MENIKMATI “SISA”
KEINDAHAN ALAM BORNEO.
Kantuk masih terasa menyerang saat Pemilik Kapal menjemput di Hotel. Malam sebelumnya,badan terantuk - antuk
goncangan Mobil menembus hutan dan hamparan kebun Kelapa Sawit melalui jalan
tanah dari Manis Mata melalui desa Jihing menuju Pangkalan Bun.
Tukang masak, Guide, Nakhoda, teknisi mesin sibuk menyiapkan
perbekalan dan perlengkapan perjalanan saat kami naik ke Kapal Klotok yang berukuruan
besar bagi kami yang hanya berpenumpang
bertiga, saya, Rinjani anak perempuan kami dan Krakatau anak lelaki kami.
Pk. 09.30 pagi, Perahu yang dilambungnya terpampang nama Dolphin itu
meninggalkan Pantai Kumai, Pangkalan Bun, menuju muara sungai Sekonyer.
Pintu masuk, muara Sungai Sekonyer
Lonen Konyer yang tenggelam :
Sungai yang konon awalnya bernama Sungai Buaya, namun karena
Kapal Belanda yang bernama Lonen Konyer berhasil ditembak meriam pasukan
Indonesia dan tenggelam di muara sungai itu, maka berubah namanya menjadi
Sungai Konyer.
Hanya beberapa saat saja, kami sudah sampai di, muara sungai
Konyer itu, yang juga merupakan pintu
masuk Taman Nasional Tanjung Puting.
Sebuah tugu di sudut muara dengan patung Orang Utan sebagai
primadona Taman Nasional itu berdiri tegak menyambut kami.
Rinjani dan Krakatau menikmati makan siang.
Jelang beberapa saat menyusuri sungai, si bibi Iyot juru
masak, menghidangkan makan siang yang lezat, dinikmati sambil menikmati gayang-goyangan
halus ombak kapal.
Bi Iyot, Juru Masak sedang bertugas di Dapur Perahu.
Sisa kantuk semalaman
kulepaskan di kasur tipis yang ada di geladak depan Perahu. Sesekali terdengar
asisten Kapten Perahu, Pak Iman
menjelaskan ttg obyek alam yang menarik di Taman Nasional ini ke anaku, Krakatau.
Saat matahari melintas ubun-ubun, Pak Ade, guide kami
memberi tahu bahwa sebentar lagi Perahu tambat di Pos I.
Pos I,
Tanjung Harapan :
Kapal Dolphin
yang disenangi oleh Nicolas Saputra bila berkunjung ke Taman
Nasional ini pelan-pelan merapat di
dermaga Pos I.
POS I, Camp Tanjung Harapan, tak terawat.
Kami turun diantar oleh Pak Iman yang sangat menguasai
tentang flora dan fauna ini, berkeliling di Posi I.
Sayang berbagai sarana dari bangunan sampai kebun Koleksi
Kebun Angrek yang ada di lokasi tersebut terkesan tidak terawat.
Ditengah Koleksi Tanaman Anggrek.
Kami sandar di Dermaga ini menunggu saat waktunya pemberian
makan orang Utan, yang biasa dilakukan jam 3 sore.
Sambil mengisi waktu menunggu saat nya Orang Utan
turun, sungguh nikmat menikmati Sungai
yang berair coklat ini.
Berseberangan dengan POS I, terdapat kampung yg dihuni tidak
lebih dari 50 KK. Dua anak kampung itu sambil bercanda riang mengayuh melawan
arus air dengan sampannya.
Waktu luang anak kampung.
Sabar, menunggu Orang Utan :
Jelang pk. 2 siang, 3 kapal lain yang semuanya membawa Turis
Asing merapat di dermaga yang sama.
Setengah jam kemudian, kami bersama sama, melalui jalan
setapak, masuk ke hutan menuju tempat
pemberian makan Orang Utan yang jaraknya
lebih kurang 600 meter dari dermaga.
Wisatawan Jerman
Kami berjalan beriringan di tengah rimbun hutan. Diujung
jalan setapak, sepetak tanah sedikit terbuka, di kelilingi tempat duduk dari
kayu. Bagai sebuah “panggung” sederhana, terbuat dari kayu, menempel ke Pohon
kering yang menjadi “jalan” bagi Orang
Utan untuk menggapai makanan yang disajikan Petugas di atas “panggung” kayu
tadi.
