Pagi hari, lebaran hari kedua, 1434 H, udara cerah.
Gunung Ciremai terlihat jelas, dari sisi timur memanjang ke arah barat. Kakinya yang memanjang kearah Palutungan dan lekuk-lekuk lembah jurang nya disisi timur di ujung Linggarjati terlihat jelas.
Kaki sudah bergerak diatas pedal Sepeda Lipat Dahon TR Speed yang dibawa mudik dari Jakarta. Usai menikmati turunan di sekitar Kuburan yang berada di tengah kota Kuningan (dekat perempatan Pasar Darurat ), selebihnya sajian tanjakan di jalan baru, jalan lingkar.
Tanjakan panjang menguras tenaga dan dengkul yang sudah sebulan, selama Puasa tidak akrab menggoes.
Tanjakan panjang yang benar-benar menguras tenaga itu berujung dengan "hadiah" turunan panjang yang berakhir di lampu merah, bundaran jalan raya Kuningan - Cirebon (Jl. Siliwangi).
Baru saja menikmati turunan, setelah melewati deretan penjual oleh-oleh yang didominasi Tape Ketan, yang menjadi primadona oleh-oleh Khas Kuningan, ujung turunan langsung menyodorkan tantangan nanjak panjang dan menikung.
Inilah satu-satunya tanjakan panjang bila kita goes dari Kuningan kearah Cirebon.
( Selebihnya jalan menurun, sampai kota Cirebon )
Pagi ini tujuan goes tidak sampai Cirebon, tetapi berputar sekitar Linggarjati, daerah di kaki Gunung Ciremai sisi timur yang dikenal dengan Gedung tempat Perjanjian Linggajati antar Pemerintah RI dengan Belanda ( yang masih penasaran, tak rela negeri ini Merdeka kala itu ).
Entah kenapa nama tempat itu berubah, dari Linggajati menjadi Linggarjati.
Deretan Polisi mengatur lalu lintas yang didominasi oleh pengguna jalan yang liburan selama Lebaran, yang banyak berkunjung ke obyek-obyek Wisata Alam yang banyak tersebar di sekitar Kuningan.
Jalan menuju Linggarjati dari Jalan Raya Kuningan - Cirebon.
Untunglah hari masih pagi, jalanan belum macet.
Roda Sepeda diarahkan ke Linggarjati. Dari jalan Raya Kuningan - Cirebon, belok ke kiri, melalui jalan yang sisi kiri kanan yang rindang pepohonan, dengan sawah disekelilingnya.
Jalan Kenangan :
Jalan ini mengingatkan pada masa lalu, saat masih rajin mendaki Gunung Ciremai, di awal '80 an sampai awal '90 an.
Dulu, kaki berpijak ke jalan dengan punggung yang dibebani Ransel yg penuh perbekalan. Kini dengkul yang sudah 55 tahun, berpijak pada Pedal dengan berusaha agar Roda tetap berputar, diatas aspal.
Dulu, kaki berpijak ke jalan dengan punggung yang dibebani Ransel yg penuh perbekalan. Kini dengkul yang sudah 55 tahun, berpijak pada Pedal dengan berusaha agar Roda tetap berputar, diatas aspal.
Jalan tak henti-hentinya tak memberi hadiah turunan, menanjak terus, hingga tenaga habis, dan mengharuskan mampir ke sebuah warung.
Usai sejenak istirahat di warung, pedal segera di genjot kembali, dan beberapa ratus meter mampir disebuah area yang tertata rapi, dengan beberapa bagian panggung kecil serta area luas yang berupa panggung open air yang luas.
Tempat ini dinamakan Open Gallery, tempat pertunjukan dengan konsep panggung terbuka, open air dengan latar belakang Gunung tertinggi di Jawa Barat ini, Gunung Ciremai.
Tempat ini dinamakan Open Gallery, tempat pertunjukan dengan konsep panggung terbuka, open air dengan latar belakang Gunung tertinggi di Jawa Barat ini, Gunung Ciremai.
Open Gallery
Tanjakan Ngehe :
Dari tempat ini, perjalanan dilanjutkan lagi. Dan kini yang dihadapi adalah sebuah tanjakan yang terjal dan panjang, dengan rimbun pohon-pohon besar di sisi kanannya.
Tanjakan ini kunamakan "Tanjakan Ngehe". Ngehe sebuah istilah anak muda, gambaran ungkapan rasa kesal.
