Damai alam di Camp Leakey :
Waktu menunjukan pk. 14. 40, dua orang Petugas dengan menggendong
makanan berupa Pisang datang sambil meneriakan “Auuuuu”, memanggil Orang Utan
untukmakan.
Dari berbagai arah Orang Utan datang, ada yang sendiri da
ada pula yang menggedong bayi nya. Tidak seperti di camp lainnya, disini beberapa
orang utan bisa makan bersama. Bahkan seekor Wauwau, monyet kecil, beralis putih, yang lucu, ikut nimbrung sambil loncat
kiri kanan, tetap waspada, iapun mengambil sejumlah pisang lalau bertengger di
suatu dahan.
Ia berulang kalii datang dan kemudian lari, manjat pohon
sambil membawa Pisang. Gerakannya menjadi
atraksi alam yang mengasyikan.
Monyet ekor panjang dan Babi Hutan ikut nimbrung makan siang.
Tiba-tiba dari belakang kami, sama sekali tak menghiraukan keberadaan kami,
seekor Orang Utan dengan menggendomg anaknya nyelonong datang dan langsung
mengambil Pisang. Sambil tetap melihat situasai aman di panggung tempat Pisang
terkumpul, ia mengambil sejumlah Pisang .
Mulutnya dipenuhi pula oleh pisang, iapun kembali berjalan ke rerimbunan
pohon.
Kasih Ibu.
Seekor anak Orang Utan yang sudah cukup besar, bermain-main
menggelantung dari pohon ke pohon sambil menunggu induknya mengambil pisang.
Sesekali ia nungging, dan ...cooorrr, iapun kecing tanpa peduli kami yang ada
di bawahnya.!
Kamipun menyambutnya dengan tertawa sambil menghindar dari cucuran
hujan buatannya. Sungguh satu atraksi alam ditengah kedamaian “persahabatan”
kami dengan penghuni Camp Leakey ini.
Tingkah Lucu si anak Orang Utan.
Para Petugas kembali berteriak “ aauuuuwwwwww “, memanggil Orang Utan lainnya. Rasa penasaran kamii
untuk melihat si Raja, Tom muncul di hadapan kami.
Dengan sabar kami menunggu sambil mengamati yang lainnya bergelantungan
dari pohon ke pohon.
Matahari semakin condong ke barat, kami masih Sabar menunggu
kehaduran si Tom. Namun lama kami menunggu, belum juga hadir si raja itu.
Tidak begitu lama, Petugas mengisyaratkan kami agar jangan
berisik. Tidak begitu lama dari belakang kami seekor Orang Utan yan sudah tua,
kurus, menggendong anaknya datang. Berjalan
menerobos kerumunan kami , sama sekali acuh terhadap kemurumaman kami. Jalannya
sudah agak terseok. Ia langsung memanjat panggung tempat pisang diletakan.
Sementara Orang Utan yang lainnya menyinkir turun.
Sejenak ia mengambil Wadah Susu, dan meminum sisa-sisa susu
yang masih ada. Anaknya seperti ketakutan, erat memeluk punggung induknya.
Orang Utan yang sudah tua renta da kurus ini adalah Ibu si
Tom, si raja Camp Leakey yang ditakuti dan dihormati.
Ibu Si Tom, kurus dan tua.
Si Raja yang Legendaris, Kosasih :
Setiap geneerasi dalam lingkungan Orang Utan, ada seorang Raja nya. Dia berbadan besar, kuat, tak terkalahkan oleh yang lainnya, dan mempunya pasangan betina yang banyak.
Sebelum Si Tom berkuasa, Raja yang kauat dan Legendaris di Wilayah Camp Leakey adalah Kosasih.
Berbadan besar, kuat, bermuka menyeramkan.
Kosasih dengan muka seramnya.
Lama si Tom ditunggu tidak muncul, namun tak juga datang. Hari semakin mendekati senja, kamipun segera
pulang menuju Perahu, karean atraksi alam sepanjang perjalnan pulang menunggu.
Jalan pulang kami tidak melalui jalan setapak sebelumnya,
tetapi jalan yang memang disediakan untuk pengunjung. Jalannya lebih jelas,
lebar, diantara rerimbunan dan melewati hamparan tanman perdu.
Monyet dan Babi hutan dengan jinaknya tak menghiraukan
kehadiran kami di sepanjang jalan pulang itu.
Rimbun terlindung,hamparan tanaman Pakis Hutan diantara rimbunnya hutan.
Sesampainya di dermaga, si Siswi menyambut. Ia dengan manja
tiduran. Elusan tangan kami membuat ia semakin manja. Sebuah keakraan sesama
mahluk Tuhan di tengah kedamaian alam.
Manjanya si Siswi.
