Thursday, February 6, 2014

MENEMBUS AMAZON INDONESIA ( I )



 MENIKMATI “SISA” KEINDAHAN ALAM BORNEO.

Kantuk masih terasa menyerang saat Pemilik Kapal  menjemput di Hotel.  Malam sebelumnya,badan terantuk - antuk goncangan Mobil menembus hutan dan hamparan kebun Kelapa Sawit melalui jalan tanah dari Manis Mata melalui desa Jihing menuju Pangkalan Bun.
Tukang masak, Guide, Nakhoda, teknisi mesin sibuk menyiapkan perbekalan dan perlengkapan perjalanan saat kami naik ke Kapal Klotok yang berukuruan  besar bagi kami yang hanya berpenumpang bertiga, saya, Rinjani anak perempuan kami dan Krakatau anak lelaki kami.
Pk. 09.30 pagi, Perahu  yang dilambungnya terpampang nama Dolphin itu meninggalkan Pantai Kumai, Pangkalan Bun, menuju muara sungai Sekonyer.
Pintu masuk, muara  Sungai Sekonyer

Lonen Konyer yang tenggelam :
Sungai yang konon awalnya bernama Sungai Buaya, namun karena Kapal Belanda yang bernama Lonen Konyer berhasil ditembak meriam pasukan Indonesia dan tenggelam di muara sungai itu, maka berubah namanya menjadi Sungai Konyer.
Hanya beberapa saat saja, kami sudah sampai di, muara sungai Konyer itu, yang juga merupakan pintu  masuk Taman Nasional Tanjung Puting.
Sebuah tugu di sudut muara dengan patung Orang Utan sebagai primadona Taman Nasional itu berdiri tegak menyambut kami.
Rinjani dan Krakatau menikmati makan siang.

Jelang beberapa saat menyusuri sungai, si bibi Iyot juru masak, menghidangkan makan siang yang lezat, dinikmati sambil menikmati gayang-goyangan halus ombak kapal.
Bi Iyot, Juru Masak sedang bertugas di Dapur Perahu.

Sisa kantuk semalaman kulepaskan di kasur tipis yang ada di geladak depan Perahu. Sesekali terdengar asisten Kapten Perahu, Pak  Iman menjelaskan ttg obyek alam yang menarik di Taman Nasional ini ke anaku, Krakatau.
 
Saat matahari melintas ubun-ubun, Pak Ade, guide kami memberi tahu bahwa sebentar lagi Perahu tambat di Pos I.

Pos I,  Tanjung Harapan :
Kapal Dolphin  yang disenangi oleh Nicolas Saputra bila berkunjung ke Taman Nasional  ini pelan-pelan merapat di dermaga Pos I.
POS I, Camp Tanjung Harapan, tak terawat.

Kami turun diantar oleh Pak Iman yang sangat menguasai tentang flora dan fauna ini, berkeliling di Posi I.
Sayang berbagai sarana dari bangunan sampai kebun Koleksi Kebun Angrek yang ada di lokasi tersebut terkesan tidak terawat.
Ditengah Koleksi Tanaman Anggrek.

Kami sandar di Dermaga ini menunggu saat waktunya pemberian makan orang Utan, yang biasa dilakukan jam 3 sore.
Sambil mengisi waktu menunggu saat nya Orang Utan turun,  sungguh nikmat menikmati Sungai yang berair coklat ini.
Berseberangan dengan POS I, terdapat kampung yg dihuni tidak lebih dari 50 KK. Dua anak kampung itu sambil bercanda riang mengayuh melawan arus air dengan sampannya.
                  Waktu luang anak kampung.

Sabar, menunggu Orang Utan :
Jelang pk. 2 siang, 3 kapal lain yang semuanya membawa Turis Asing merapat di dermaga yang sama.
Setengah jam kemudian, kami bersama sama, melalui jalan setapak,  masuk ke hutan menuju tempat pemberian  makan Orang Utan yang jaraknya lebih kurang 600 meter dari dermaga.
Wisatawan Jerman

Kami berjalan beriringan di tengah rimbun hutan. Diujung jalan setapak, sepetak tanah sedikit terbuka, di kelilingi tempat duduk dari kayu. Bagai sebuah “panggung” sederhana, terbuat dari kayu, menempel ke Pohon kering yang menjadi  “jalan” bagi Orang Utan untuk menggapai makanan yang disajikan Petugas di atas “panggung” kayu tadi.