Waktu menunjukan pk. 3 sore, ketika Petugas memanggil dengan
teriakan “auuuuuuuu”.
Tidak lama, pucuk pohon di sebelah kanan kami bergoyang,
Seekor Orang Utan betina satu tangannya berusaha menggapai ujung pohon, berusaha
mendekat ke tempat makanan yang tersedia, sementara tangan lainnya memeluk
anaknya yang masih kecil.
Dari ujung pohon ke ujung pohon, akhirnya sampai ke pohon
yang dibawahnya tersedia “panggung makanan” itu. Iapun merayap lincah turun,
sementara sang anak memeluk erat leher
induknya.
Orang Utan di Pos Tanjung Harapan.
Sampai di “panggung makanan” si Induk langsung mengambil
Pisang yang tersedia. Tak cukup satu, dua, tiga, tapi lebih dari sepuluh pisang
ia jejalkan di mulutnya, kemudian ia merayap naik. Sampai di dahan pohon yang
aman, ia pun memberikan Pisang itu ke anaknya, sambil iapun makan. Kaih Ibu
pada sang anak.
Orang Utan sifatnya hidupnya Soliter, tidak hidup
berkelompok seperti monyet. Ia menyendiri, tidak bergerombol.
Karena itu, saat mengambil makanan yang disediakan petugas,
mereka tidak datang bebarengan. Tetapi satu persatu. Yang lebih kuat, yang
lebih dihormati lebih dulu.
Tidak begitu lama, datang Orang Utan lainnya dari sisi kiri
dengan menggendong anaknya yang masih bayi.
Menyusul datang lagi seekor Orang Utan dengan anaknya yang juga
masih kecil.
Ia berusaha mendekat ke pohon tempat turun ke panggung
makanan. Tetapi si Orang Utan yang lebih dulu datang, masih bertengger. Bahkan
ia kembali berulang ulang naik turun dengan membawa Pisang yang banyak
tersumpal di mulutnya. Alhasil Orang
Utan itu yang baru datang hanya jadi penonton yang setia.!
Jalur Treking Tanjung Harapan - Camp Tanggui :
Jalan setapak dari Dermaga ke Tempat pemberian makanan yang kami lalui, terdapat persimpangan yang merupakan jalur untuk Treking. Perjalanan treking yang lebih menguras tenaga dan mental untuk menempuh sepanjang 22 KM dari Tanjung Harapan ke Camp Tanggui.
Jalan setapak menembus rimbunnya hutan, dan ada daerah yang harus melintas air yang bila air sedang pasang setinggi paha orang dewasa. Tentu "kesulitan" ini tidak seberapa buat orang-orang yang menginginkan kepuasan bathin perjalanan dalam nuansa penjelajahan di alam yang masih asri.
Jalur Treking sep[anjang 22 KM, Tanjung Harapan - Camp Tanggui
Sekonyer yang kian tercemar :
Pk. 4.30 sore, kami sudah naik kembali ke Kapal kayu yang
ternyata paling besar diantara Kapal lain yang datang. Kapal terbuat dari Kayu
Ulin, yang konon pernah dipakai oleh Gitaris Queen, dan juga duta Orang Utan
Indonesia, Angelina Sondakh, yang sekarang menikmati “kurungan” yang masih lebih
nikmat dari “kurungan” Orang Utan di Kebun Binatang.
Kami menyusuri sungai semalkin kedalam, hutannya semakin
rapat.
Air sungai yang
tadinya kecoklatan, kini berubah menjadi kehitaman. Konon ini akibat limbah
Pertambangan Liar Emas di hulu sungai.
Bahkan konon, sungai ini pernah menbar aroma bau berbulan-bulan,
karena ikannya dan binatang lainnya mati tercemar Limbah Kelapa Sawit, yang
perkebunannya sekarang terhampar menyentuh Kawasan Taman Nasional.
Sungai Sekonyer yang mulai tercemar.
Kalau kawasan Kalimantan Timur dan Selatan ekosistemnya
terancam kehadiran Pertambangan Batu Bara, maka Kerusakan Kalimntan Barat dan
Tengah terancam dengan kehadiran Kebun Kelapa Sawit.
Menikmati senja, menikmati atraksi Satwa :
Senja hari adalah salah satu waktu penghuni hutan untuk datang ke sarangnya. Berbagai
jenis bianatang bersarang di tepian Sungai, karena mereka semua, membutuhkan
air. Maka senja adalah waktun yang tepat menyaksikan atraksi mereka berulang
kandang.
