
Aku sibakan pintu tendaku, Subhanallah ! Di depanku terbentang lukisanNya yang indah.
Alam adalah Guru tertua Manusia. Dalam perjalanan menjelajahnya, Tuhan menunjukan ayat-ayat kehidupan dan ayat alam yang nyata. Sebagai tanda kebesaranNya maupun potret pelajaran hidup dan kehidupan, yang menjadi bahan perenunganku yang layak diambil maknanya. Semoga catatan perjalanan hidup dan kehidupan " rumah kata " ini bermanfaat untuk sesama. (Momon S. Maderoni)
Route Pendakian Gunung Gede Pangrango
Anggrek hutan pada batang pohon, kini langka tertemukan, pada tatap tengadahku. Hei burung-burung, pada titik pertigaan dimana dulu kita sering bersua, mengapa engkau tak menyambutku ? Tak betahkah engkau disini ? Dimana rimbun dan jumpa pagi menyatu membuka hari ?
Shelter pertama masih kokoh, tempat dimana ia memeluk rapat aku dalam lelah pendakianku.
Telaga ? Ah...engkau masih seperti dulu, diam, sunyi, dan wangi mistis ditepimu !
Ada sisa-sisa jembatan disisimu, mungkin agar kami bisa meraksuk masuk menyisir mistismu. Dan....air bening masih mengalir disini, walau iramanya tak sederu dulu. Pada parit-parit kecil, beningnya menghiasi samar-samar bebatuan di dasarnya, meninggalkan lukisan alam pada bathin-bathin para pendaki, mengalir dingin. Mengalirlah pada kerongkongan kami, mengusir nafas-nafas lelah dan dahaga.
Rimbun Terlindung, di Ceruk Lembah
Buih putih, dan irama air yang mengalir pada sungai kecil, melepaskanku diujung Rawa Panyangcangan. Shelter Panyangcangan menyambutku dengan riuh canda para pendaki. Pertigaan jalan setapak, antara tebing dan lembah di Panyancangan mengingatkanku akan canda-canda ceria kala muda, dengan nafas yang berbaur mengembus kabut. Saat nafas keluar, Mulut-mulut kami seperti sedang mengeluarkan asap !
Kuhempaskan lelah dibawah Shelter. Tatap mata pada bening dan percik air, sambil menikmati nikmatnya makan siang, suap demi suap kupenuhi demi sejengkal perut yang menagih.
Kususuri jalan licin berbatu, pada rimbun dilembah yang masih seperti dulu. Pada air terjun kedua, kutengadah pada pusat jatuhnya air. Sinar mentari siang, membentur tepi tebing, disela pucuk pohon.
Air Terjun Cibeureum II
Kakiku gemetar ketika turun menuju Air Terjun ketiga. Suasana terasa senyap, air bening mengalir pada kali-kali kecil, melewati batu-batu kecil, membelah area terbuka tempat berkemah. Pada sudut yang menyempit, dinding-dinding tebing berlatar hijaunya daun, air yang jatuh membuyar, menutupi ceruk tebing, seperti kabut yang tak kenal henti !
Cipratan airnya menyadarkanku akan kekerdilan hidup. Menerawang pada jejak langkah 51 tahun didunia. Ah... mungkinkah ini kali terakhir aku menyapamu , Cibeureum. ?
Air Terjun Cibeureum III
Langkah-langkah kaki yang lelah, pasrah pada usia, kususuri jalan kembali, menuju Cibodas.
Kantor PHPA Taman Nasioanal Gn. Gede Pangrango Kantor PHPA (Perlindungan danPelestarian Alam) Taman Nasional Gn. Gede Pangrango
Di pintu Cibodas, kutatap kembali puncak-puncak Gunung Gede dan Pangrango. Meninggalkan tanya yang tak terjawab : Akankah aku larut dalam dinginnya kabut dipuncakmu ? Seperti dulu.
Dalam peluk dingin kabutmu, luluhlah keangkuhanku !
( Momon S. Maderoni )