Monday, April 20, 2009

Menjelajah Jejak Sejarah
Yang Terlupakan

Antara Karawang dan Bekasi.
Usai salam di Sholat Subuhku, aku segera menyiapkan perjalananku. Minggu, 1 November 2008, kicau burung menyapaku saat aku membuka pintu rumah. Aku sarapan pagi di dapur yang juga menyatu dengan tempat makan.

Disuasana dapur yang berhadapan dengan taman, ditempat makan yang terbuka itu, aku leluasa memandang dan mendengar alam pagi itu.

Jam 5.45 aku sudah berada diatas sadel motor Kawasaki KLX 250 cc, dan siap mengantarkanku ber "solo adventure" hari itu. Hari itu aku ingin sekali melanjutkan perjalananku seminggu sebelumnya, untuk menyusuri pantai utara antara Krawang – Bekasi, sekalian mengunjungi Tugu Proklamsi dan sebuah rumah bersejarah di Rengasdengklok, dimana Soekarno menyiapkan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan negeri ini.


Motor akau arahkan ke Kota Bekasi. Aku ingin sekali menikmati perjalanan melalui jalan lama antara Bekasi – Karawang yang sudah tidak pernah lagi aku lalui sejak ada Jalan Toll Jakarta – Cikampek.

Bekasi, sebuah kota pinggiran Jakarta yang amat padat. Untung aku berangkat kala masih embun tersisa, sehingga tidak panas dan kondisi lalu lintas masih lengang. Sejak selepas Bekasi, jujur saja aku tidak kenal lagi sepanjang jalan yang ku lalui. Dulu aku masih bisa mengenal tempat-tempat dipinggir jalan, terutama daerah Tambun tempat dimana penjaja buah-buahan (Rambutan dan Duren) mangkal. Jalur anatar Karawang dan Bekasi, tyang tak lepasa dari heroil Sejarah perjuangan para Pahlawan negeri ini, sekarang semuanya berubah. Dikiri kanan banyak jalan masuk menuju komplek perumahan. Kemacetan ditiap titik persimpangan.

Selepas dari Cikarang, dengan meraba-raba ingatan, aku masih sedikit mengenal jalan yang kulalui, walaupun tidak seperti dulu, dimana hal yang paling menonjol di daerah ini adalah tempat-tempat pengrajin bata merah. Sekarang sudah tidak tampak lagi, di beberpa tempat sawah-sawah tersisa diantara bangunann industri.
Kini semuanya telah berubah, antara Karawang dan Bekasi !

Lalu lintas semakin lengang, jalan mulus menjelang kota Karawang. Pada sebuah pertigaan yang berjarak hanya beberapa km saja sebelum masuk Karawang, ada jalan kerah kiri dengan penunjuk jelas arah ke Rengasdengklok dan Batujaya. Aku membelok ke jalan ini. Namun baru masuk, saya teringat kondisi bahan bakar, maklum motor saya ”royal minum Pertamax” daripada bensin premium. Khawatir kehabisan bahan bakar, dan tidak tersedia di daerah yang akan dilalui, aku berputar arah, kembali ke jalan utama yang menuju Karawang.

Hanya lk. 2 km, aku temui SPBU di sebelah kanan jalan. Dan beruntung ada Pertamax Plus yang disukai oleh motorku. Usai mengisi bensin, dalam Mushola disudut SPBU itu, aku merunduk dihadapanNy dalam sujud Dhuhaku.

Rengasdengklok, Sejarah Yang Terlupakan.
Jam menunjukan pk. 08.00 pagi saat aku meninggalkan SPBU itu. Kini aku hadapi jalan yang lebih sempit, namun cukup mulus dengan bentangan sawah yang menghijau dikiri kanan. Lalu lintas tidak begitu ramai. Aku nikmati perjalanan ini, dan mengingatkan jalan kelas kabupaten dikampungku. Di kiri kanan jalan masi banyak pohon pelindung. Udara segar, pemandangan luas ,menghijau menyegarkan mata dan pikiran.

Aku bayangakan bahwa Tengasdengklok itu daerahnya terpencil, dan minim fasilitas umum (seperti ATM, SPBU, tempat perbelajaan). Pikiran ini tersanggah ketika aku memasuki kota Rengasdengklok.

Daerahnya cukup ramai dan hidup. Aku mampir di sebuah Rumah Sakit kecil, Rumah sakit Proklamasi namanya, aku bukan butuh perawatan disini, tapi aku ke ATM yang ada disini.

Tukang parkir di halaman rumah sakit ini memberi tahu rumah bersejarah yang hendak aku kunjungi.
Menurut dia aku harus melewati pasar, dan di pasar ada jalan kekiri, inilah jalan ke Tugu Proklamasi dan Rumah bersejarah itu.