Bersyukur dan beruntung kami bisa menyaksikan jenis Elang
Api yang konon populasinya diseluruh
dunia tinggal hanya lk. 300 ekor.!
Ia bertengger di ujung dahan Pohonnyang sudah tidak berdaun,
bersiap istirahat menjelang malam.
Elang Api, hanya inggal 300 ekor di seluruh dunia.
Sambil berayun ayun di Hamock, yang dipasang dibagian tengah
Perahu, aku nikmati senja sambil melintas
hutan yang semakin rapat.
Bersantai di atas Hamock.
Sisa Purnama diatas Sungai :
Jelang Maghrib Perahu kami merapat di Pos Tanggui.
Sudah ada 2 Perahu
lain yang sdh merapat lebih dahulu, membawa sepasang suami istri dari Perancis
dan perahu lainnya membawa seorang warga negara Jerman.
Perahu kami tidak kebagian tempat merapat di Dermaga,
sehingga tidak bisa turun dari Perahu.
Perahu yang ditumpangi suami istri warga Perancis rupanya sandar karena
baling-balingnya lepas dan hilang. !
Setelah berusah mencari “tambatan” sandar, akhirnya Perahiu
kami bisa merapat, walaupun tidak bisa langsung kami turun ke Dermaga kayu (pintu asuk Pos Tanggui).
Mencari tambatan
Usai Maghrib, makanan malam hasil masakan Sang Koki, Bi Iyot
tersaji di meja bagian Dek Belakang Perahu.
Sayur kuah Ubi dan daging yang masih hangat menjadi makanan
yang tepat di kelilingi suara alam diatas goncangan lembut arus air.Tiga lilin
menemani terang makan malam kami, bagai acara Candlelight Dinner diatas perahu.
Candlelight Dinner di atas Perahu
Malam semakin merayap, suara-suara binatang malam menemani
sunyi dan gelapnya hutan. Sekali terasa guncangan lembut dari ombak arus air
Sungai Sekonyer.
Ketika kantuk belum datang, saat malam semakin pekat, “sisa
purnama” menerobos sela dedaunan, menambah suasana alam malam yang indah.
Mencumbu pekatnya malam
Saat kantuk datang, sebuah tempat tidur di atas geladak
depan Perahu telah rapi tersedia. Kelambu menutupi, mengahalangi Nyamuk hutan
yang ingin datang bertandang.
Suara binatang malam, goyangan lembut ombak sungai,
menghanyutkan kantuk ke mimpi-mimpi indah malam itu.
Terlelap dalam pelukan Kelambu
Sesekali terbangun ketika ada suara auman dan kemerosok
ranting yang seperti terinjak Binatang malam.
Jelang Subuh, terbangun, dalam samar mata yang baru terbuka,
dihadapan kami, air sungai, bayang-bayang pohon di atas air, dan sisa purnama yang
jatuh di air sungai, menjadi lukisan
Tuhan yang indah, pembuka hari kami pagi
itu.
Sesekali datang ombak menggoyangkan lambung Perahu, ketika Perahu-perahu kecil bermesin Speed Boat melaju cepat menuju Hulu sungai. Mereka itu adalah para Pekerja Tambamg Emas Liar di Hulu Sungai yang kini mengancam eksosistem Taman Nasional Tanjung Puting.
Para Pekerja Tambang Emas Liar, ancaman Kelestarian.
Usai makan pagi, Perahu di tambatkan berdampingan dengan
Perahu yang sudah datang sebelumnya, agar
kami bisa turun ke Dermaga Kayu, pintu masuk ke tempat pemberian makan
(Feeding) Camp Tanggui ini.
Pemberian makan Orang Utan di Camp ini dlakukan setiap jam 9
pagi dan jam 3 sore hari.
Jam masih menunjukan
pk. 8.00. Kamipun mengisi waktu menunggu dengan ngobrol dan berkenalan dengan
Wisatawan lain (dari Jerman dan Prancis) serta semua Crew perahunya.
Di pintu masuk yang merupakan jembatan kecil sepanjang Rawa
itu ada Pohon yang tumbang, miring, yang dikhawatirkan akan jauh merusak Pos
dan jembatan. Ramai ramai kami, memotongnya, karena hal ini jarang dilakukan oleh
Petugas Taman Nasional, yang seharusnya menjadi kewajibannya untuk memelihara
sarana yang ada.
