Tuesday, October 4, 2016

SENDIRI, MENEMUI SESEJATI JATI DIRI. ( Dalam 267 KM Kayuhan Pedal Sepeda )



.... Dalam gelap kuberjalan,
Membelah belantara akal,
Sendiri
Sendiri
Slalu sendiri ....

Lirik lagu  " Intro "  nya Iwan Fals itu terasa singgah dalam setiap kayuhan Pedal Sepedaku di malam gelap, sepi,  sendiri.
Jalan gelap, sepi, sendiri, sendiri.

Membelah Belantara Akal :
Minggu, 7 Agustur 2016, usai  Adzan Ashar, aku pamit pada teman-teman lama yang baru bertemu sejak lulus SMP, 41 tahun lalu.

Dari pagi sampai sore kami bercengkerama,  berkumpul Reuni kecil-kecilan.
Sederet wajah-wajah mereka yng dipenuhi rasa heran, ketika aku pamit akan kembali pulang ke Bekasi sendiri dengan mengayuh Sepeda.
Sepeda sudah kupersiapkan, dikirim dari Bekasi 2 hari sebelumnya.

Ya,... aku akan berjalan sendiri, mengayuh Sepeda dari Kuningan, tenpat kami berReuni menuju Bekasi.

Wajah-wajah heran, kutangkap dari raut muka mereka, mungkin diluar akal sehat mereka, apa yang kucari dengan Dengkul tuaku yang sudah jelang 59 tahun ini berjalan sendiri, mengayuh sepeda.

" Membelah belantara akal ", kataku dalam hati. Tapi mungkin " Akal tidak sehat " kata mereka.

Foto bersama, bagai akan melepas Atlit Tua, teman-teman mengelilingiku sebelum aku pamit dengan hentakan goesan pertama, menurun menuju jantung kota Kuningan.

Memburu Terang, Kuningan - Cirebon :
Kayuhan pertama begitu ringan karena jalan turun dari pusat kota Kuningan menuju keluar kota, menuju arah Cirebon.
Namun diujung jalan sebelum lepas dari kota, setelah melewati Kantor Bupati, sebuah tanjakan panjang menantang.

Sepeda Touring Surly Long Haul Trucker yang penuh dengan beban muatan di Tas depan dan belakang, kukayuh dengan mengatur tenaga agar tidak terputus di tengah tanjakan.

Bukan perkara mudah !  Umur tak mungkin bisa dibohongi!
Diujung tanjakan nafas terengah, hampir putus. Alhamdulillah tanjakan terlalui. !

Selepas tanjakan itu, jalan syurga terbentang, meliuk-liuk menuju Cirebon. Sesekali kutambah kecepatan agar bisa mengambil foto sepanjang jalan ini dan obyek yang menarik di kota Cirebon sebelum gelap.
Memburu terang !.
Turunan Gronggong

Setelah melalui turunan Grongong yang meliuk-liuk, kini memasuki Kota Cirebon. Kuarahkan lurus membelah senja lintas jalan tengah kota Cirebon.
Grage Mall terlewati, lurus langsung membelah jalan Dr. Wahidin, menuju arah luar kota, jalan yang menuju Indramayu.

Di ujung kota, mampir sejenak untuk mengambil gambar di depan bangunan peninggalan jaman Kolonial.
 
Di depan sisa Peninggalan Kolonial.

Membelah Gelap :
Di ujung senja, kutinggalkan Gedung itu, kembali menuju jalan utama yang menghubungkan Kota Cirebon dan Indramayu.

Selepas melintas Makam Sunan Grunung Jati, senja berganti gelap, dan Adzan Magrib terdengar dari sebuah Mesjid di pinggir jalan.

Kusandarkan Sepeda di dekat tempat Wudhu Mesjid tersebut, dan aku berserah diri pada Nya, menunaikan Sholat Maghrib.

Usai sholat, di teras Mesjid ngobrol sejenak dengan anak-anak usia SD. Sebuah kenikmatan sendiri berinteraksi dengan anak-anak lugu yang keheranan melihat aku bersepeda malam-malam seorang diri..

Sebagaian anak-anak yang berselemmpang Sarung itu mengerubungi Sepedaku, seorang diantaranya memegang Lampu belakang Sepedaku yang kerlip kerlip masih menyala.

