
Saat Matahari semakin condong ke barat, usai Ashar, kami pamit untuk pulang kembali ke Jakarta. Ema (sebutan untuk istri Abah), seperti biasa, ia melepas kami dengan oleh –oleh makanan khas dan beras merah.
Perjalanan Pertamaku Bertemu Abah Anom
Suatu pagi, jelang Sholat Subuhku, aku menerima sms, bahwa Abah Anom telah menghadap kepada Sang Khaliq. Setengah tidak percaya, karena selama ini tidak pernah terdengar ia sakit, saya langsung menghubungi rekan tersebut.
Dan rekan tersebut menyampaikan benarnya khabar itu. (Malam itu, rekan kami itu bermalam di Ciptagelar, dan berincang dengan Abah Anom sampai ia pamit untuk tidur)
Aku terkenang akan obrolan petang itu, penuh kekeluargaan, penuh kehangatan, sarat tentang makna hidup, pandangan hidup, dan tuntunan hidup darinya. Tak kusangka, itulah senja terakhirku , pertemuan akhirku bersama Abah Anom. Inalillahi Wa Inaillaihi Roji’un..
( Momon S. Maderoni )
Kangen..pengin ke sana lagi..makan nasi beras merahnya.
ReplyDeleteYuk, kapan-kapan rekan-rekan jalang bareng. Bermalam disana. menikamati alamnya, kehidupan warganya, mengenal budayanya.
ReplyDeleteBeras merah, labuh, dodol, raginang, sederat makanan yang biasa dijadikan oleh-oleh oleh Ema.
Knapa aku bisa terdampar di sini...
ReplyDeleteBagus sekali Kang Blognya....
Salam
Boedi P one VUY Depok
Terima kasih Mas Boedi atas "terdamparnya" disini. Mudah-mudahan khabarnya sehat. Kapan-kapan kita mengadakan reuni teman-teman yang suka "keluyuran di alam bebas". Ingat Mas Boedi, ingat kegiatan SAR !
ReplyDeleteTerima kasih,
Momon S. Maderoni - ycobdy