Gotong Royong memotong Pohon yang menghalangi jalan
Menjelang kami bersiap-siap masuk ke dalam hutan, sebuah
Perahu datang dengan 4 Kakek-kakek berkewarga negaraan Belanda datang, merapat
di belakang Perahu kami.
Pk. 8.30 kami beranjak meninggalkan Perahu menuju tempat
berkumpulnya Orang Utan untuk makan pagi.
Sebelum berangkat tak lupa membaluri tubuh kami degan Obat
Oles Anti Nyamuk.
Jembatan kayu panjang
menyeruak diantara rimbunnya pepohonan yang
membentuk lorong, melintasi rawa dengan air coklat kemerahan.
Konon kalau air pasang, maka kita harus menggunakan Sampan
karena Jembatan kayu ini tergenang air.
Di ujung jembatan panjang kayu ini, terdapat pondokan Petugas dengan Gajebo di bagian depannya,
dimana semua pengunjung diminta mengisi Buku Tamu.
Selesai meniti Jembatan Kayu, kami turun ke tanah dan
dilanjutkan menyusuri jalan setapak, menyeruak rimbunnya hutan.
Di satu lokasi di tepi jalan setapak ini ada tumpukan
besi-besi yang di lingkari garis pita, Police Line. Konon ini adalah bekas
tempat Kandang Orang Utan, yang dirusak dan hendak dijual oleh oknum Petugas,
namun keburu di tangkap.
Tidak jauh dari bekas Kandang itu, pepohonan terbuka, dihadapan
kita terhampar area yang hanya didominasi tanaman perdu, Pakis Hutan. Disini
terdapat Pos Menara Pandang terbuat dari Kayu, untuk melihat area sekeliling
hutan.
Dari menara ini kita bisa memandang bebas ke semua penjuru.
Menara Pandang Camp Tanggui.
Usai melintas area terbuka, kami memasuki area yang rapat
kembali pepohonnya.
Hanya dalam hitungan puluhan meter, didepan kami terdapat
tempat pemberian makan seperti yang kami temuai di Pos Tanjung Harapan.
Tidak begitu lama saat kami duduk duduk menunggu di bangku
kayu panjang, usai Petugas meletakan tumpukan makanan berupa Pisang, seekor Orang Utan dengan anaknya datang dari
sisi kanan, langsung melahap Pisang dan susu yang tersedia di tempatnya.
Orang Utan Camp Tanggui
Usai yang satu kenyang, dia pergi, dan datang yang lainnya.
Begitulah silih berganti, yang kuat dihormati dan ditakuti untuk lebih dulu
menyantap makanan sampai kenyang, baru “para penakut”, rakyat yang setia
menyusulnya.
Kami menonton mereka makan pagi.
Disini terdapat Orang Utan yang diberi nama Rika. Badannya
cukup besar.
Puas melihat tingkah-tingkah mereka dari yang lucu sampai
yang bermimik bengis, kami pulang dengan melihat-lihak pepohonan.
Disudut tempat ini terdapat banyak tanaman Kantong Semar,
yang beberapa waktu lalu sempat in menjadi tanaman hias di rumah rumah mewah di
kota.
Kantong Semar di Camp Tanggui.
Kantong semar yang alami ini, banyak tersebar, dari mulai yang
terhampar di tanah, sampai yang menggantung di Pohon-pohon.
Menuju Ujung, Camp Leakey :
Hari menjelang Matahari diatas ubun-ubun ketika
kami kembali ke Perahu. Makan siang
telah tersaji dengan pilihan minuman dingin dan hangat menyambut
kedatangan kami, disajikan oleh oleh Juru mask kami, Bi Iyot.
Kami istirahat sejenak sambil makan siang. Dari pagi kami
tidak mandi, bukan kami yang tak akrab dengan air sungai yang disediakan di Perahu tersebut, tetapi karena air di
Sungai itu konon sekarang sudah tercemar Mercuri dari Pertambngan Emas liar
yang ada di hulu sungai tersebut.!
Lewat waktu Sholat Dhuhur, Perahu kami pelan-pelan
melanjutkan perjalan meuju Camp paling Ujung di Taman Nasional ini, Camp
Leakey. Dinamai Leakey diambil dari
salah satu nama peneliti Orang Utan disini.
Camp Leakey adalah camp penelitian Orang Utan yang
disponsori oleh salah satu lembaga Internasional Orang Utan.