Lambaian tangan tangan mungil anak-anak itu melepasku kembali menyusuri jalan gelap menuju Karangampel.
Targetku malam itu bisa mencapai Kota Karangampel untuk mencari Hotel, dan beristirahat.

Suara hembusan nafas tuaku, bersahutan dengan suara gesekan Ban dan aspal. Jalan semakin sepi dan gelap tanpa penerangan Lampu jalan.
Sialnya, beberapa Motor melawan arus, yang mau tidak mau aku harus ekstra hati-hati. Tidak sedikit dari mereka, Motornya tanpa lampu !.

Menghindari tertabrak mereka, Lampu Sepedaku kunyalakan dengan berkedip (flash) agar lebih mudah menjadi perhatian mereka.

Kini jalan semakin sepi, dikiri jalan sawah, suara Kodok bersahutan. Dalam kesendirian, ditengah gelap malam, diri terasa kecil, luluhlah keangkuhan diri.

Tenaga sudah terkuras, akan beristirahat tidak ada tempat istirahat, setidaknya buat sekedar minum kopi hangat, sebagai penyegar sebelum makan malam, yang entah dimana.

Saat jam menunjukan pk. 20.15, aku memasuki kota kecil Karangampel.
Sebuah Warung Tegal dipinggir jalan, menjadi tempat  istirahat dan makan malamku seblum membelah kota kecil itu.

Sepanjang jalan kota Karangampel tidak ada Hotel, maka aku lanjutkan sambil berfikir,  apakah istirhat di Indramayu atau mencari Hotel di Jatibarang.

Jalur Begal :
Usai makan malam seadanya, kembali kaki tuaku mengayuh Pedal Sepeda.
Sampai di Lampu merah, pertigaan, lurus menuju Indramayu, ke kiri menuju Jatibarang untuk nantinya bertemu dengan jalan utama Pantura.

Kuputuskan membelok kiri, menuju Jatibarang, yang kuyakini ada Hotel yng cukup refresentatif untuk melepas lelahku malam ini.

Selepas kota Karangmapel, jalan semakin sepi dan gelap, kiri kanan hanya sawah, sawah dan sawah.
Sisa purnama menjadi teman penyemangat dalam kesendirianku di kesepian itu.

Di suatu titik, terbaca spanduk dari Polisi di sisi kiri jalan, tertulis jelas :  Hati-hati Banyak Begal !.
Tidak jauh dari tempat tersebut, terlihat lagi spanduk sejenis.
 Hati semakin ciut !

Di satu kampung kecil, aku sandarkan Sepeda untuk sekedar istirahat dan membeli Air minum.
Si Pemilik Warung terheran-heran melihat aku bersepeda malam-malam.
" Sedang Olah raga ? ",  tanya anak pemilik Warung.
" Nggak, saya sendiri mau pulang ke Jakarta " , jawabku singkat, diikuti wajah heran dia.

Pemilik Warung memberi tahu, bahwa ada Hotel yang layak di Jatibarang, tetapi dia menyarankan untuk menunda melanjutkan perjalanan karena daerah tersebut memang sering terjadi Pembegalan !.
Hati semakin ciut.

Kulihat di Peta, versi Google Map, Jatibarang 16 KM lagi di depan. Waktu menunjukan jam 9 malam.
Ah,....kukayuh lagi Pedal sepeda dengan harap-harap cemas bertemu Begal di tengah jalan.

Dalam rasa was-was, ditengah jalan sepi dan gelap , kupasrahkan semuanya pada Yang Maha Kuasa, pemilik segalanya, agar aku diselamatakkan sampai Jatibarang.

Usai melalui jalan panjang yang sepi dan gelap, kini didepanku terlihat cahaya lampu kota, dan sdh ramai. Hati menyambut dengan sedikit gembira.

Jam menunjukan pk 9.38 malam saat kaki berhenti mengayuh Sepeda di depan sebuah Hotel.

Kumasuki Hotel kecil itu. Kamarnya nyaman, lumayan ditata Asri. Kuserahkan Rp. 380.00,- untuk menginap semalam.
Usai bersih-bersih, mandi.... terlelap dalam kelelahan.

Usai sudah hari itu sejak dari Kota Kuningan sampai Jatibarang telah kukayuh Sepedaku sejauh 91 KM.