Sebelum sampai pertigaan jalan yang ditunjukan itu, aku mampir ke toko Alfamart, untuk menambah perbekalan, makan kecil dan minuman serta Battery untuk kameraku.

Tidak sulit mencari Tugu Proklamasi, karena dari jalan kecil dari pasar tadi letaknya ada diujung jalan, tepatnya tikungan. Letaknya ditepi bantaran / tanggul sungai.

Tugu Proklamasi

Ada seorang penjaga Tugu Proklamasi ini, dia sedang membersihkan rumput ketika aku masuk kedalam area yang dikelilingi pagar tugu ini. Penjaga yang konon hanya di gaji Rp. 200.000,- per bulan ini sempat membantuku untuk mengambil gambarku didepan tugu proklamasi.

Kalau selama ini Tugu Proklamai yang lebih dikenal adalah Tugu Proklami di jalan Proklamasi, Jakarta. Namun melihat fakta sejarah, sebenarnya Tugu Proklamasi di Rengasdengklok ini tidak kalah penting nilai sejarahnya . Betapa tidak ? Sebelum Proklamasi dikumendangkan di jalan Prokalmasi, Jakarta, ditempat inilah, satu hari sebelumnya (16 Agustus 1945) bendera merah putih dinaikan, dan Proklamasi dinyatakan !


Lukisn Tentang Upacara Kemerdekaan, 16 Agustus 1945

Tugu Proklamsi ini terletak diujung pertigaan kalau kita datang dari arah pasar. Kalau kita membelok ke kanan dari pertigaan ini, hanya beberapa meter saja kita temui jalan kecil lebih, tepatnya sebuah gang, namanya Jalan Sejarah.


Aku di Depan Tugu Proklamasi, Rengasdengklok

Tidak jauh dari mulut jalan ini, sebelah kiri jalan ada rumah sederhana berwarna biru dengan halaman di depannya dalam rimbunan pohon mangga, dan bale-bale bambu diterasnya.

Inilah rumah dimana Soekarno, Proklamator, Presiden RI pertama, 2 hari sebelum hari kemerdekaan dibawa oleh para pemuda dari Jakarta dan menginap dirumah ini. Para pemuda meminta (mungkin tepatnya mendesak) agar Soekarno segera mengumumkan kemerdekaan negeri ini setelah adanya khabar kekalahan Jepang dari tentara Sekutu.

Pada tanggal 16 Agustus esok harinya, di tempat ini dinaikan bendera merah putih, walaupun resmi diumumkan hari kemerdekaan dengan teksnya, dibacakan keesokan harinya di Jakarta.

Dibawah pohon mangga di depan rumah ini terdapat warung terbuka yang menjual minuman. Tak ada petunjuk istimewa di depan rumah ini sebagaimana layaknya sebuah tempat bersejarah.

Rumah ini saat ini dihuni oleh keturunan / generasi ketiga dari pemilik sebelumnya, seorang keturunan Tionghwa.


Rumah Sejarah Persiapan Kemerdekaan RI, Rengasdengklok

Konon menurut penghuni rumah ini, rumah asli sebenarnya berada dipinggir sungai, tidak jauh dari lokasi rumah sekarang. Karana pada tahun 1955 banjir, maka rumah dipindahkan ke lokasi sebagaimana yang ada sekarang.

Begitu pula tempat tidur Soekarno, yang ada di rumah ini merupakan Duplikat, karena yang asli ditempatkan di salah satu musium di Bandung.


Tempat Tidur Sang Proklamator di Rengasdengklok

Foto aktor Sophan Sophian dan istrinya, Widyawati terpampang. Mereka datang saat melakukan perjalanan Jalur Merah Putih, sebelum ia wafat dalam kecelakaan perjalanan itu.

Jam menjelang pk. 09.30 ketika aku tinggalkan rumah itu. Masih terngiang ucapan penghuni rumah, betapa anak-anak muda sekarang jauh dari mengenal dan mencintai Sejarah negerinya sendiri. Anak-anak sekarang lebih mengenal lagu Peterpan, daripada lagu maju Tak Gentar !

Diapun mengeluh betapa pada era Presiden Soeharto sejarah yang berbau Soekarno diberangus, makanya tak eran kalau di depan rumah itu tak ada sedikitpun tulisan atau keterangan catatan sejarah tentang tempat itu..!!

Diapun bersedih bila mengingat betapa orang-orang yang jauh-jauh dari Australia, datang, menyusuri ingin mengetahui rumah itu, karena mereka tahu dan menghargai sejarah bangsa ini. Tapi sayang genersi muda bangsanya sendiri tidak peduli dengan sejarah. Bahkan sejarah kadang rela dihilangkan demi nama atau perjalanan pemimpin bangsa lainnya.

