Thursday, April 16, 2009

Menyapa Alam Dibalik Gunung Kapur
Dibalik gunung-gunung kapur daerah Cibinong yang semakin rusak, ternyata masih menyimpan keindahan alam pedesaan yang menggoda kami untuk menjelajahinya.

Situ di Cikeas

Para Kutuers (ini sebutan anggota Kutulumpur Motoadventure Club), yang sudah lama memarkir Jip nya digarasi, membuka kegiatan di tahun 2007, Sabtu, 6 Janury 2007 menyapa alam pedesaan antara Kalapa Nunggal – Cioray – Sukamakmur.

Sementara rekan-rekan yang aku monitor lewat komunikasi telpon sedang bersiap-siap, aku sendiri masih terbaring diatas tempat tidur dengan sisa-sisa demam yang telah menyerang dua hari sebelumnya. Aku sendiri merasa bersalah, karena penggagas awal acara ini adalah aku sendiri.

Lewat radio komunikasi, terdengar rekan-rekan sedang menuju titik pertemuan awal.

Penjelajahan sehari kali ini diikuti oleh Motor Trail sebanyak 8 motor dari berbagai merk. Tercatat Suzuki DR 200, Suzuki TS 125, Honda XR 200, Loncini.

Sedangkan penunggang Jip, tercatat 6 kendaraan. Wilis, Suzuki Jimny Jangkrik, Suzuki Jimny Katana, Suzuki Caribean dan Toyota FJ 40.


Sejak embun pagi belum luruh, para penunggang Motor Trail sudah berkumpul di SPBU Petronas Cibubur. Sedangkan penunggang Jip berkumpul dirumah Goteng, salah seorang anggota Kutulumpur yang tinggal di Perumahan Kota Wisata, Cibubur.

Menjelang jam 8 pagi, rekan-rekan Jip merangkak menuju Kalapa Nunggal melalui jalan aspal Cikeas, keluar di Cibinong.


Hamparan Sisa Sawah di Kalapa Nunggal

Titik pintu masuk ke trek ini, adalah sebuah jalan batu tempat lalu lalangnya berpuluh-puluh truk pengangkut batu kapur bahan semen. Titik perempatan ini berada sebelah kantor Polsek Cileungsi, berseberangan dengan Stasiun Pengendali Satelit Palapa.

Bagaimanapun motor lebih lincah di jalanan yang kian semakin padat, para penunggang kuda besi penjelajah alam ini lebih awal masuk di bibir hutan Gunung Kapur Cibinong.

Hambatan jalan batu kapur dan diselingi kubangan-kubangan sisa jejak mobil truk pengangangkut batu kapur, bahan semen, dilibas mudah oleh rekan-rekan Trail.

Aku mendengar semuanya baik dari Radio Komunikasi maupun Handphone. Aku masih lemas dengan sisa sakitku.

Namun riuh rendah suara mobil dan motor rekan-rekanku yang terdengar di Radio Komunikasi, adrenalinku yang tersendat terangsang untuk mengalir, naluri petualanganku menghentak, mengejar mereka !

Aku dengar rekan-rekanku saat itu sudah memasuki jalan kubangan-kubangan jalan truk pengakut batu kapur.

Aku siapkan sahabat perjalananku, motor trail, Yamaha TTR 250.
Camel Pack yang juga berfungsi sebagai DayPack menempel di punggungku, kupacu motorku melewati Cikeas..!


Kupacu Kudabesiku

Hari menjelang pk. 11 siang, ketika motor yangb kukendarai mengejar Jimny nya Pak Totok dan Goteng. Dengan tenaga pasu 250 cc, aku tersa mudah mengejar mereka di trek kubangan-kubangan yang diselingi bebatuan itu.

Enam motor masuk trek terlebih dahulu, diikuti Wilis, 2 Jimny dan FJ 40. Uye, yang kali ini menjadi Tour Leader bolak-balik untuk menuntun Jimny Jangkrik Goteng dan Jimny Pak Totok yang tersisa dibelakang.


Sudut Perkampungan Cioray

Tidak begitu lama, aku lihat Uye datang dari arah berlawanan untuk memantau keadaan di trek paling belakang.

Sambutan Kehangatan Anak-anak Kampung Cioray

Sebuah warung menjelang bibir hutan, menjadi tempat kami melengkapi kekurangan perbekalan, utamanya air minum.

Tidak begitu lama, kami menyusul semua rombongan mobil yang ada di depan. Sedangkan ke enam motor telah masuk lebih jauh.

