Hirupan Terakhir.
Kutuang
air Teh panas dari Teko yang terbuat dari tanah liat.
Gula Batu bertemu dengan air teh panas pada Cangkir kecil.
Kuhirup Teh panas dari Cangkir kecil itu, yang juga terbuat dari tanah liat.
Aroma Teh Panas, aroma tanah liat, rasa Gula Batu yang menyatu pada seduhan air teh, dalam dekapan udara pagi, sebuah kenikmatan pembuka hari, "sajian asli dari alam bumi pertiwi".
Sambil menikmati hirupan demi hirupan, kenangan melayang, menerawang, menjelajah belantara ruang dan masa, waktu yang lalu.
Sebuah tanya hadir, sampai kapan "hasil asli bumi pertiwi " semua ini akan ternikmati ?
Hamparan Teh, hanya sisa-sisa dari Kolonial yang telah memperkosa negeri ini, kini hanya tinggal hamparan yang menunggu terancam berbagai kepentingan.
Pabrik Gula, satu persatu hilang dari peta bumi pertiwi, karena pemimpin negeri lebih senang mendatangkan Gula dari negeri lain.
Teko berbahan tanah liat, suatu saat nanti sulit mencari atanah bahan bakunya, karena setiap jengkal tanah bukan milik kita lagi.
Air bening dari perut bumi pertiwi, mungkin ini kali terkhir ternikmati, karena mata air telah menjadi air mata, sumber alamnya tak ada lagi..!
Pada hirupan air Teh Poci pembuka pagi hari ini, mengantar menjelajah belantara kekhawatiran, menjelajah ketidak pastian dan kesengsaran masa depan anak-anak negeri, bangsa yang kehilangan tanahnya, airnya, alamnya..!
( dan mungkin kemerdekaannya )
Inikah hirupan terakhir air teh dari bumi negeri sendiri ?
( Para kuli Kebun Teh, Kuli Kebun Tebu, dengan merunduk, berjalan lemah, beriringan bagai pasukan yang kalah perang, menyusuri jalan setapak, yang berujung pada titik ketidak pastian )
No comments:
Post a Comment