Waktu menunjukan pk. 3 sore, ketika Petugas memanggil dengan teriakan “auuuuuuuu”. 
Tidak lama, pucuk pohon di sebelah kanan kami bergoyang, Seekor Orang Utan betina satu tangannya berusaha menggapai ujung pohon, berusaha mendekat ke tempat makanan yang tersedia, sementara tangan lainnya memeluk anaknya yang masih kecil.

Dari ujung pohon ke ujung pohon, akhirnya sampai ke pohon yang dibawahnya tersedia “panggung makanan” itu. Iapun merayap lincah turun, sementara sang anak memeluk erat leher  induknya.
Orang Utan di Pos Tanjung Harapan.

Sampai di “panggung makanan” si Induk langsung mengambil Pisang yang tersedia. Tak cukup satu, dua, tiga, tapi lebih dari sepuluh pisang ia jejalkan di mulutnya, kemudian ia merayap naik. Sampai di dahan pohon yang aman, ia pun memberikan Pisang itu ke anaknya, sambil iapun makan. Kaih Ibu pada sang anak.

Orang Utan sifatnya hidupnya Soliter, tidak hidup berkelompok seperti monyet. Ia menyendiri, tidak bergerombol.
Karena itu, saat mengambil makanan yang disediakan petugas, mereka tidak datang bebarengan. Tetapi satu persatu. Yang lebih kuat, yang lebih dihormati lebih dulu.

Tidak begitu lama, datang Orang Utan lainnya dari sisi kiri dengan menggendong anaknya yang masih bayi.

Menyusul datang lagi seekor Orang Utan dengan anaknya yang juga masih kecil.
Ia berusaha mendekat ke pohon tempat turun ke panggung makanan. Tetapi si Orang Utan yang lebih dulu datang, masih bertengger. Bahkan ia kembali berulang ulang naik turun dengan membawa Pisang yang banyak tersumpal di mulutnya.  Alhasil Orang Utan itu yang baru datang hanya jadi penonton yang setia.!

Jalur Treking Tanjung Harapan - Camp Tanggui :
Jalan setapak dari Dermaga ke Tempat pemberian makanan yang kami lalui, terdapat persimpangan yang merupakan jalur untuk Treking. Perjalanan treking  yang lebih menguras tenaga dan mental untuk menempuh sepanjang 22 KM dari Tanjung Harapan ke Camp Tanggui.

Jalan setapak menembus rimbunnya hutan, dan ada daerah yang harus melintas air yang bila air sedang pasang setinggi paha orang dewasa. Tentu "kesulitan" ini tidak  seberapa buat orang-orang yang menginginkan kepuasan bathin  perjalanan dalam nuansa penjelajahan di alam yang masih asri.
Jalur Treking sep[anjang 22 KM, Tanjung Harapan - Camp Tanggui

Sekonyer yang kian tercemar :
Pk. 4.30 sore, kami sudah naik kembali ke Kapal kayu yang ternyata paling besar diantara Kapal lain yang datang. Kapal terbuat dari Kayu Ulin, yang konon pernah dipakai oleh Gitaris Queen, dan juga duta Orang Utan Indonesia, Angelina Sondakh, yang sekarang menikmati “kurungan” yang masih lebih nikmat dari “kurungan” Orang Utan di Kebun Binatang.

Kami menyusuri sungai semalkin kedalam, hutannya semakin rapat.
Air  sungai yang tadinya kecoklatan, kini berubah menjadi kehitaman. Konon ini akibat limbah Pertambangan Liar Emas di hulu sungai.
Bahkan konon, sungai ini pernah menbar aroma bau berbulan-bulan, karena ikannya dan binatang lainnya mati tercemar Limbah Kelapa Sawit, yang perkebunannya sekarang terhampar menyentuh Kawasan Taman Nasional.
Sungai Sekonyer yang mulai tercemar.

Kalau kawasan Kalimantan Timur dan Selatan ekosistemnya terancam kehadiran Pertambangan Batu Bara, maka Kerusakan Kalimntan Barat dan Tengah terancam dengan kehadiran Kebun Kelapa Sawit.

Menikmati senja, menikmati atraksi Satwa :
Senja hari adalah salah satu waktu penghuni  hutan untuk datang ke sarangnya. Berbagai jenis bianatang bersarang di tepian Sungai, karena mereka semua, membutuhkan air. Maka senja adalah waktun yang tepat menyaksikan atraksi mereka berulang kandang.