Sungai semakin menyempit, di beberapa tempat terdapat
Pohon yang tumbang, sehingga Iman, sang Kapten Perahu kami, harus hati-hati saat melewatinya.
Mendekati Hulu, Sungai menyempit.
Konon beberapa waktu lalu, para pemilik Perahu bergotong
royong untuk membersihkan pinggiran sungai, dan memotong kayu-kayu yang
menghalangi jalan Perahu. Mereka mengundang juga pihak Pemerintah, Dinas
Parawisata, da Pihak Taman Nasional, namun sayangnya mereka tidak datang di
acara gotong royong tersebut.
Duduk diujung haluan Perahu, sambil mengamati keindahan dan
kekayaan Folra dan Fauna yang ada. Sesekali burung burung yang sudah termasuk
langka, terlihat bertengger di dahan dipinggir sungai. Orang Utan liar terlihat
menggapai-gapai pangkal pohon Pandan sungai, dan memakannya.
Segerombolan Monyet Ekor Panjang dengan Hidungnya yang super
mancung bergelayutan di pohon. Sungguh alam ini negeri yang kaya, dan
bersuyukur kami bisa menikmatinya.
Damai senja, si hidung panjang.
Kami melalui Saung Pos Polisi yang kosong tidak ada Petugasnya,
dan bangunan kayu diatas air sungai itu nampak rusak dibeberapa bagiannya.
Nampak jelas tak pernah digunakan lagi.
Tidak begitu lama, diujung Sungai, sungai terbagi dua arah.
Di pertigaan ini terdapat air sungai dua warna, coklat kotor dan
hitam.
Air dari Sungai sebelah kiri warnya coklat kotor, dan inilah
air akibat limbah tambang emas liar serta perkebunan Sawit.
Air sungai sebelah kanan terliihat Hitam, namun ternyata air
ini bening. Warna hitam adalah pantulan hitam dari dasar Sungai yang di
dominasi oleh daun-daunan yang busuk dan akar-akar pohon.
Perahu diarahkan menyusuri ke kanan, 6 KM lagi menuju Camp
Leakey. Sungai semakin sempit, sehingga
ketika berpapasan dengan Speed Boat yang ditumpangi Petugas pun, kami harus
saling mengalah mencari tempat yang memungkinkan berpapasan.
Terlihat pinggi sungai seoalah tidak berbatas, karena hampir
seluruh pinggi sungai rata dan berupa rawa yang gelap oleh rerimbunan Pohon. Maka tak heran kalau kawasan ini menjadi
hunian yang menyenangkan bagi Buaya.
Airnya yang bersih, mengunfang untuk kita menceburkan
diri. Namun sudah beberzpa wisatawan
menjadi santapan Buaya yang tiba-tiba muncul, maka kini dilarang untuk mandi di
sungai tersebut.!
Hampir setengah perjalanan dari pertigaan sungai tadi, di
sebelah kanan kami terhampar area terbuka. Inilah danau alami, dikelilingi
hutan yang rapat, dan sungai di salah satu sisinya. Konon Niocolas Saputra,
selebitris Indonesia tak penah absen kalau kesini bersenang-senang berperahu
mengelilingi Danau ini
Danau Buaya, di tengah hutan.
Hanya beberapa ratus meter saja dari Danau ini, kita akan
sampai di Camp terujung di Taman Nasional Tanjung Puting ini, Camp Leakey.
Tempat penelitian Orang Utan yang dikenal di dunia.
Sungainya menyempit, namun dalam, rimbun pohon dikiri kanan
menjadi payung keteduhan.
Dolphin, Perahu kami menyibak rerimbunan jelang Camp Leakey
Hanya beberapa puluh menit saja dari Danau itu, kami sampai
di Camp Leakey.
Pohon-pohon yang rapat
memayungi Sungai. Mungkin ini lebihi
tepat disebut Rawa dikiri kanan sungai ini. Airnya berwarna hitam karena
pantulan dasar sungai yang hitam dari dedaunan yang gugur dan akar-akar pohon
di dasar sungai.
Sebelum kami turun dari Kapal, sajian makan siang dengan
Kepeting segar dan buah-buhan tersaji dibagian depan Perahu.
Rimbun pohon, bening air, sahutan kiacu burung, nyanyian dan
lukisan alam menemani makan siang kami diatas kapal siang itu.
Makan siang, ditengah suasana alam yang menyegarkan.