Usai Ashar, Perahu kembali menyusuri Sungai Sekonyer, menuju
pulang. Angin meniup pohon-pohon, Perahu dengan tenang menyusuri sungai yang
sempit. Air sungai yang bening, menarik untuk direnangi. Tapi sayang karena
sudah beberapa pengunjung yang berenang menjadi santapan Buaya, maka kini tak
diperbolehkan lagi berenang di sungai ini.
Hasrat ingin menyentuh airnya dan mengguyur tubuh dengan
airnya sore itu begutu kuat. Iwan, sang
asisiten Kampten kapal mengambil air dan mengumpulkan di bak kamar mandi. Sore
itu aku tuntasakan hasrat mengguyurkan air sungai Sekonyer ke tubuhku, mandi.
Danau Buaya kami lewati. Tak lama dari Danau itu kami sampai petigaan, petemuan dua sungai yang
airnya berbeda warna. Air sungai disisi kaknan kamki berwaran coklat, keruh, karena
polusi Pertambangan Emas liar di hulu sungainya.
Air dari sungai yang
kami lalui, bening karena dari alam yang masih terjaga keasriannya. Tidakah
manusia berfikir akan hal ini ?
Si Hidung Panjang, di ujung senja
Matahari semakin jatuh ke barat. Waktu berbagai binatang
untuk kembali ke sarangnya. Sepanjang kiri kanan sungai telihat atraksi
berbagai binatang yang kembali ke sarangnya.
Di sauatu tempat, sang asisiten Kapten Perahu yang menguasai
berbagai jenis Burung berteriak : “ tuh...tuh tuh...burung langka” sambil tangannya
menunjuka ke dua ekor burung yang bertengger di pucuk pohon tua yang sdh tidak
berdaun. Sambil ia langsung menjelaskan jenis burung tersebut.
Jelang senja, saat berbagai binatang kembali ke kandang alamnya.
Di tepi sungai lainnya, segerombolan monyet Hidung panjang,
yang khas hidup di daerah ini belompatan diantara Pohon, berebut tempat
bermalam. Monyet-monyet kecil memenuhi hampir setiap dahan pohon.
Perahu kami berjalan tenang, matahari semakin akan
meninggalkan cakrawala, meninggalkan semburat langit kemerahan. Semburatnya jatuh di permukaan air sungai, bagai
kaca ia memantulkannya, sungguh menjadikan lukisan indah goresan sang Pencipta.
( Sambil merenung diri, sampai kapan aku akan
menyaksikan keindahan ini ? ).
Semburat merah langit semakin hilang, gelap, hitam
menggantikan. Sungai sepi, hanya suara mesin perahu dan ombak kecil yang
terdengar. Lampu-lampu kapal dinyalakan.
Sisa purnama samar-samar mulai terlihat.
Di suatu temat terlihat satu Perahu yang ditumpangai empat
orang Kakek-kakek dari Belanda ya g bertemu kemarin, berhenti di tepi sungai
yang gelap itu.
Kiri akan sungai didominasi Pohon Pnadan hutan, tanaman khas
yang tumbuh di muara sungai, menjelang laut.
Tiba-tiba Sang Kapten perahu memperlambat laju perahu.
Perahu menepi ke arah sisi kanan sungai. Dengan sigap asisten perahu menambatkan
tambang perahu di pohon Pandan yang kuat.
Lampu perahu dipadamkan, gelap.
Wah... Perahu mogok, pikirku.
Belum rasa kepenasaran itu terjawab, guide kami, Dede,
muncul :
“ Lihat itu di pohon-pohon “ sambil menunjuk ke sisi kanan
kami.
Subhanallah, Pohon –pohon n=itu berkilauan, dipenuhi oleh
ribuan Kunang-kunang !!!
Ditengah kegelapan, kehening alam, suatu keindahan alam yang
mempesona, sajian Yang Maha Pencipta !
Masih dalam kekaguman melihat keindahan cahaya
kunang-kunang, Si Bibi Iyot muncul
diikuti guide dan kapten kapal, membawa beberapa piring masakan.
“ Mari makan malam “ , sambil menuju ke bagian belakang Perahu, diatas meja berpenerangan Lilin.
Sambil menikmati makan malam yang lezat, ditengah kegelapan
malam yang hanya berpenerang cahaya Lilin, sambil menyaksikan ribuan cahaya
kelap-kelip Kunang-kunang, jadilah malam itu menjadi Candlelight Dinner yang
tiada tara nikmat, indah dan berkesan.
Menambah lengkap kenikamatan keindahan perjalanan menembus
Amazon nya Indonesia, sisa hutan dan alam pedalaman Pulau terbesar negeri ini, Borneo.....
( terbersit rasa khawatir, ditengah kepungan keangkuhan dan keserakahan nafsu perusakan alam, sampai kapan kedamaian alam negeri ini akan lestari ? )....