Bersyukur dan beruntung kami bisa menyaksikan jenis Elang Api  yang konon populasinya diseluruh dunia tinggal hanya lk. 300 ekor.!

Ia bertengger di ujung dahan Pohonnyang sudah tidak berdaun, bersiap istirahat menjelang malam.
 

Elang Api, hanya inggal 300 ekor di seluruh dunia.

Sambil berayun ayun di Hamock, yang dipasang dibagian tengah Perahu, aku  nikmati senja sambil melintas hutan yang semakin rapat.

Bersantai di atas Hamock.

Sisa Purnama diatas Sungai :
Jelang Maghrib Perahu kami merapat di Pos Tanggui.
 Sudah ada 2 Perahu lain yang sdh merapat lebih dahulu, membawa sepasang suami istri dari Perancis dan perahu lainnya membawa seorang warga negara Jerman.

Perahu kami tidak kebagian tempat merapat di Dermaga, sehingga tidak bisa turun dari Perahu.  Perahu yang ditumpangi suami istri warga Perancis rupanya sandar karena baling-balingnya lepas dan hilang. !

Setelah berusah mencari “tambatan” sandar, akhirnya Perahiu kami bisa merapat, walaupun tidak bisa langsung kami turun ke Dermaga kayu  (pintu asuk Pos Tanggui).
Mencari tambatan

Usai Maghrib, makanan malam hasil masakan Sang Koki, Bi Iyot tersaji di meja bagian Dek Belakang Perahu. 
Sayur kuah Ubi dan daging yang masih hangat menjadi makanan yang tepat di kelilingi suara alam diatas goncangan lembut arus air.Tiga lilin menemani terang makan malam kami, bagai acara Candlelight Dinner diatas perahu.
Candlelight Dinner di atas Perahu

Malam semakin merayap, suara-suara binatang malam menemani sunyi dan gelapnya hutan. Sekali terasa guncangan lembut dari ombak arus air Sungai Sekonyer.

Ketika kantuk belum datang, saat malam semakin pekat, “sisa purnama” menerobos sela dedaunan, menambah suasana alam malam yang indah.







Mencumbu pekatnya malam

Saat kantuk datang, sebuah tempat tidur di atas geladak depan Perahu telah rapi tersedia. Kelambu menutupi, mengahalangi Nyamuk hutan yang ingin datang bertandang.

Suara binatang malam, goyangan lembut ombak sungai, menghanyutkan kantuk ke mimpi-mimpi indah malam itu.
Terlelap dalam pelukan Kelambu

Sesekali terbangun ketika ada suara auman dan kemerosok ranting yang seperti terinjak Binatang malam.

Jelang Subuh,  terbangun, dalam samar mata yang baru terbuka, dihadapan kami, air sungai, bayang-bayang pohon di atas air, dan sisa purnama yang jatuh di air sungai, menjadi  lukisan Tuhan yang indah, pembuka  hari kami pagi itu.









Dalam keramahan dan keasrian alam, membangkitkan adrenalin menulis

Sesekali datang ombak menggoyangkan lambung Perahu, ketika Perahu-perahu kecil bermesin Speed Boat melaju cepat menuju Hulu sungai.  Mereka itu adalah para Pekerja Tambamg Emas Liar di Hulu Sungai yang kini mengancam eksosistem Taman Nasional Tanjung Puting.
Para Pekerja Tambang Emas Liar, ancaman Kelestarian.

Usai makan pagi, Perahu di tambatkan berdampingan dengan Perahu yang sudah datang sebelumnya,  agar kami bisa turun ke Dermaga Kayu, pintu masuk ke tempat pemberian makan (Feeding) Camp Tanggui ini.

Pemberian makan Orang Utan di Camp ini dlakukan setiap jam 9 pagi dan jam 3 sore hari.
 Jam masih menunjukan pk. 8.00. Kamipun mengisi waktu menunggu dengan ngobrol dan berkenalan dengan Wisatawan lain (dari Jerman dan Prancis) serta semua Crew perahunya.