Perahu kami berlabuh di Dermaga Kayu, di pintu masuk Camp Leakey.
Dermaga kayu yang memanjang, lebar menyatu dengan jalan berupa
jembatan kayu memanjang, menerobos rimbunnya hutan.
Jembatan kayu memanjang, diatas Rawa, menembus rerimbunan.
Ketika Manusia, Alam dan Hewan menyatu :
Seekor Orang Utan betina bernama Siswi menyambut kami di
Dermaga. Konon sang betina yang sudah diambil (dioperasi) Rahimnya karena ada
Kista. Siswi lebih bnayak bergaul dengan Manusia dari pada dengan golongannya
di habitatnya.
Ia begitu bersahabat, bersalaman, makan roti dari bibir kita
ke bibirnya, sampai Menyikat Gigi bisa dilakukannya.
Siswi menyikat gigi
Langit cerah, cahayanya menerobos sela dedaunan, jatuh di
atas jembatan kayu yang kami lalui.
Sesekali terlihat beberapa petugas terlihat berjalan
disekitar Camp yang dikelola oleh Lembaga Intersional Orang Utan ini.
Kami diingatkan beberapa
hal yang tidak boleh dilakukan di kawasan ini, yang dipajang di tempat tempat
strategis.
Ujung jembatan kayu berujung di Pos Petugas, tempat kami
meminta ijin masuk. Beberapa bangunan
kantor Petugas, Camp tempat tiggal para petugas.
Dijujung jalan menjelang jalan setapak ke tempat Feeding,
sebuah bangunan dengan ruangan yang cukup luas. Bagai sebuah Musium, didalamnya
terpajang beberapa Foto dan informasi tentang kawasan dan kegiatan Camp ini.
Seorang petugas wanita menyambut kami dengan ramah. Disatu
sudut terpajang Fito si Kosasih, orang Utan yang telah menjadi Raja
bertahun-tahun di kawasan ini.
Setiap periode ada Orang Utan yang dianggap Rajanya. Dia
berbadan besar, tidak ada yang
mengalahkan kalau bertarung, dan mempunya sejumlah istri yang banyak.
Saat ini, Raja Orang
Utan di Camp Leakey ini adalah si Tom. Dan kami berharap, siang in bisa
menjumpainya.
Sebagian besar Orang Utan disini sudah sangat dekat dengan
manusia, sehingga kita bisa menyentuhnya dan merekapun dengan tanpa rasa takut
datang ke kerumumann manusia yang datang akan melihatnya. Dan merekapun
diantaranya sudah ada yang mampu melakukan aktifitas seperti manusia,
seperti mengecat, mengggergaji, bahkan
mendayung Canoe. Hal ini tidak kita jumpai di camp lainnya.
Dari bangunan ini, ada 2 jalan setapak. Yang satu cukup
lebar, dan tertata rapih. Satu jalan lainnya sebelah kiri bangunan merupakan
benar benar jakan setapak, yang langsung masuk ke rapatnya hutan.
Pohon Kayu Ulin
Kami memilih jalan yang kedua, jalan yang jarang dilalui
oleh pengunjung. Jalannya kecil dan
benar-benar masuk ke sela-sela Pohon. Konon jalan ini hanya biasa dilalui para
Petugas.
Sepanjang jalan ini kami bisa menyaksikan berbagai jenis
Pohon kayu, seperti Kayu Ulin, dan burung-burung, suasananya serasa jalan
pendakian gunung yang biasa kami lakukan.
Jalan setapak di Camp Leakey yang biasa dilalui para Petugas Camp menuju tempat makan
Orang Utan.
Lumayan panjang jalan setapak ini, setidaknya membuat
keringat kami bercucuran. Sesekali kami harus berhenti karena ada Burung yang
bertenggger ditas dahan dengan warna bulunya yang indah.
Disatu tempat, jalan setapak kami dipenuhi akar pohon yang
saling silang menyilang membuat formasi yang yang artistik, indah.
Formasi akar-akar pohon.
Di ujung jalan ini, kami sampai pada area yang terbuka, dan
seekor Orang Utan tba-tiba menarik-narik tangan kami. Disinilah Feeding Ground Camp Leakey.
Oarng utannnya sangat jinak dan terbiasa berinteraksi dengan manusia. Manusia, alam dan hewan tanpa sekat, menyatu.!
Sambutan bersalaman dari Orang Utan di Camp Leakey.
No comments:
Post a Comment