Tanjalan Ngehe.
Gedung Bersejarah :
Diujung tanjakan ngehe, roda sepeda diarahakn membelok kiri menuju pintu masuk samping Gedung Perjanjian Linggajati.
Setelah "menenteng" Sepeda melalui deretan anak tangga yang menuju halaman depan Gedung bersejarah ini, sampailah di bagian halaman depan Gedung yang dibalik pagarnya tepat di ujung "tanjakan ngehe" tadi.
Bertemu Teman Seperjalanan :
Seorang "pe goes" sepeda sudah ada disana, lalu aku memperkenalkan diri. Dan dia juga sedang mengisi waktu liburan mudik. Dengan Pegoes yang asli Kuningan dan kini tinggal di Purwokerto ini langsung akrab, foto-foto bersama.
Tugu Naskah Perjanjian Linggajati.
Mas Eko Prayitno, demikian nama pegoes yang sama-sama nyari keringat dan menyusuri "sepanjang jalan kenangan" di hari kedua Lebaran ini selanjutnya menjadi teman akrab seperjalanan.
Kebetulan sama-sama se hobby, selain hobby bersepeda, juga se hobby kegiatan penjelajahan di alam bebas, termasuk mendaki gunung. Yang juga sering dilakukan pendakian ke Gunung Ciremai ini.
Mas Eko Prayitno
Ajakannya untuk menyusuri "sepanjang jalan kenangan" ke tempat titik jalur pendakian aku sambut. Kebetulan sejak pendakian terakhirku ke gunung ini, 18 November 1988, tidak pernah lagi tahu.
Si Seli Salah Jalur :
Titik jalur pendakian berada di ujung kampung, melalui rumah-rumah penduduk warga Desa Linggarjati. Jalan sepanjang lk 2 km>
Jalan ini nanjak terus. Jalan aspal dan selebihnya jalan beton semen yang tak henti-hentinya tanpa hadiah turunan, nanjak tetus dan terus, membuat nafas kehabisan.
Sehingga beberapa kali harus menyerah, istirahat, narik nafas, cari udara segar supply ke paru-paru.
Apalagi baru kali ini aku nyoba ngajak jalan si Seli Dahon TR Speed ini jalan serius, biasanya hanya untuk jalan santai. Teman perjalalan serius biasanya aku bawa si Mba Surly ( yang Long Haul Trucker ).
Salut kepada Mas Eko, dengan goesan yang konstan, nanjak terus tanpa berhentai satu kalipun.!
Setelah narik nafas yang ngos-ngosan, kami sampai di ujung kampung, dimana Titik Pemeriksaan Pendakian berada. Maka si Seli pun ibarat salah jalur, masuk jalur untuk MTB.
Si Seli salah jalur.
Usai berfoto-foto di jalur kenangan pendakian ini, kami turun kembali.
Di ujung "tanjakan ngehe" yang kini jadi "turunan surga" ini, kami berpisah. Mas Eko lurus, saya membelok ke kanan menuju jalan ke Desa Bandorasa.
Keluar dari Bandorasa, masuk lagi ke jalan Raya Kuningan - Cirebon.
Kini PR harus dihadapi, jalan pulang yang nanjak terus disertai suasana jalan liburan Lebaran yang semakin siang semakain ramai.
Memburu KM 0 :
Memasuki kota Kuningan, aku mampir dulu, "menyalurkan hasrat hobby memburu titik KM 0"..
KM 0 Kunimgan, hampir tergusur Toko.
Sebuah Tugu Pal KM 0, hampir-hampir hilang tertutup bangunan deretan Toko. Sebuah Tug yang diam sendiri, tak ada yang memperhatikan, padahal disitulah pusat kota, awal kota berada, bernama kota Kuningan..!
( Maka tukang Parkir dan Tukang Petasan yang ku minta membantu moto, terheran-heran aku minta di foto di Tugu Pal itu, yang bagi mereka tak ada hal istimewanya ! ).
Tetap smangat ya Kang dan semoga sukses slalu (y) :)
ReplyDeleteTerima kasih, semoga tetap diberikan kesehatan dan semangat.
ReplyDeletesetahun lalu merencanakan untuk bikepacking Semarang - Cirebon, kemudian ketika di Cirebon kita sepedahan ke arah Linggarjati ... tapi sampe sekarang belum kesampaian :)
ReplyDeleteYuk...kapan jadinya, saya juga minat.
ReplyDelete