Di pintu masuk yang merupakan jembatan kecil sepanjang Rawa itu ada Pohon yang tumbang, miring, yang dikhawatirkan akan jauh merusak Pos dan jembatan. Ramai ramai kami, memotongnya, karena hal ini jarang dilakukan oleh Petugas Taman Nasional, yang seharusnya menjadi kewajibannya untuk memelihara sarana yang ada.
Gotong Royong memotong Pohon yang menghalangi jalan

Menjelang kami bersiap-siap masuk ke dalam hutan, sebuah Perahu datang dengan 4 Kakek-kakek berkewarga negaraan Belanda datang, merapat di belakang Perahu kami.

Pk. 8.30 kami beranjak meninggalkan Perahu menuju tempat berkumpulnya Orang Utan untuk makan pagi.
Sebelum berangkat tak lupa membaluri tubuh kami degan Obat Oles Anti Nyamuk.

Jembatan kayu panjang menyeruak diantara rimbunnya pepohonan yang  membentuk lorong, melintasi rawa dengan air coklat kemerahan.
Konon kalau air pasang, maka kita harus menggunakan Sampan karena Jembatan kayu ini tergenang air.

Di ujung jembatan panjang kayu ini, terdapat pondokan  Petugas dengan Gajebo di bagian depannya, dimana semua pengunjung diminta mengisi Buku Tamu.

Selesai meniti Jembatan Kayu, kami turun ke tanah dan dilanjutkan menyusuri jalan setapak, menyeruak rimbunnya hutan.

Di satu lokasi di tepi jalan setapak ini ada tumpukan besi-besi yang di lingkari garis pita, Police Line. Konon ini adalah bekas tempat Kandang Orang Utan, yang dirusak dan hendak dijual oleh oknum Petugas, namun keburu di tangkap.

Tidak jauh dari bekas Kandang itu, pepohonan terbuka, dihadapan kita terhampar area yang hanya didominasi tanaman perdu, Pakis Hutan. Disini terdapat Pos Menara Pandang terbuat dari Kayu, untuk melihat area sekeliling hutan.
Dari menara ini kita bisa memandang bebas ke semua penjuru.
Menara Pandang Camp Tanggui.
Usai melintas area terbuka, kami memasuki area yang rapat kembali pepohonnya.
Hanya dalam hitungan puluhan meter, didepan kami terdapat tempat pemberian makan seperti yang kami temuai di Pos Tanjung Harapan.

Tidak begitu lama saat kami duduk duduk menunggu di bangku kayu panjang, usai Petugas meletakan tumpukan makanan berupa Pisang,  seekor Orang Utan dengan anaknya datang dari sisi kanan, langsung melahap Pisang dan susu yang tersedia di tempatnya.
 
Orang Utan Camp Tanggui

Usai yang satu kenyang, dia pergi, dan datang yang lainnya. Begitulah silih berganti, yang kuat dihormati dan ditakuti untuk lebih dulu menyantap makanan sampai kenyang, baru “para penakut”, rakyat yang setia menyusulnya.
Kami menonton mereka makan pagi.

Disini terdapat Orang Utan yang diberi nama Rika. Badannya cukup besar.
Puas melihat tingkah-tingkah mereka dari yang lucu sampai yang bermimik bengis, kami pulang dengan melihat-lihak pepohonan.
Disudut tempat ini terdapat banyak tanaman Kantong Semar, yang beberapa waktu lalu sempat in menjadi tanaman hias di rumah rumah mewah di kota.
Kantong Semar di Camp Tanggui.


Kantong semar yang alami ini, banyak tersebar, dari mulai yang terhampar di tanah, sampai yang menggantung di Pohon-pohon.

Menuju Ujung, Camp Leakey :
Hari menjelang Matahari diatas ubun-ubun  ketika  kami kembali ke Perahu.  Makan  siang  telah tersaji dengan pilihan minuman dingin dan hangat menyambut kedatangan kami, disajikan oleh oleh Juru mask kami, Bi Iyot.

Kami istirahat sejenak sambil makan siang. Dari pagi kami tidak mandi, bukan kami yang tak akrab dengan air sungai yang disediakan  di Perahu tersebut, tetapi karena air di Sungai itu konon sekarang sudah tercemar Mercuri dari Pertambngan Emas liar yang ada di hulu sungai tersebut.!
 
Lewat waktu Sholat Dhuhur, Perahu kami pelan-pelan melanjutkan perjalan meuju Camp paling Ujung di Taman Nasional ini, Camp Leakey.  Dinamai Leakey diambil dari salah satu nama peneliti Orang Utan disini.

Camp Leakey adalah camp penelitian Orang Utan yang disponsori oleh salah satu lembaga Internasional Orang Utan.