Dipanggang Panas Pantura :
Rencananya usai Subuh akan langsung goes kembali Sepedaku, menyusuri Pantura menuju Bekasi.
Namun sayang,  "amunisi " pagi dari Hotel baru tersedia di Restaurantnya baru tersedia pukul 6 .30 pagi. Alhasil baru pk. 7.45 aku baru bisa meniinggalkan Jatibarang.

Tidak jauh dari Hotel, berderat penjual Bendera Merah Putih. Ku pesan yang kecil satu, dan kini berkibar di bagian belakang Sepedaku Sang Merah Putih. Merdeka !!

Pantura, sebuah lintasan jalan terpanjang dan tersibuk di Indonesia.
Sudah 2 kali aku lalui Pantura dengan bersepeda, dan tetap saja ketar-ketir khawatir tertabrak dari Pengendara yang ngebut di lintas jalan ini.
 
Lintas Pantura, usai Jatibarang

Aku pernah shock melihat tabrakan hebat Motor dengan Motor di lintasan ini, yang menciutkan nyaliku untuk melanjutkan perjalan ber Sepeda beberapa tahun lalu.

Banyak Pengendara Mobil dan Motor yang tidak peduli. Berkali-kali terpaksa aku arahkan Sepeda keluar jalan, karena dipepet Mobil, bahkan Truk-truk besar !

Pedal tetap kukayuh walau hati semakin ciut.
Jam menunjukan pk. 10.30 ketika sampi di Eretan, pantai tepi jalan Pantura. Tempat dimana Pasukan Jepang mendarat untuk menjajah negeri ini.

Disini dulu ada Tugu Tanda Peringatan Pendaratan Pasukan Jepang itu, tapi entah kini ...dibuang kemana ! Kita memang lebih gampang membuang sejarah, karena tingkat penghargaan kita begitu rendah pada nilai suatu sejarah.
 
Muara Sungai, jelanbg Eretan.

Di sebuah gubuk, yang digunakan Warung seadanya, kupesan Kelapa Muda untuk sekedar melapas dahaga yang kian terasa.

Bukan Kelapa Muda yang kuterima. Benar-benar kelapa tua.!  Dan yang lebih mengagetkan,........  Rp. 15.000,- harganya. Ini adalah Kelapa termahal yang pernah kubeli  selama keliling ber Sepeda.!

Kukayuh Sepeda kembali, menyusuri lintas Pantura yang menyengat. Matahri semakin mendekati ubun-ubun. Panasnya semakin membakar.!

Kendaraan --kendaran tak peduli keselamatan. Sampailah pada sutau pertigaan di Pamanukan, sebuah mobil Elf tiba-tiba memotong hendak mengabil Penumpang, dan......kutarik remm sepeda kuat-kuat agar tidak menabrak, .... apa daya sebuah Sepeda Motor dari belakangku bruuk...menabrak bagian belakang Sepedaku.!

Beruntung aku masih bisa mengendalikan, sehingga tidak sampai terjatuh.!
Sopir kuhampiri dari sisi kanan. Jawab Sopir dengan enteng :
" Khan udach kasih Sein ".

Wuss....kembali Elf tersebut kembali melaju, meningglakan seribu dongkolku !.

Rasa Lapar tidak terasa, tetapi rasa haus semakin menjadi. Setiap beberapa Km berhenti untuk minum.
Matahri melintas ubun-ubun, panas semakin terasa, kaki tetap kupertahankan mengayuh, walau speed semakin menurun.
 
Nandur Padi, hamparan sawah di Ciasem, Subang

Selepas Pamanukan tenaga sdh benar-benar terkuras panas, kuputuskan istirahat di sebuah Mesjid sambil melaksanakan Sholat Duhur yang kusatukan dengan Ashar.

Usai Sholat, meluruskan kaki dan badan di teras Mesjid yang sepi itu, Dan ........ less, tertidur.

Rasa enggan ketika bangun. Untuk penyegaran, di Kamar Mandi Mesjid itu kauguyur badan, mandi...!

Jam menunjujkan pk. 14.30 saat aku tinggalkan halaman Mesjid itu.  Kembali menyusuri Pnatuira yang selalu menciutkan nyali.

Baru bebeerpoa KM kukayuh Sepedaku, pontng-panting aku terhempas ke kiri jalan karena jalan aspal dan pinggirnya cukup tinggi perbedaanya.
Terpaksa setengah menjatuhkan diri ke kiri karena Truk Gandengan memepet jalanku.!