Sayapun termenung, ketika seorang pamanku, dia seorang Polisi yang sering mengantar orang-orang Jepang yang ingin mengunjungi Tugu Proklamasi dan Rumah tersebut. Betapa banyak orang Jepang khidmat di depan tugu dan rumah itu. Dan tidak sedikit yang menitikan air mata mengingat Soekarno maupun Laksamana Maeda.

Tak ada airmata, tak ada kekhidmatan dari kita, untuk mencantumkan tulisan catatan sejarah ditemat itu saja kita sudah tak mampu.!

Candi Jiwa, Situs Sejarah Terbaru.
Aku kembali diatas motorku menyusuri Rengasdengklok. Kalau kuperhatikan kota ini pusatnya hanya merupakan deretan pasar dan toko.

Diujung kota kutemui pertigaan, kekanan kearah Karawang dan Cilamaya. Kekiri kearah Batujaya.

Aku ambil kerah kiri menuju Batujaya. Dibeberapa tempat aku lihat ada penunjuk bertuliskan Candi Jiwa Batujaya. Dan menurut keterangan penjaga rumah sejarah tadi, di Batu Jaya ada Candi. Maka akupun kejar sang waktu menuju Batujaya.


Selepas Rengasdengklok, jalan raya ke Batu Jaya merupakan jalan lurus, yang berdampingan disebelah kanannya berupa saluran irigasi. Sepanjang saluran ini, kulihat anak-anak kampung berenang, penduduk mencuci dan mandi ditempat-tempat yang tersedia.

Aku nikmati suasana kampung yang mengingatkanku pada masa kecilku, berenang di sungai, memancing, dan berlari-lari dipematang sawah.

Sungai dan Kehidupan

Perut yang pagi tadi hanya sarapan seadanya, mulai meminta perhatian. Tapi aku belum temukan tempat makan yang layak, hanya banyak kutemui warung-warung mie dan bakso.

Aku kendarai motorku dengan santai. Lk. 1 jam aku masuki daerah Batujaya. Aku pacu terus sampai keluar Batu Jaya. Tidak jauh selepas pusat keramaian Batu Jaya, aku lihat ada penunjuk dikananku, gapura Situs Purbakala Candi Jiwa.
Motor kuarahkan. Tidak jauh dari pertigaan tadi, kutemui sebuah gang kecil sebelah kiri (hanya pas-pasan masuk 2 motor berpapasan). Gang itu melalui beberapa rumah, yang berujung di sebuah pintu masuk yang ditandai tempat Loket masuk.

Aku lihat tidak ada satupun petugas, dan jalan terbuka tanpa dikunci. Aku masuk terus, dan kini dikiri kanan sawah. Sementara jalan yang kulalui terbuat dari semen, cukup tinggi dan pas-pasan lebarnya. Akupun harus hari-hati, salah-salah jatuh ke sawah bersama motorku !

Tidak jauh dari ujung kampung, dihadapanku sebuah situs purbakala seperti tumpukan bata merah yang dikellilingi pagar.

Dari tempat masuk, tanah sekeliling candi lebih rendah, seperti kolam, dan ditengahnya tumpukan bata merah. Bentuknya hampir persegi. Kalau melihat kawasan yang dipagar, lk. Ukurannya 40 m x 40 meter.

Candi Jiwa, Situs Sejarah Termuda

Ada beberapa pohon Palm sekelilingnya, hanya sayang sebagian mati karena tidak terurus. Dan lagi-lagi sangat disayangkan, tidak ada satupun tulisan tentang situs ini. Yang ada hanya himbauan agar tida merusak atau mengambil benda-benda dari candi ini.

Konon Candi ini masih dalam penelitian para ahli Sejarah kita. Konon pula selain bangunan ini telah ditemukan Stempel / Cap yang terbuat dari bahan Emas, yang diperkirakan adalah peninggalan Kerajaan Tarumanegara. Benarkah dugaan ini, yang diperkuat pula Candi Jiwa ini berada dekat aliran Sunagai Citarum ( Tarum anagara ?) ? Apakah kaan meluluhkan anggapan selama ini bahwa kerajaaan Tarumanagara di daerah Bogor ?
Biarkanlah para ahli Sejarah yang akan menjawabnya ! Yang pasti, setelah ditemukan Candi ini, konon banyak turis dari Thailand yang datang kesini !

Namun, sungguh sangat disayangkan, karena bila obyek sejarah tidak ada keteranganya, akan sangat tidak berarti buat pemahaman dan perenungan bagi generasi kini.

