Seorang Pria usia diatas 53 tahunan, berpeci
hitam khas Indonesia, berdiri gagah di mimbar.
Bendera merah putih kecil diatas mimbarnya dan
puluhan Microphone berjajar di depan mimbar.
Ruangan mewah luas, dipenuhi para
Pemimpin, Tokoh dunia hampir seluruh negara, duduk di kursi yang empuk,
memenuhi ruangan.
Lelaki yang di mimbar menjadi sentral
perhatian dari seluruh hadirin, para pemimpin Negara dari seluruh belahan dunia
yang ada di ruangan itu.
Dengan suara yang penuh wibawa, lelaki
di mimbar itu berkata :
“ Yang mulai Saudara-saudar para
pemimpin dunia, perkenankan saya untuk bicara tentang Negara kaya, yang bagai
sekeoing tanah Sorga yang terlempar ke bumi ini.
Yang Maha Kuasa, memberikan berkah
Cahaya matahari sepanjang tahun dan hujan yang menyuburkan tanah kami, yang
mungkin tidak diberikan pada Negara tuan-tuan.
Diatas tanah kami, hamparan hutan yang
hijau, dilapisan tanah bawahnya ada batubara, di bawahnya lagi ada Minyak dan
Gas dan juga emas serta berbagai material lainnya.
Dari Sabang di ujung barat, sampai Merauke
di ujung timur, hamparan keindahan alam, dan keragaman budaya adalah kekayaan
dan kekayaan jiwa-jiwa kami, putra-putri negeri kami..! ”
Pria itu bicara dengan jelas, lantang,
dan berwibawa walaupun “tanpa tangan mengepal” yang sudah jadi “pemandangan usang”
yang sering ditiru para elit politik negeri yang beranama Indonesia.
Para hadirin di ruang itupun terkesima
dengan gaya bicaranya. Iapun melanjutkan biacara :
“ Sebenarnya dengan kekayaan alam itu,
kami tidak perlu lagi banyak keterganungan dari negera tuan-tuan. Tuan-tuan
malah sejak berabad abad lalu datang dan meraup paksa kekayaan kami, karena
negeri tuan-tuan tak memilikinya.!
Tuan-tuan telah datang dengan cara
dagang bahkan dengan cara merampas harta-harta kami. Berabad abad kami hanya
menangis diatas tumpukan kekayaan negeri yang tuan-tuan rampas. “
Demikian katanya dengan tegas, tanpa ada
beban saat berucap.
“Rakyat kami kini telah bangki menjalankan
amanah dan kesadaran dan kesia-sian waktu, dan mengamanahkan padaku, untuk
memimpin negeri yang kaya ini”.
Ia menyeka keringat yang jatuh di dahinya.
“ Aku hanya menjalankan amanah rakyatku.
Aku hanya menjalankan amanah rakyatku, bukan partaiKu.!
Aku terlahir memimin, bukan karena aku mengusung
nama besar leluhurku dibelakqng namaku !
Aku maju, bukan karena aku Pengusaha
yang hndak berkuasa, agar usahaku terlindungi. Bahkan akupun bukan, manusia
yang akan maju karena kekuatanku sebagai Jendral…!
Tuan-tuan yang mulia, Pemerintahan kami
akan kubentuk dari kumpulan manusia amanah, mereka adalah adalah rakyat biasa bahkan mungkin jelata,
kumpulan orang-orang pilihan, bukan kumpulan orang-orang partai yang hanya
ingin berbagi kebagian kue.! Yang
bernama Kue keuasaan..!
Tetapi medeka adalah manusia biasa yang
siap berada dibawah reruntuhan rumah
kami yang telah runtuh, untuk sama-sama berdiri membangun rumah yang
bernama Rapublik Indonesia.!
Tuan-tuan yang mulia, karean itulah enyahlah
cerita masa lalu, yang telah tuan-tuan permainkan untuk Negara kami.!
Tak ada lagi perusahaan Negara-Negara
tuan-tuan yang hanya bisa membohongi dan
mengis pun di-pundi tuan-tuan dengan emas-emas kami..! “
Mendengar kalimat terakhir, seorang
pemimpin Negara adi daya yang hadir di ruangan itu tercengang.
“ Tuan-tuan, tegakah kalian membiarkan
rakyatku berKoteka, dan berpakaian selembar untaian kulit pohon ? Dengan
alasan, biarkan mereka alami. Padahal sebuah upaya perlambatan kemajuan diri
meraka yang tuan-tuan inginkan.
.
Dan…tuan-tuan cekoki mereka dengan
berbotol-botol minuman keras, agar mereka melayang setengah gila, lupa akan
kekayaan negeri tanah tempat kakinya berpijak, sementara tangan-tangan kotor
mengambil harta dari bumi mereka ! “.
Aku terlahir untuk mereka, rakyatku.
Karena itu aku tak bisa “dimerahkan, dibirukan, dihijaukan bahkan diputihkan”.
Enyahlah para Politikus yang rakus,
enyahlah para pemimpin yang hanya mengandalkan kharisma leluhur, enyahlah para pemimpin
yang hanya karena Jendral…! ”
Lelaki itu seraya menggebrak meja Podium
didepannya. Hentakan tangannya keras, dengan kepalan tangan dan otot yang
begitu kuat.
Deretan Microphone di podium itu
berjatuhan.
Suara gebrakan ke meja amat keras !
Dan………suara itu membangunkanku dari tidur panjangku malam ini..!
Oh….Presidenku, hanya hadir dalam mimpiku malam in..!
No comments:
Post a Comment