Sungai semakin menyempit, di beberapa tempat terdapat Pohon yang tumbang, sehingga Iman, sang Kapten Perahu kami,  harus hati-hati saat melewatinya.   
Mendekati Hulu, Sungai menyempit.

Konon beberapa waktu lalu, para pemilik Perahu bergotong royong untuk membersihkan pinggiran sungai, dan memotong kayu-kayu yang menghalangi jalan Perahu. Mereka mengundang juga pihak Pemerintah, Dinas Parawisata, da Pihak Taman Nasional, namun sayangnya mereka tidak datang di acara gotong royong tersebut.

Duduk diujung haluan Perahu, sambil mengamati keindahan dan kekayaan Folra dan Fauna yang ada. Sesekali burung burung yang sudah termasuk langka, terlihat bertengger di dahan dipinggir sungai. Orang Utan liar terlihat menggapai-gapai pangkal pohon Pandan sungai, dan memakannya.

Segerombolan Monyet Ekor Panjang dengan Hidungnya yang super mancung bergelayutan di pohon. Sungguh alam ini negeri yang kaya, dan bersuyukur kami bisa menikmatinya.
Damai senja, si hidung panjang.

Kami melalui Saung Pos Polisi yang kosong tidak ada Petugasnya, dan bangunan kayu diatas air sungai itu nampak rusak dibeberapa bagiannya. Nampak jelas tak pernah digunakan lagi.

Tidak begitu lama, diujung Sungai, sungai terbagi dua arah. Di pertigaan ini terdapat air sungai dua warna, coklat kotor  dan  hitam.

Air dari Sungai sebelah kiri warnya coklat kotor, dan inilah air akibat limbah tambang emas liar serta perkebunan Sawit.
Air sungai sebelah kanan terliihat Hitam, namun ternyata air ini bening. Warna hitam adalah pantulan hitam dari dasar Sungai yang di dominasi oleh daun-daunan yang busuk dan akar-akar pohon.

Perahu diarahkan menyusuri ke kanan, 6 KM lagi menuju Camp Leakey.  Sungai semakin sempit, sehingga ketika berpapasan dengan Speed Boat yang ditumpangi Petugas pun, kami harus saling mengalah mencari tempat yang memungkinkan berpapasan.

Terlihat pinggi sungai seoalah tidak berbatas, karena hampir seluruh pinggi sungai rata dan berupa rawa yang gelap oleh rerimbunan Pohon.  Maka tak heran kalau kawasan ini menjadi hunian yang menyenangkan bagi Buaya.

Airnya yang bersih, mengunfang untuk kita menceburkan diri.  Namun sudah beberzpa wisatawan menjadi santapan Buaya yang tiba-tiba muncul, maka kini dilarang untuk mandi di sungai tersebut.!

Hampir setengah perjalanan dari pertigaan sungai tadi, di sebelah kanan kami terhampar area terbuka. Inilah danau alami, dikelilingi hutan yang rapat, dan sungai di salah satu sisinya. Konon Niocolas Saputra, selebitris Indonesia tak penah absen kalau kesini bersenang-senang berperahu mengelilingi Danau ini
Danau Buaya,  di tengah hutan.

Hanya beberapa ratus meter saja dari Danau ini, kita akan sampai di Camp terujung di Taman Nasional Tanjung Puting ini, Camp Leakey.
Tempat penelitian Orang Utan yang dikenal di dunia.

Sungainya menyempit, namun dalam, rimbun pohon dikiri kanan menjadi payung keteduhan. 
Dolphin, Perahu kami menyibak rerimbunan jelang Camp Leakey

Hanya beberapa puluh menit saja dari Danau itu, kami sampai di Camp Leakey.
Pohon-pohon yang rapat  memayungi Sungai.  Mungkin ini lebihi tepat disebut Rawa dikiri kanan sungai ini. Airnya berwarna hitam karena pantulan dasar sungai yang hitam dari dedaunan yang gugur dan akar-akar pohon di dasar sungai.

Sebelum kami turun dari Kapal, sajian makan siang dengan Kepeting segar dan buah-buhan tersaji dibagian depan Perahu.
Rimbun pohon, bening air, sahutan kiacu burung, nyanyian dan lukisan alam menemani makan siang kami diatas kapal siang itu.
Makan siang, ditengah suasana alam yang menyegarkan.