Menyeberang Sungai Citarum.
Matahari hampir diubun-ubun ketika ketinggal Candi Jaya. Kini jalan yang kulalui semakin sempit dan sepi.

Disebelah kiriku tanggul pinggiran sungai Citarum. Dibeberapa tempat terdapat perahu penyeberangan yang oleh penduduk setempat disebut Eretan.

Aku sempatkan bertanya ke penduduk, dimana eretan yang terdekat dan bisa menyebaerankanku ke daerah Muara Gembong.

Tidak jauh dari tempatku tadi, sebelum daerah Pakis, aku dapati Eretan yang bisa menyebarangkanku ke Muara Gembong.

Hanya dalam waktu kurang dari 10 menit kini aku telah berada diseberang sungai.


Menyeberang Sungai Citarum

Aku arahkan ke kiri dan menyusuri jalan yang menepi di pinggir sungai. Di beberapa tempat aku semapat heran karena rasanya daerah ini tidak teduh lagi seperti keadaan 2 bulan lalu, dimana aku terakhir ke tempat ini.

Kulihat pohon-pohon kapas yang menjadi pelindung disisi jalan, ditebangi. Entah Pemda atau penduduk yang menenbangi. Pohon-pohon bergeletakan dipinggir jalan. Ada yang masih utuh, ada pula yang sudah berupa balok-balok rapi.
Ah...dimana-mana sekarang ini, banyak orang lebih suka menebang pohon daripada menanamnya..!! Jangan salahkan, bila banjir semakin sering, panas semakin menyengat.

Obrolan Orang Pinggiran
Di pertigaan jalan Cabangbungin, aku mampir ke sebuah warung tegal untuk memenuhi perut yang kian lama kian menagih dengan kencangnya.

Sepiring nasi, telur asin dan semur jengkol menjadi santapan makan siangku yang lahap. Bangku kayu panjang di depan warung itu menjadi tempatku ngobrol ringan dengan beberpa tukang ojek yang datang tertarik melihat motorku. Obrolan ringan dan khas dengan orang pinggiran sepertin ini, adalah salah satu hal yang menarik bagiku dalam setiap perjalanan penjelajahan.

Obrolan tentang kehidupoan yang semakin sulit, tentang penghasilan mengojek, tentang Amrozi cs yang selewat nongol di TV warung itu menjadi media keakrabanku.

Kadang tak terasa, mereka itu adalah guru-guru yang mengajariku tentang kehidupan sebagai orang kecil, tentang ketabahan dan ketahanan menghadapi kerasnya kehidupan.

Mendengar tentang kehidupan mereka, beban menanggung biaya sekolah anak-anaknya, akupun jadi muak melihat foto-foto dari foto para Caleg, sampai Capres yang terpampang di Baliho di pertigaan jalan itu !!


Perusakan Lingkungan Pohon Pelindung di Muara Gembong.

Matahari sudah sedikit melewati ubun-ubunku, ketika kutinggalkan warung di pertigaan Cabangbungin itu. Kini dihadapanku jalan tambal sulam antara jalan beton dan jalan aspal yang rusak. Kiri kanan jalan masih didominasi sawah. Samar-samar terlihat ladang pengeboran minyak yang masih jauh didepan kanan jalanku.

Tidak begitu lama, saya sampai di daerah Babelan, dimana bertemu dengan jalan yang saya lalui minggu lalu, saat menyususri daerah pantai dari Tanjung Priuk ke Babelan.

Motor sedikit kupacu, mengejar Dhuhur yang ingin aku lakukan di rumahku. Kota Bekasi yang macet siang itu kulalui dibawah sinar matahari yang panas.

Pk. 14.10 siang, roda motorku sudah menginjak tanah halaman belakang rumahku. Usailah sudah perjalanku melintas noktah jejak sejarah.

( Momon S. Maderoni )

3 comments:

  1. Bung MS Maderoni, asyik juga touring dan komentarnya. Aku mua tanya; Dari isi tulisan kalau tidak keliru artinya bisa menuju Rengasdengklok dari arah Priok (Babelan naik eretan). Sehingga tidak melewati jalan pantura lama via Bekasi - Karawang. Betul ? Terima kasih tulisan dan infonya - Salam (Slamat Siahaan)

    ReplyDelete
  2. Terima kasih.
    Bisa melalui jalur itu Mas. Kalau mau menyeberang sungai Citarumnya bisa. Tetapi sekarang juga sdh ada Jembatan di bhakti jaya.

    ReplyDelete
  3. Terima kasih.
    Betul lewat jalan itu. Banayak eretan sepoanjang jalan itu untuk menyeberang Sungai Citarumnya. namun sekarang juga sdh ada jembatan di Bhaktijaya.

    ReplyDelete