Dengan tanpa merasa bersalah Truk Gandengan itu semakin ke pinggir dan berhenti.
Sang Sopir turun memeriksa Ban sebelah kanan. Sementara aku masih dipinggir dengan rasa shock yang masih tertinggal.

Kuhampiri Sang Sopir.
" Lain kali hati-hati, lihat orang lain Pak kalau nyopir " , kataku.
Eh.....dengan gampang Si Sopir Tua itu menjawab dengan Logat Jawanya yang masih kental :
" Aku nggak salah, udach pake rihting ".

Kampret !!  kataku dalam hati, sambil terus menggenjot Pedal.

Rasa lapar mulai terasa, tapi tak ada Warung yang sreg buat mampir.
Selepas daerah Patok Beusi, di pintu sebuah Pabrik (entah pabrik apa), niat ke ATM yang ada di kiri Pintu Gerbangnya, mesin ATM nya rusak.

Kuputuskan saja mampir di warung yang ada dekat ATM itu.
Sebotol Teh Botol dingin meredakan haus yang kutahan. Telor Asin dan Lontong di Warung itu menjadi pengganti makan siangku hari itu.

Rasa lelah dan cuaca panas membuatku memutuskan untuk istirahat lebih lama di Warung itu.
Seorabng Polisi dari Polsek Patok Beusi yang juga sedang istirahat di Warung itu, dengan penuh rasa heran banyak bertanya tentang perjalananku.
Mengapa sendiri ?
Apa yang dicari ?
Mungkin heran melihat ubanku !
( Dalam hati, terngiang kembali lirik berikutnya dari lagu Intro itu :  " Dalam terang kumerenung, mencari kesejatian. Sendiri, sendiri, slalu sendiri ...)

Di Hadang Hujan :
Dari Patok Beusi menuju Cikampek, tersa sekali lelah. Sepeda yang ku  kayuh biasanya mampu mencapai rata-rata 20 KM/Jam, kali ini untuk mencapai 15 KM / Jam begitu beratnya !

Ada rasa-rasa hampir menyerah, untuk istirahat panjang sebelum Cikampek.
Pelan pelan, semangat yang mulai luluh, semakin luluh ketika butiran-butiran air hujan jatuh. Kukayuh Sepdaku di gerimis tipis

Di tengah gerimis, tetap kuusahakan dengkul tua ini mengayuh diantara Kendaraan yang semakin padat menjelang Pertigaan Jomin, Cikampek.
 
Pertigaan Jomin, Cikampek, jelang Maghrib.

Jelang Magrib, Roda Sepeda berhasil menjejak aspal di pertigaan Jomin, Cikampek. Jarak 22 KM dari Patokbeusi ke pertigaan ini begitu terasa berat sekali !

Kuputuskan istirahat di Cikampek. Melalui sms, diterima khabar bahwa di Jakarta dan Bekasi sedang hujan besar.

Usai perut terisi amunisi, kulanjutkan pedal sepeda dikayuh dengkul tuaku.
Melalui perjuangan berat, diatas jalan aspal yang masih basah karena hujan, akhirnya pk 22.00 sampai di Jatibening.

267 KM sendiri, berteman suara ban yang bergesekan dengan aspal, semilir angin yang menerpa ujung Helm, sendiri, sendiri, aku sendiri
.
" Dalam gelap kuberjalan,
Membelah  belantara akal.
Sendiri,
sendiri,
slalu sendiri  ".
 
Dalam setiap kesenidirian itulah akan ditemui sesejati-sejatinya jati diri sendiri .....












4 comments:

  1. Luaaaaar biasa sobatku ini, dengan semangat tinggi untuk mencari jati diri. Semgat kang Momon


    Wassalam,
    Iding Tea

    ReplyDelete
  2. Hatur nuhun Kang Iding, ini sekedar catatan kecil saja. Mudah-mudahan nanti suatu saat dibaca cucu. Hatur nuhun.

    ReplyDelete
  3. tong sendirian wae atuhn ,ajak euceuna , dibonceng itung2 jadi tukang Conglit...!

    ReplyDelete
  4. he he he he he, seueur atuh ari nu mau di bonceng mah....

    ReplyDelete