Jadilah kami tinggal 2 motor, Uye dan aku, dan keenam mobil. Uye dan aku yang telah mengetahui lebih dahulu trek ini, menjadi penunjuk jalan bergantian. Terkadang harus menunggu bahkan bolak-balik ke belakang.

Kondisi trek dimulai dengan jalan berbatu, tanjakan dan turunan yang tidak begitu curam. Namun rombongan terpaksa merayap. Rupanya salah satu rekan yang baru bergabung di kegiatan ini, masih menggunakan mobil Jimny 2WD, karena kopel depan belum terpasang . Walaupun mobil ini telah berganti mesin dengan kapasitas besar, Toyota LT, plus transm
isi otomatis, harus terpaksa menggandul terus ditarik Jimny Jangkrik Goteng yang bermesin Toyota 7 K.

Penduduk Cioray, Mengisi Hari

Uye sudah melambung di depan menuju tempat istirahat di sebauh kampung kecil didepan kami. Aku terpaksa menunggu ditengah hutan, perbukitan yang semakin gundul untuk menunggu rombongan mobil. Walau mungkin menunggu adalah suatu pekerjaan yang membosankan, tetapi berdiam sendiri ditengah alam yang sepi, menjadi bagian kontempelasi Spiritualitas Alam, yang kini menjadi sekat-sekat kehidupan modern kita.

Setelah mobil kembali bergabung, kami melanjutkan perjalanan. Kali ini tanjakan semakin curam, jalan semakin sempit dan lebih banyak didominasi oleh rumput dan tanah.

Beberapa penduduk, Ibu-ibu dan anak-anak yang akan beraktifitas di ladang, sapanya menjadi bagian dari sesuatu nilai yang berarti.. Tentang sapaan yang ikhlas, yang langka kami temui di perkotaan.

Sebuah tanjakan terjal dan parit dengan jembatan kayu kecil menyambut kami, sebelum kami memasuki Kampung Cioray yang sepi. Kampung ini berada ditengah-tengah perbukitan, yang dihuni hanya oleh beberapa rumah sederhana.


Sebuah warung sederhana diujung tanjakan, ditengah kampung ini menjadi tempat kami melepas lelah siang itu. Matahari tepat diujung ubun-ubun kami, saat kami menikmati istirahat.

Secangkir kopi, singkong rebus yang dibawa Pak Nanto, menjadi santapan yang lahap. Sebagian yang lainnya menyantap Mie Instant yang dipesan dari warung ini. Sapa dan canda menjadi bagian kehangatan persaudaran perjalanan kami.


Kami berusaha menghubungi enam motor yang telah ada di depan, namun Signal Handphone tidak ada. Aku dan Uye memutuskan untuk berjalan lebih dahulu, dengan harapan bisa`mengejar rekan-rekan ke enam motor bersebut.

Deru mesin Suzuki DR 200 cc dan Yamaha TTR 250 cc merangsang adrenalin kami berdua untuk menyusuri trek didepan yang lebih sulit.


Titik warung dimana kami beristirahat adalah titik yang tinggi, karena setelah itu trek didominasi oleh turunan tajam, dan hanya diselingi tanjakan tajam dibeberapa tempat dengan kondisi jalan tanah.

Untunglah cuaca cerah, kalau hujan, mungkin kami akan kesulitan menyelesaikan trek ini.

Kedua motor kini sampai diujung kampung. Dimana terdapat percabangan jalan. Uye dengan melalui Handy Talky menghubungi rombongan dibelakang yang masih beristirahat di warung. Karena jalan yang kekanan sempit, tidak memungkinkan dilalui mobil , maka kami putuskan agar mobil mengambil jalan kekiri, dan kedua motor melanjutkan ke kanan. Dengan pertimbangan akan bertemu di satu titik diujung hutan.

Kucoba Keperkasaan Mitsubishi Triton di trek Cioray
Kedua motor meliuk-liuk menyusuri jalan tanah setapak. Dikiri kanan perbukitan gundul yang kini ditanami, sebagai kebun. Beberapa tempat ditanami Jagung, dimana Pak Totok berkesempatan untuk membeli sebagai oleh-oleh.

Lepas dari kampung ini, didepan terhampar pemandangan yang lepas, lembah, perbukitan. Dan nun jauh terlihat jelas Gunung Batu, Sukaharja, Jonggol dimana kami sering menjelajahinya saat-saat awal mengenal daerah ini.


Terlihat jelas bukit-bukit ini merupakan sisa-sisa hutan, yang kini gundul. Kami sempat merenung, pantaslah bila dimana-mana terjadi musibah longsor. Sekeliling kami tidak ada pohon-pohon yang kuat yang dapat menahan dan menjadi resapan air. Alam begitu rusak karena tangan-tangan kita sendiri..!!