Perahu kami berlabuh di Dermaga Kayu,  di pintu masuk Camp Leakey.
Dermaga kayu yang memanjang, lebar menyatu dengan jalan berupa jembatan kayu memanjang, menerobos rimbunnya hutan.
Jembatan kayu memanjang, diatas Rawa, menembus rerimbunan.

Ketika Manusia, Alam dan Hewan menyatu :
Seekor Orang Utan betina bernama Siswi menyambut kami di Dermaga. Konon sang betina yang sudah diambil (dioperasi) Rahimnya karena ada Kista. Siswi lebih bnayak bergaul dengan Manusia dari pada dengan golongannya di habitatnya.

Ia begitu bersahabat, bersalaman, makan roti dari bibir kita ke bibirnya, sampai Menyikat Gigi bisa dilakukannya.
Siswi menyikat gigi

Langit cerah, cahayanya menerobos sela dedaunan, jatuh di atas jembatan kayu yang kami lalui.
Sesekali terlihat beberapa petugas terlihat berjalan disekitar Camp yang dikelola oleh Lembaga Intersional Orang Utan ini.
Kami diingatkan  beberapa hal yang tidak boleh dilakukan di kawasan ini, yang dipajang di tempat tempat strategis.


Ujung jembatan kayu berujung di Pos Petugas, tempat kami meminta ijin masuk.  Beberapa bangunan kantor Petugas, Camp tempat tiggal para petugas.

Dijujung jalan menjelang jalan setapak ke tempat Feeding, sebuah bangunan dengan ruangan yang cukup luas. Bagai sebuah Musium, didalamnya terpajang beberapa Foto dan informasi tentang kawasan dan kegiatan Camp ini.

Seorang petugas wanita menyambut kami dengan ramah. Disatu sudut terpajang Fito si Kosasih, orang Utan yang telah menjadi Raja bertahun-tahun di kawasan ini.

Setiap periode ada Orang Utan yang dianggap Rajanya. Dia berbadan besar,  tidak ada yang mengalahkan kalau bertarung, dan mempunya sejumlah istri yang banyak.
Saat ini, Raja  Orang Utan di Camp Leakey ini adalah si Tom. Dan kami berharap, siang in bisa menjumpainya.

Sebagian besar Orang Utan disini sudah sangat dekat dengan manusia, sehingga kita bisa menyentuhnya dan merekapun dengan tanpa rasa takut datang ke kerumumann manusia yang datang akan melihatnya.  Dan merekapun  diantaranya sudah ada yang mampu melakukan aktifitas seperti manusia, seperti mengecat, mengggergaji,  bahkan mendayung Canoe. Hal ini tidak kita jumpai di camp lainnya.

Dari bangunan ini, ada 2 jalan setapak. Yang satu cukup lebar, dan tertata rapih. Satu jalan lainnya sebelah kiri bangunan merupakan benar benar jakan setapak, yang langsung masuk ke rapatnya hutan.
Pohon Kayu Ulin

Kami memilih jalan yang kedua, jalan yang jarang dilalui oleh pengunjung.  Jalannya kecil dan benar-benar masuk ke sela-sela Pohon. Konon jalan ini hanya biasa dilalui para Petugas.

Sepanjang jalan ini kami bisa menyaksikan berbagai jenis Pohon kayu, seperti Kayu Ulin, dan burung-burung, suasananya serasa jalan pendakian gunung yang biasa kami lakukan.
Jalan setapak di Camp Leakey yang biasa dilalui para Petugas Camp  menuju tempat makan
 Orang Utan.

Lumayan panjang jalan setapak ini, setidaknya membuat keringat kami bercucuran. Sesekali kami harus berhenti karena ada Burung yang bertenggger ditas dahan dengan warna bulunya yang indah.

Disatu tempat, jalan setapak kami dipenuhi akar pohon yang saling silang menyilang membuat formasi yang yang artistik, indah.
Formasi akar-akar pohon.

Di ujung jalan ini, kami sampai pada area yang terbuka, dan seekor Orang Utan tba-tiba menarik-narik tangan kami.  Disinilah Feeding Ground Camp Leakey.

Oarng utannnya sangat jinak dan terbiasa berinteraksi  dengan manusia. Manusia, alam dan hewan tanpa sekat, menyatu.!
Sambutan bersalaman dari Orang Utan di Camp Leakey.



 





No comments:

Post a Comment