Namun sisa-sisa hijaunyan hutan masih terlihat samar-samar didepan kami. Kami yang berdua bermotor, berusaha menghubungi team didepan (6 motor), maupun mobil yang masih dibelakang kami. Rombongan mobil masih dengan mudah kami hubungi melalui Handy Talky. Namun yang didepan tidak bisa.


Usai menuruni berbagai turunan curam, kini kami berdua memasuki kawasan hutan karet diujung kampung.

Hutan ini adalah hutan Karet yang masih tersisa dari kawasan perkebunan karet Menteng yang kini hanya tinggal ceritera.

Ditengah-tengah hutan karet ini kami berdua berhenti beristirahat sambil membimbing rombongn mobil yang ada di belakang dan berusaha menghubungi keenam motor yang ada didepan. Kami berhasil menghubungi rombongan motor. Mereka sudah menyeberangi Sungai Cibeet, dan akan melanjutkan ke Gunung Batu terus puncak Simun, Penangkaran Rusa dan kembali ke jalan aspal melalui Quiling.

Karena rombongan motor sudah terlalu jauh, maka kami berdua menunggu rombongn mobil.

Saat beristirahat, seorang Ibu gagu beserta anak yang digendongya berceritera dengan bahasa yang hampir tidak kami mengerti, tentang anaknya yang hampir dipatuk ular. Pantaslah kalau di daerah ini masih banyak ular, melihat nama kampungnya saja kampung Cioray, yang dalam bahasa Sunda Oray adalah Ular. Sang Ibu dengan kedua anaknya ini baru berlalu setelah dengan memelas meminta air minum kami yang hanya tinggal sebotol.

Aku dan Kerimbunan trek Cioray

Lebih kurang satu jam kami berdua menunggu. Tidak begitu lama satu persatu keenam mobil tersebut muncul dari arah depan kami. Pak Totok dengan Suzuki merahnya muncul paling depan.

Sejenak kami mengatur rencana menyelesaikan sisa trek didepan kami. Kami putuskan bahwa rombongan mobil tidak menyebarang Sungai Cibeet, karena waktu sudah terlalu sore dan jalan untuk menuju Gunung Batu dari Cibeet sempit.

Setelah istirahat sejenak, beberapa rekan “terlibat tawar-menawar” buah Duren yang dibawa pedagang kampung.

Aku diatas sadel motorku menjadi guide di depan, diikuti mobil, Suzuki Caribeannya Pak Nanto. Sementara Uye dengan Suzuki DRnya mengontrol paling belakang.


Lepas dari hutan karet, kami disuguhi trek tanah turunan tajam, sesekali kami terlindung dari rimbunan pohon bambu.

Dari tempat ini kami bisa melihat kawasan jonggol terhampar dibawah kami, serta bukit-bukit yang mengelilinginya. Terhampar pemandangan yang lepas dari kawasan Sukamakmur, Sukaharja, Gung Batu terlihat jelas.

Jejak Sejarah Yang Tersembunyi di Situs Pasir Awi, Cioray

Dijung turunan ini sebuah kali kecil menanti kami, serta diujungnya tanjakan yang lumayan perlu ekstra hati-hati melewatinya.
Kembali jasa Suzuki Jangkrik Goteng diperlukan untuk menarik Katana 2WD bermesin Otomatis.

Usai tanjakan ini kami melalui jalan kampung berbatu dan berujung di jalan aspal kearah jonggol. Disamping kanan kami meliuk-liuk sungai Cibeet yang memisahkan kami dengan trek Gunung Batu yang terpaksa kami tunda kali ini untuk memasukinya.

Kami convoy kearah kiri menuju kota Jonggol untuk pulang ke Jakarta.
Diujung kota Jonggol, kami beristirahat disebuah pertigaan, ramai-ramai menyantap Kelapa Muda dan Bakso.

Canda tawa, serta janji untuk bertemu kembali menjadi ungkapan persabatan kami untuk bertemu di petualangan berikutnya.
( Momon S. Maderoni )

2 comments:

  1. duh asik banget eum di daerah mana tuh????
    kunjungi blog kita ya!!!!trailadventurecikoneng.blogspot.com

    ReplyDelete
  2. Wilujeng wengi. Hatur nuhun, terima kasih sudah mampir di blog ini. Trek yang kami lalui adalah trek antara Jonggol ke Cikeas.

    Ok. Saya akan coba buka blognya.

    ReplyDelete